Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | salimmuhammad
Ilustrasi demokrasi. (Shutterstock)

Indonesia memasuki era baru sejak berakhirnya rezim pemerintahan pada masa orde baru pada pertengahan tahun 1998. Salah satu hal yang mengalami perubahan adalah hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.

Momentum tersebut dimulai dengan dibuatnya Undang-Undang Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang berimplikasi pada perubahan signifikan hubungan pusat dan daerah, sehingga kabupaten/kota memperoleh limpahan hampir semua urusan pemerintahan yang sebelumnya berada di tangan pusat atau provinsi.

Secara normatif, peraturan ini dipandang revolusioner karena dianggap sebagai awal perubahan sistem pemerintahan yang sentralistik ke desentralistik.

Aturan pertama yang mengatur hubungan pusat-daerah adalah Paket Undang-Undang 1999 tentang Pemerintah Daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Dalam aturan tersebut sebenernya ingin menekankan atau menguatkan otonomi pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangga atau daerahnya sendiri dengan meniadakan hubungan hierarkis antara pemerintah pusat dan daerah.

Selain itu, aturan Undang-Undang tentang Pemda 1999 memberikan kewenangan lebih kepada DPRD untuk memilih kepala daerah dan wakilnya sendiri, karena itulah kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD kemudian DPRD juga dapat memberhentikan kepala daerah tersebut apabila pemimpin tersebut melakukan pelanggaran atau menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaannya.

Berbagai polemik pro dan kontra terjadi ketika usulan aturan kebijakan desentralisasi ini dibuat. Beberapa pihak yang kontra dan mendesak agar segera merevisi kebijakan tersebut datang dari pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI).

Kedua pihak tersebut mendesak untuk segera merevisi peraturan tersebut karena kedua pihak inilah yang merasakan banyak kehilangan kewenangan dan kontrol akibat dari pemberlakuan kebijakan Undang-Undang Pemerintah Daerah tersebut.

Akibat dari banyaknya desakan-desakan untuk segera merevisi peraturan tersebut lahirlah Undang-Undang Pemda Tahun 2004 dan direvisi kembali pada Tahun 2014.

Kemendagri mengatakan revisi tersebut ditujukan untuk memperbaiki dan mengulas kembali Undang-Undang Pemda terkait dengan konsep kebijakan desentralisasi namun tetap dalam negara kesatuan, memperbaiki hubungan antar pemerintah, masyarakat, dan kelompok madani, serta peraturan yang kurang jelas dalam berbagai aspek terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah.

Inti dari kebijakan dan aturan baru desentralisasi ini adalah untuk memaksimalkan dan dan mengamalkan demokrasi dengan memberi sebagian besar keputusan dan kebijakan berada di tangan daerah sesuai dengan kebutuhan daerahnya sendiri.

Namun pada pelaksanaannya, masih saja terdapat pihak-pihak yang menyelewengkan atau menyalahgunakan kewenangan yang diberikan kepada tiap daerah dari kebijakan desentralisasi ini.

Pelaksanaan maupun pemberlakuan Undang-Undang Pemda justru lebih banyak diwarnai oleh berbagai permasalahan baru seperti saling tarik menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah sehingga terjadinya biaya ekonomi dan komoditas yang semakin tinggi, dan juga memunculkan masalah nepotisme dengan istilah ethnic parochialism di berbagai daerah yang diwujudkan dalam praktiknya dengan mengamankan posisi putra daerah untuk jabatan kepala daerah ataupun jabatan-jabatan penting lainnya tanpa memikirkan kapasitas dari putra daerah atau orang tersebut untuk menduduki jabatan yang akan diambilnya.

Masalah inilah yang seringkali muncul sejak kebijakan desentralisasi diberlakukan, banyak dari pemerintah di tiap daerah yang menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk hal-hal yang salah dan untuk kepentingan pribadinya masing-masing.

Kebijakan desentralisasi masih dinilai memiliki banyak kelemahan dan kekurangan dalam berbagai aspeknya, contohnya seperti berbagai kebijakan yang rumit, memunculkan banyaknya kepentingan politik yang bersifat pribadi dan dikuasai oleh elit-elit lokal, banyaknya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), dan melemahnya sistem demokrasi.

Mendekati gegap gempita pesta demokrasi Pilkada tahun 2020 ini, kian maraknya pembahasan mengenai dinasti politik. Hal ini tak terlepas dari rencana anggota keluarga Presiden Joko Widodo mengikuti pilkada yakni Putra Sulung Jokowi Gibran Rakabuming Raka yang berencana mengikuti Pilkada Solo serta Bobby Afif Nasution yaitu suami dari putri Jokowi Kahiyang Ayu yang mengikuti Pilkada Medan Tahun 2020 ini.

Kehadiran dinasti politik yang melingkupi perebutan kekuasaan di level regional hingga nasional mengakibatkan substansi dari demokrasi sendiri sulit diwujudkan. Tumbuh suburnya dinasti politik khususnya di berbagai daerah tidak terlepas dari peran partai politik dan regulasi tentang Pilkada.

Oligarki di tubuh partai politik menyebabkan mekanisme kandidasi dan pencalonan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Selama ini, terdapat kecenderungan pencalonan kandidat oleh partai politik didasarkan pada keinginan elite partai saja bukan melalui mekanisme yang demokratis dengan mempertimbangkan kemampuan subjektif dan integritas calon.

Masalah-masalah inilah yang menyebabkan sistem desentralisasi ini menjadi sangat rancu dan jauh dari tujuan utama pada terciptanya kebijakan desentralisasi tersebut. Nilai-nilai desentralisasi saat ini hanya menjadi arena yang nyaman bagi elit politik dan penguasa lokal.

Karena dari hal tersebut, mereka bisa merestorasi kekuasaan politik dan meneguhkan penguasaan mereka atas sumber daya sosial dan ekonomi yang ada. Desentralisasi telah menyediakan arena yang otonom bagi kelompok tertentu sehingga menjadi struktur peluang bagi optimalisasi kepentingan dan keuntungan mereka sendiri.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika implementasi desentralisasi dalam beberapa tahun terakhir didominasi oleh cerita sukses atas konsolidasi oligarki lokal, baik politik, sosial maupun ekonomi.

Pelaksanaan kebijakan desentralisasi di Indonesia belum sesuai harapan dan melenceng jauh dari tujuan utamanya. Berbagai masalah yang cukup pelik terjadi di tiap daerah akibat adanya kebijakan desentralisasi ini ditunjukkan dalam beberapa hal, yaitu desentralisasi yang hanya menguntungkan elit serta penguasa lokal, menyuburkan praktik-praktik KKN di daerah, pelayanan publik yang kurang berkarakter, dan desentralisasi tanpa efisiensi kelembagaan.

Sejatinya tidak ada suatu sistem baru yang dibuat tanpa pertimbangan dan tanpa pengaruh yang baik untuk kedepannya, termasuk pula sistem desentralisasi.

Sistem desentralisasi dibuat untuk mengedepankan demokrasi dan memberi kesempatan pada setiap daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut.

Sehubungan dengan itu maka perlu dilakukan beberapa perbaikan agar desentralisasi itu dapat berjalan dengan baik dan sesuai tujuan awalnya.

Pertama, stigma negatif atas implementasi desentralisasi dan otonomi harus dijawab dengan semangat pendalaman desentralisasi melalui penyegaran kembali nilai-nilai dasar desentralisasi, yakni kesejahteraan publik.

Kedua, pejabat publik dan birokrasi pemerintah daerah harus bertranformasi pemikirannya bahwa implementasi desentralisasi bukan hanya sekedar hak politik, tetapi juga kewajiban politik atas ukuran kesejahteraan masyarakatnya. Apabila hal-hal tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka perwujudan good governance dan tujuan utama dari terciptanya kebijakan desentralisasi ini akan terwujud.

Oleh: Muhammad Salim / Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang

salimmuhammad

Baca Juga