Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | yuli fitrianingsih
Ilustrasi belajar ujian. (Shutterstock)

Pandemi COVID-19 telah banyak menimbulkan dampak pada berbagai aspek kehidupan, jelas saja terlihat pada kegiatan ekonomi, pendidikan, transportasi, distribusi barang dan aktivitas lainnya. Semakin bertambahnya kasus yang terinveksi Corona Virus Disease mengarahkan pemerintah untuk membuat kebijakan demi memutus mata rantai penyebaran virus tersebut.

PSBB, Pembatasan Sosial Berskala Besar telah diterapkan di wilayah DKI Jakarta. Pada 33 check point: 11 di Perbatasan wilayah, 13 di stasiun dan terminal, 5 di pintu toll, dan 4 check point di dalam kota. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengungkapkan rasa apresiasi kepada warga DKI Jakarta yang taat PSBB hari ke-4 dalam pidatonya secara langsung pada Senin, 13 April 2020. Penerapan PSBB senjutnya akan dilaksanakan di wilayah Jawa Barat Banten, tenggerang, dan daerah lainnya.

Peraturan PSBB yang diterapkan sesuai dengan PERGUB NO.33 tahun 2020, kebijakan ini tentunya menimbulkan problema bagi sebagian masyarakat. Mulai dari lesunya perekonomian, penerapan belajar di rumah, dan penerapan bekerja di rumah. Sama halnya dengan kebijakan social distancing dan physical distancing, PSBB memiliki ekternalitas negatif bagi beberapa lapisan masyarakat.

Eksternalitas merupakan tindakan yang berdampak terhadap orang lain tanpa adanya kompensasi. Eksternalitas negatif tersebut dirasakan karena kebijakan PSBB membuat sebagian lapisan masyarakat mengalami dampak tanpa adanya kompensasi yang berarti.

Lesunya perekonomian diakibatkan permintaan akan barang dan jasa yang menurun sehingga pendapatan masyarakat tidak menentu. Masyarakat cenderung berada di rumah, sehingga pedagang-pedagang kaki lima merasakan dampak sulitnya mencari nafkah. Hal ini tidak berdampak besar bagi pedagang ritel atau pedagang sembako karena barang akan selalu dibutuhkan oleh masyarakat sehingga permintaan akan selalu ada.

Lumpuhnya sebagain sektor perekonomian dirasakan juga oleh seorang penjahit yang bekerja di Perkampungan Industri Kecil (PIK) Pulo Gadung, Jakarta Timur. Penghasilannya menurun seiring ditutupnya beberapa pasar di Jakarta, sehingga mempengaruhi besaran kiriman bagi anaknya di kampung halaman.

“Semenjak ditutupnya pasar Tanah Abang, saya tidak bekerja lagi menjahit. Penghasilan yang biasanya didapatkan 2 minggu sekali sekarang ini di dapatkan apabila ada jahitan yang tidak pasti datangnya. Besaran upah menjahit menurun karena tidak banyak toko yang pesan jahitan,” ucap Ibu Hayatun.

Aspek perekonomian yang lesu berimbas pada efektivitas proses pembelajaran. Semenjak penerapan kebijakan belajar di rumah, siswa melaksanakan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). Berlangsunya PJJ memerlukan seperangkat media yang dapat mendukung dalam belajar. Kuota harus tersedia untuk mengakses aplikasi pembelajaran, menekan masyarakat disamping penghasilan yang menurun.

 Seperti yang dirasakan Ibu rumah tangga yang mendampingi anaknya dalam belajar, “saya setiap hari menemani anak kelas online. Kelas 2 SD belum mengerti cara-cara penggunaan aplikasi belajar online. Sehingga saya harus mendampingi. Sebelumnya saya tidak memiliki hanphone untuk belajar anak. Tetapi karna sistem pembelajaran yang harus online jadi harus membeli handphone baru,” kata Ibu Yatim.

Ibu Yatim seorang penjual minuman mengaku terkena imbas kebijakan PSBB. Larang untuk berkumpul dan membuat acara yang menghadirkan orang banyak. Kini penjualan minuman menjadi turun drastis. Belum lagi anaknya yang harus mebeli hanphone baru dan pengisian kuota yang tidak sedikit.

Harus menemani anaknya belajar dan kegiatan berjualannya terganggu. Masyarakat mengaharapkan supaya pemerintah untuk memberikan subsidi berupa aplikasi yang hemat akan penggunaan kuota supaya semua siswa dan masyarakat dapat mengakses aplikasi tersebut tanpa kuota yang besar.

Hal ini sangat dirasakan masyarakat yang berada di pedesaan, perangkat pembelajaran sangat minim dimiliki oleh setiap anak. Bahkan penghasilan sebagai petani dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lalu bagaimana kegiatan pembeljaran yang berlangsung di pedesaan apakah berjalan efektif?

Seorang siswa yang bersekolah di SMP Negeri 8 Banjar Jawa Barat merasakan minimnya perangkat yang dimiliki, tuturnya:

 “TV di rumah saya dalam kondisi gelap, berbayang, dan suara yang sedikit tidak jelas” ujar Resti, anak Ibu Hayatun 

Pembelajaran yang rencananya akan dilakukan melalui televisi nampaknya perlu dilakukan peninjauan dimana tidak semua pelajar memiliki kondisi sarana dan prasarana yang baik untuk proses pembelajran. Resti seorang siswi SMP contohnya mengalami kesulitan apabila kondisi televisi di rumahnya kurang mendukung proses belajar.

Akibatnya masih ada pelajar yang belum bisa belajar dengan baik selama pembatasan sosial berskala besar. Eksternalitas positif dari kebijakan PSBB dapat dirasakan oleh pelajar dimana mereka akan semakin peka terhadap perkembangan teknologi di sekitar. Tanpa adanya PSBB, pembelajaran akan tetap dilakukan secara tatap muka.

Masyarakat dan pelajar tidak akan mengakses berbagai media dan aplikasi pembelajaran. Adanya pembelajaran online dapat menanamkan sikap disiplin akan waktu. Peran pemerintah dalam mengatasi hal tersebut sangatlah di harapkan, dengan subsidi kuota bagi pelajar.

Oleh: Yuli Fitrianingsih / Mahasiswi S1 Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta

yuli fitrianingsih

Baca Juga