Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Kristianus Jimy Pratama
Babak Baru Pembudayaan Literasi Membaca Indonesia

Terdapat pepatah yang menyebutkan bahwa buku adalah jendela dunia. Pepatah ini sebenarnya hendak menggambarkan bahwa buku dapat menjadi alat bagi setiap individu yang membacanya untuk mengetahui informasi yang hendak diketahuinya bak ketika membuka jendela untuk melihat pemandangan yang ada di luar jendela tersebut.

Namun seiring dengan perkembangan teknologi yang amat pesat dewasa ini, kegiatan mencari informasi seakan mengandalkan smartphone sebagai alat mencari informasi.

Kemudahan pencarian informasi dalam smartphone dengan hanya menekan scroll up dan scroll down, masyarakat pun dimanjakan untuk membaca segala jenis informasi ketika berselancar di dunia maya. Namun ternyata segala kemudahan tersebut tak berbanding lurus dengan indeks literasi membaca Indonesia yang terbilang rendah.

Setidaknya, hal tersebut tergambar pada pemeringkatan Indonesia yang berada di bawah rata-rata pada skala World Culture Index Score. Tentu menjadi sebuah pertanyaan besar mengenai faktor penyebab dari rendahnya indeks literasi membaca di Indonesia. Berikut adalah beberapa faktor yang dapat menyebabkan rendahnya indeks literasi membaca di Indonesia.

1. Membaca Bukan Sebuah Budaya

Selama ini, membaca dinilai hanya menjadi sebuah kegiatan. Akibatnya apabila membaca hanya dimaknai sebagai kegiatan, maka membaca hanya akan dilakukan oleh orang-orang tertentu dan pada waktu-waktu tertentu.

Begitupun, apabila membaca dilakukan hanya sebatas rutinitas maka tak ayal akan menimbulkan kejemuan untuk dilakukan secara berkelanjutan.

Perlu menjadi sebuah catatan penting bahwa membaca adalah sebuah proses pembudayaan. Dimana membaca harus menjadi sebuah budaya atau kultur dari sebuah masyarakat. Apabila membaca menjadi sebuah budaya maka membaca akan dilakukan secara berkelanjutan oleh lapisan masyarakat.

2. Sosialisasi Literasi Membaca yang Terlalu Formal

Dewasa ini, sosialisasi literasi membaca yang dilakukan cenderung mengedepankan aspek formalitas dibandingkan menyentuh aspek kreativitas maupun kultur dari sebuah masyarakat. Hal ini pun mengakibatkan bahwa sosialisasi yang dilakukan tidak memberikan efek yang mendalam bagi pihak yang mendapat sosialisasi.

3. Kesalahan Pola Mindset yang Dibudayakan

Tak jarang apabila kita mendengar bahwa membaca diidentikan dengan sesuatu yang membosankan. Pola mindset yang demikian terus berulang dan diyakini oleh sebagian besar kalangan masyarakat. Tak mengherankan apabila membaca dinilai sebagai kegiatan yang menjemukan.

Menilik dari ketiga faktor tersebut, maka diperlukan sebuah pembudayaan yang konkrit dan berkelanjutan apabila hendak meningkatkan indeks literasi membaca di Indonesia. Sebuah pembudayaan yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan tidak hanya berkutat dengan urusan pemangku kepentingan.

Selain itu, pembudayaan membaca harus dimulai dari lingkungan keluarga. Hal ini acapkali diabaikan oleh beberapa keluarga dewasa ini. Maka, pembudayaan literasi membaca harus dimulai dari detik ini. Namun apabila kita kembali abai dengan hal ini, jalan terjal harus kita lalui dalam menciptakan sebuah generasi emas penerus bangsa.

Kristianus Jimy Pratama