Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | basrowibasrowi
Ilustrasi social distancing. (Shutterstock)

Sosialisasi perilaku social distancing dalam rangka menghindari penularan virus corona sudah sangat masif dilakukan. Berbagai sepanduk memenuhi pintu masuk tempat-tempat ibadah dan pasar. Di mulut gang masuk perkampungan padat huni dan di berbagai kawasan strategis DKI Jakarta pun sudah banyak dipasang berbagai spanduk anjuran untuk menerapkan social distancing dan berperilaku hidup sehat.

Namun, upaya itu belum membuahkan hasil maksimal. Di pasar, mayoritas masyarakat bebas melakukan aktivitas jual beli tanpa menjaga jarak dan sama sekali tidak menggunakan masker. Saya heran, mengapa ketika saya pakai masker rapi, banyak orang yang berpapasan dengan saya langsung mengatakan, “corona oe-oe corona.”

Saat saya beli sesuatu pun, ada beberapa penjual yang mengatakan, “Hidup-mati urusan yang di atas!” Bahkan ada juga yang mengatakan, “Bagaimana saya bisa berdagang kalau harus pakai masker seribet itu?”.

Anehnya lagi, saat saya keluar dari parkir, petugas parkir yang melihat saya pakai masker mengatakan, “Corona ya?”. Tidak ada satu kata pun terucap dari bibirku. Dalam hatiku--sebagai orang yang masih ingin hidup sehat--hanya bisa istighfar serta berdoa, “Semoga semuanya sehat, wal afiat.” Ku jawab sendiri juga, “Aamiin.”

Hingga kini, saya masih heran, mengapa tingkat kesadaran masyarakat untuk menerapkan perilaku social distancing dan memakai masker bagi yang berada pada tempat umum sangat rendah.  Apakah mereka merasa dirinya masih sangat kuat.

Atau, mereka belum percaya kalau virus Corona itu sudah menjadi Pandemi? Rupanya mereka memang belum sepenuhnya percaya bisa kalau virus Corona bisa menyebar dengan semudah itu.

Penjual sate keliling, bakso keliling, rujak bebak, jamu gendong, siome, gorengan, dan mayoritas penjual kaki lima, semuanya tidak pernah cuci tangan baik sebelum maupun sesudah melayani penjual. Bahkan air satu ember kecil pun selalu digunakan untuk mencuci piring semua pelanggan. Lap piring dari kain pun hanya ada satu yang digunakan dari pagi hingga malam, bahkan dari kemarin lap tersebut bisa jadi belum dicuci.

Di tempat-tempat nongkrong pun, semua orang merokok bareng tanpa ada jarak yang berarti. Di warung-warung, toko-toko, dan di jalanan hanya ada sedikit sekali yang menerapkan sosical distancing atau menggunakan masker saat di tempat umum. Saya tidak tahu, apa yang ada pada benak mereka.

Kultur Agraris yang Harus Diubah

Masyarakat kota Jakarta dan kota-kota lainnya, meskipun sudah lama tinggal di kota, bahkan lahir juga di kota, namun kultur agrarisnya masih sangat tampak. Mereka masih sangat senang ngobrol bersama, duduk-duduk bersama orang lain di depan rumah, duduk-duduk di warung sekedar untuk minum kopi dan mengobrol, dan berbagai kegiatan sosial lain yang berpeluang besar tertular oleh virus corona yang wujudnya tidak tampak.

Kebiasaan mencari berita dari mulut orang lain melalui “mengerumpi” belum bisa hilang meskipun penyebaran virus Corona telah kian nyata. Ibu mertuaku dan ibu kandungku sendiri pun, kalau di Jakarta, tidak pernah ‘krasan’, karena tidak bisa ngobrol dengan tetangga. Kebiasaan seperti itu pada saat sekarang ini, tentu tidak pas apabila dilestarikan.

Manusia sebagai makhluk sosial “homo-homini socius” seolah-olah telah digeser posisinya oleh virus Corona menjadi makhluk yang homo homini lupus, individualistis, mandiri, dan penuh kecurigaan dengan orang lain. 

Perilaku agraris yang lebih senang berkumpul dengan orang lain dalam bekerja, ingin selalu ngobrol dengan orang lain, ingin selalu ada teman curhat, merokok bersama sambil mengobrol, dan kegiatan kolektif lainnya, perlu diubah menjadi perilaku mandiri dengan penuh kahati-hatian dan kewaspadaan.

Perilaku agraris seperti ronda dengan melakukan ‘begadang’ dan kumpul-kulpul di malam hari, sesungguhnya juga dapat memudahkan virus Corona menyerang tubuh kita. Oleh karena itu, pada saat Pandemi Covid-19 sudah terjadi, tentu perilaku tersebut harus digeser menjadi perilaku yang lebih sehat.

Perilaku agraris seperti arisan tenaga kerja dengan membantu tenaga secara bergiliran, perlu digeser melalui arisan secara daring. Sehingga tidak ada lagi kegiatan kumpul-kumpul yang dapat menyebabkan penyabaran virus tersebut. Mengapa semua yang asyik-asyik dilarang ya?  Bukan dilarang, tetapi dibatasi intensitas dan kuantitas orangnya.

Perilaku saling memberikan hantaran atau bertukar makanan yang sering dilakukan oleh masyarakat agraris juga perlu ditinjau ulang. Masyarakat akan lebih sehat manakala dapat memasak sendiri dengan tingkat hygiene yang bisa dikontrol sendiri.  Pada saat pandemi Corona ini, makanan yang ditukar dengan makanan lain oleh orang yang berbeda pada saat memasak, berpeluang memberikan efek yang kurang baik.  

Perilaku “petan” saling mencari kutu di rambut, yang terkadang dilakukan secara berantai lebih dari dua orang berbaris ke belakang, sambil mengobrol “ke utara dan ke selatan” untuk memetakan dan mencari berbagai keburukan orang lain, juga harus dihentikan. Hal itu karena secara agama memang dilarang, bahkan dapat juga menyebabkan terjadinya penularan virus Corona.

Kebiasan menyuapi anak sambil jalan ke mana-mana mengikuti langkah kaki si anak, dengan cara bergerombol antaribu-ibu juga harus dihentikan, diganti dengan menyuapi anak di rumah. Selain tidak ada debu dan lalat yang hinggap di makanan anak, juga  dapat mengurangi proses penularan Covid-19 yang semakin hari semakin meluas.

Hilangnya Ruang Kebersamaan

Ruang kebersamaan dalam kehidupan sosial manusia sebagai ciri masyarakat agraris, kini telah diporak-porandakan oleh makhluk Tuhan bernama Virus Corona. Manusia yang satu tetap saja membutuhkan manusia yang lain, hanya saja jarak fisik minimal 1,5 meter sebagai bentuk perilaku social distancing, perlu dilaku-galakkan. Bahkan  tindakan karantina diri sendiri di rumah pun perlu dipraktikkan. Semua itu mengalahkan budaya masyarakat yang notabene masih sangat kental dengan budaya agraris. 

Budaya agraris saling tolong menolong, saling bertanggung jawab, dan saling melindungi satu sama lain perlu dilakukan, dengan mempraktikkan social distancing dan memakai masker setiap berada pada area publik.

Perilaku yang demikian berarti seseorang telah berupaya saling melindungi satu sama lain. Tolong menolong untuk tidak saling menularkan virus pada orang lain, dan saling bertanggung jawab atas kesehatan diri dan orang lain. Hal inilah yang perlu ditonjolkan oleh masyarakat dengan kultur agraris.

Kultur agraris bukan lagi saling bantu membantu dalam arti tenaga, tetapi bergeser menjadi saling bantu membantu menjaga diri dari kemungkinan terserangnya virus Corona satu sama lain. Pencegahan dan upaya kuratif terhadap virus corona adalah menjadi tanggungjawab bersama.

Keberhasilan kita adalah keberhasilan kita semua. Semoga, upaya sosialisasi social distancing pada masyarakat berkultur agraris dapat berhasil dalam mengerem laju penyebaran virus Corona yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Semoga.

Oleh: hDr. Basrowi, Pengamat Kebijakan Publik. Alumnus S3 Ilmu Sosial Unair dan S3 Manajemen SDM UPI YAI Jakarta.

basrowibasrowi