M. Reza Sulaiman | e. kusuma .n
ilustrasi perilaku bullying pada remaja (Pexels/cottonbro studio)
e. kusuma .n

Perundungan (bullying) bukan lagi dianggap masalah sepele di lingkungan sekolah atau pergaulan remaja. Perundungan, baik secara fisik, verbal, relasional, maupun digital, telah terbukti membawa dampak serius pada perkembangan mental remaja.

Banyak yang mengira perundungan hanya meninggalkan luka emosional sementara. Padahal, faktanya, perundungan dapat menjadi pemicu berbagai gangguan mental jangka panjang, seperti depresi, kecemasan, hingga Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Fenomena ini semakin mengkhawatirkan karena terjadi di masa remaja, periode ketika identitas diri sedang dibentuk dan emosi berada pada fase paling sensitif.

Mengapa Remaja Sangat Rentan Terhadap Dampak Mental dari Perundungan?

Masa remaja berada pada tahap perkembangan krusial dalam membentuk konsep diri, harga diri, dan keamanan emosional. Saat mereka mendapatkan perlakuan kasar, dihina, diasingkan, atau dipermalukan, hal ini langsung menyerang aspek-aspek penting tersebut.

Remaja juga lebih rentan karena otak emosional mereka berkembang lebih cepat daripada kontrol diri. Akibatnya, pengalaman traumatis seperti perundungan berpotensi meninggalkan jejak yang kuat dalam memori emosional.

Selain itu, remaja memiliki kebutuhan yang sangat tinggi untuk diterima oleh kelompok. Saat mereka ditolak, direndahkan, atau diasingkan, akan muncul perasaan tidak berharga dan tidak layak dicintai.

Sayangnya, kemampuan coping anak remaja masih terbatas sehingga mereka bisa saja mengalami kesulitan dalam mengelola emosi negatif atau mencari bantuan. Banyak yang memilih diam karena takut dianggap lemah.

Depresi pada Remaja: Luka Psikologis yang Sering Tak Terlihat

Depresi menjadi salah satu dampak paling umum dari perundungan. Remaja yang terus disakiti atau dipermalukan cenderung mulai meragukan diri sendiri dan kehilangan motivasi hidup.

Beberapa remaja yang menjadi korban perundungan akan memperlihatkan gejala khas, mulai dari murung berkepanjangan, menarik diri dari pergaulan, prestasi akademik yang menurun, kehilangan minat pada hobi, hingga merasa tidak berharga.

Sayangnya, depresi pada remaja sulit dideteksi karena sering dianggap sebagai "fase labil". Padahal, jika tidak segera ditangani, depresi bisa berkembang menjadi pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup.

Kecemasan Berlebih: Hidup dalam Ketakutan yang Tidak Selalu Terucap

Di sisi lain, kecemasan berlebih juga turut mengintai remaja korban perundungan. Mereka mungkin terus-menerus merasa takut, tegang, atau waspada secara berlebihan, seolah ancaman selalu ada di sekitar mereka.

Hal ini membuat korban menjadi sulit berkonsentrasi, mudah panik saat menghadapi situasi sosial, takut bertemu teman sekolah tertentu, serta mengalami gejala fisik seperti sakit perut, jantung berdebar, atau sesak napas.

Pada kasus perundungan siber (cyberbullying), kecemasan menjadi lebih parah karena remaja merasa tidak punya tempat aman untuk berlindung, bahkan saat berada di rumah.

PTSD: Saat Trauma Perundungan Mengikuti Remaja Bertahun-tahun

Tidak banyak yang menyadari bahwa perundungan bisa menyebabkan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), terutama jika yang dialami adalah perundungan berkepanjangan atau sangat brutal.

Remaja dengan PTSD mungkin mengalami kilas balik (flashback), mimpi buruk berulang, ketakutan intens meskipun sudah tidak bertemu pelaku, serta menghindari tempat, orang, atau situasi yang mengingatkan pada perundungan.

Bahkan, trauma perundungan juga memicu perubahan emosi, seperti mudah marah atau mati rasa secara emosional. Pada akhirnya, PTSD membuat remaja sulit menjalani kehidupan normal karena trauma selalu terasa dekat dan hidup dalam ingatan mereka.

Faktor Lingkungan yang Memperparah Dampak Mental Perundungan

Pengaruh perundungan pada kesehatan mental remaja semakin parah jika lingkungan sekitar tidak memberikan dukungan. Sekolah yang tidak responsif, keluarga yang kurang peka, hingga normalisasi candaan negatif menjadi faktor yang memperburuk dampak perundungan.

Remaja yang mengalami gangguan mental setelah mengalami perundungan seolah semakin terjebak dalam situasi berbahaya tanpa perlindungan. Melapor pun dirasa tidak berguna karena kurangnya ruang aman bagi korban.

Dukungan Semua Pihak adalah Kunci Melawan Dampak Mental Perundungan

Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk menghadapi dampak mental akibat perundungan? Kuncinya adalah dukungan dari semua pihak, baik keluarga, sekolah, maupun lingkungan.

Rumah dipersiapkan menjadi ruang paling aman di mana keluarga harus bisa menjaga komunikasi terbuka, memperhatikan perubahan perilaku anak, dan tidak meremehkan keluhan mereka.

Pihak sekolah harus membuat sistem pelaporan yang aman, menciptakan budaya antikekerasan, dan mempersiapkan pelatihan khusus bagi guru agar lebih peka dalam mengenali tanda-tanda korban perundungan.

Lingkungan sosial harus mulai menghentikan budaya menonton atau menyebarkan konten perundungan, berhenti menjadi “penonton pasif”, serta memvalidasi perasaan korban.

Ingat, perundungan bukan hanya masalah konflik remaja, tetapi ancaman serius bagi kesehatan mental yang berpotensi menimbulkan depresi, kecemasan, hingga PTSD yang bertahan hingga dewasa.

Semakin cepat perundungan dikenali dan ditangani, semakin besar peluang remaja untuk pulih dari luka psikologis yang mereka alami.