Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
(Shutterstock)

Pada tanggal 22 Februari yang lalu kita dikejutkan dengan sebuah rilis oleh Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (United Stated Trade Representative atau USTR) yang menyatakan bahwa Indonesia sudah tidak masuk dari daftar negara berkembang. Rilis USTR membuat bangga sebagian rakyat Indonesia karena Indonesia sudah dianggap sebagai Negara maju.

Sesuai aturan USTR, ada tiga alasan suatu negara masuk kategori negara maju adalah (1) Pendapatan nasional per kapita di atas USD 12 ribu; (2) Share ke perdagangan dunia lebih dari 0,5 persen; (3) Mempertimbangkan keanggotaan di organisasi ekonomi internasional. Jika dilihat dari alasan 2 dan 3 mungkin memang masuk akal, namun bagaimana dengan alasan ke-1?

Rilis yang dilakukan USTR membuka mata kita tentang arti pendapatan per kapita di Indonesia. PDB per kapita merupakan pendapatan rata-rata penduduk yang diperoleh dari hasil pembagian pendapatan nasional dibagi dengan jumlah penduduk.

PDB per kapita merupakan salah satu indikator untuk mengukur kemakmuran suatu wilayah. Pada tanggal 5 Februari 2019 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru Pendapatan Per Kapita Indonesia per tahun 2019 adalah Rp59,1 juta atau setara dengan USD4,175.

Jadi seharusnya Negara Indonesia belum masuk dalam kategori negara maju. Kita mengetahui bahwa negara maju memiliki arti tidak hanya sekedar industri yang maju namun juga kehidupan warga negaranya yang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Jika dilihat dari angka yang dirilis BPS seharusnya setiap penduduk Indonesia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, dengan rata-rata penghasilan per bulan Rp5 juta.

Angka Rp5 juta bukanlah angka yang kecil bagi masyarakat Indonesia di level bawah. Karena menurut sebuah data, bahwa pengeluaran terendah kategori miskin di Indonesia adalah Rp400 ribu per bulan, dengan angka kemiskinan di Indonesia kurang dari 10% dari jumlah penduduk atau sekitar 26juta orang. Pertanyaan lebih lanjut pasti akan muncul, jika pendapatan per kapita Indonesia adalah Rp5 juta per bulan yang berarti setiap orang yang ada di Indonesia memiliki pendapatan sekitar Rp5juta, tapi kenapa angka kemiskinan masih di angka sekitar 10%?

Lockdown VS Ekonomi?

Satu demi satu analisa bermunculan tentang apa dan bagaimana kekuatan ekonomi Indonesia terutama bagi warga yang memiliki pendapatan rata-rata ke bawah, asumsi mereka bisa memenuhi kehidupan mereka sehari-hari. Jika 10% adalah angka kemiskinan, berapa yang memiliki penghasilan Rp5 juta per orang. Ini semakin terkuak ketika wabah corona ini muncul, kenapa?

Sejak awal wabah corona ini mulai menyebar di negara di luar Wuhan-China, banyak negara sudah melakukan karantina wilayah negara-negara mereka. Bahkan melakukan antisipasi sejak dini yang salah satunya adalah screaning bagi pendatang dari negara luar di pintu-pintu masuk negara tersebut Namun, di Indonesia justru sebaliknya.

Indonesia malah memberi promo tiket murah dan promo-promo wisata agar wisatawan asing masih mau masuk ke Indonesia. Bahkan ketika kasus corona masuk ke Indonesia di minggu ke 2 bulan Maret, Indonesia belum juga bergerak untuk melakukan screaning di pintu-pintu masuk Indonesia seperti bandara.

Hingga satu-satu korban meninggal yang disebabkan corona ini, pemerintah Indonesia tidak juga melakukan tindakan cepat untuk menghindari lebih banyak korban, dengan alasan ekonomi.

Yang menjadi alasan kuat ketika itu bahwa pemerintah memikirkan warga Indonesia yang berusaha atau memilki usaha dengan kategori “dapat hari ini untuk makan har ini”.

Jika kita melihat pendapatan per kapita Indonesia dengan Rp5 juta per bulan, seharusnya karantina wilayah yang harus dlakukan pemerintah Indonesia tidak lah perlu dikhawatirkan dengan asumsi pemerintah menanggung hidup sehari-hari warga dengan kategori miskin.

Bukankah pemerintah telah memiliki data pasti berapa dan dimana orang dengan kategori miskin tersebut yang hanya sekitar 26 juta orang dengan pengeluaran Rp400 ribu per bulan. Yang berarti pemerintah harus menyiapkan dana sekitar Rp5 T untuk waktu 14 hari atau sekitar Rp10 T dalam satu bulan.

Namun, selain biaya hidup orang miskin ternyata masalah lain muncul ketika perusahaan-perusahaan yang tidak dapat meliburkan karyawan dengan menutup perusahaan sementara dengan alasan khawatir tidak mampu menggaji karyawannya jika produksi terhenti.

Bahkan banyak perusahaan mengeluh jika pendapatan usaha mereka tidak bisa menutupi biaya operasional perusahaan khususnya gaji. Dan karyawan juga tidak mau diliburkan tanpa gaji meskipun hanya 14 hari atau sampai sebulan.

Jika dilihat dari kekhawatiran tersebut, jelas bagi kita bahwa sebenarnya baik perusahaan juga karyawan tersebut tidak memiliki kemampuan dengan pendapatan Rp5juta per orang, bisa jadi mereka bergaiji Rp5juta untuk menghidupi 2 orang atau bahkan lebih dalam 1 keluarga.

Dan perusahan-perusahan di Indonesia khususnya yang proses produksi hanya mampu melakukan proses produksi untuk bulan itu saja jika tidak produksi maka mereka tidak mampu menggaji karyawan yang dirumahkan sementara.

Belum lagi orang-orang yang memiliki usaha seperti warung-warung dan misal driver-driver ojek online yang mengaku resah dengan penghasilan mereka jika lockdown terjadi, seperti yang dikhawatirkan pemerintah. Jika mereka tidak memiliki penghasilan maka mereka tidak makan karena pemerintah tidak mampu menutupi kebutuhan mereka.

Disisi lain jika memang betul statistik yang menyebut pendapatan per kapita Rp5juta per orang, seharusnya iika tiak memiliki penghasilan sebulan saja mereka akan tetap makan. Sesuai rilis yang pernah ada di Indonsia bahwa rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari hanya berkisar Rp400.000 per orang.

Tabir Imunitas Ekonomi Dibalik Corona

Sejak corona ini masuk ke Indonesia seolah kita melihat sebuah gambaran buruk kondisi ekonomi bangsa, baik dari sisi pemerintah yang tidak memiliki kemampuan menanggung hidup rakyat yang tidak mampu dengan tidak bersedia melakukan karantina wilayah, hingga rakyat kita sendiri yang mengatakan jika lockdown terjadi maka mereka tidak makan.

Sehingga patut kita bertanya betulkah industri kita sudah maju sesuai rilis USTR point 2 dan 3 atau selama ini laporan keuangan pemerintah khsusnya neraca perdagangan yang memberikan gambaran “dipermanis” supaya terlihat bagus.

Ditambah dengan angka pendapatn per kapita Rp5 juta yang ternyata justru masing-masing orang tidak mampu menghidupi kebutuhan sehari-hari yang ketika harus berdiam di rumah, ataukah memang angka Rp5 juta itu hanya dimiliki segelintir orang/usaha yang jika dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia akan menghasilkan angka Rp5juta?

Dengan kasus corona ini, sudah seharusnya pemerintah terbuka kepada seluruh rakyat bagaimana kondisi ekonomi Indonesia sebenarnya. Bukankan corona ini harus dilawan bersama, semua elemen harus saling bantu.

Jika memang betul perusahan-perusahaan tersebut mampu, harus dipaksa perusahaan tersebut menutup usahanya sementara dan meliburkan karyawan dengan gaji full. Dan pemerintah menanggung biaya hidup rakyat dengan kategori miskin tersebut.

Selain itu semua rakyat diminta memahami kondisi ini dengan transparansi informasi dari pemerintah. Agar kasus corona ini dapat segera tertangani dengan tepat dan jangan sampai alasan ekonmi membuat pemerintah salah mengambil langkah yang berkaitan dengan keselamatan jiwa warganya. Mengingat hingga awal April ini sudah hampir seluruh wilayah Indonesia memiliki kasus positif dan meninggal dengan status sebaran yang sangat mengkhawatirkan.

Oleh: Trismayarni Elen S.E., M.Si / Praktisi dan Akademisi Akuntan
Email: elen.akuntan@gmail.com