Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | salma azzahra
Gubernur Banten Wahidin Halim saat memimpin rapat koordinasi dengan kabupaten dan kota di Pendopo Gubernur, KP3B, Curug, Kota Serang. [Banten News/Istimewa]

Pada awal tahun 2020, Indonesia dan dunia digemparkan dengan wabah COVID-19 yang berimplikasi tidak hanya pada kesehatan, namun juga perekonomian. Banyak pemimpin dunia mengalami kesulitan dalam menangani wabah ini. Peran seorang pemimpin merupakan salah satu hal yang mempengaruhi kesigapan dan keberhasilan suatu organisasi dalam merespon terhadap lingkungan yang dinamis.

Riset yang dilakukan oleh Katadata Insight Center (KIC) menunjukkan bahwa Banten merupakan salah satu provinsi yang paling tidak siap menghadapi corona karena tidak memadainya kondisi layanan kesehatan.

Sebagai seorang pemimpin, Gubernur Banten memiliki tanggung jawab yang besar dalam menggerakkan dan mengatur Banten agar tidak salah langkah dalam menghadapi COVID-19.

Sejauh ini, Wahidin Halim sebagai Gubernur Banten yang juga menjabat sebagai Ketua Gugus Tugas Penanggulangan COVID-19 di Provinsi Banten, mengaku telah menutup banyak industri, pabrik, toko, dan pasar yang tidak taat protokol kesehatan.

Bahkan, Wahidin mengancam akan memberikan sanksi kepada Bandara Soekarno-Hatta karena tidak menjalankan anjuran physical distancing. Namun demikian, langkah ini dinilai masih belum efektif lantaran penyebaran virus, terutama di daerah Tangerang Raya terus bertambah.

Upaya yang telah dilakukan Wahidin tidak dibarengi dengan koordinasi yang komprehensif dengan instansi lain di Banten.

Kunjungan kerja Sekretaris Komisi V DPRD Banten Fitron Nur Ikhsan dengan Walikota Serang Syafrudin mengungkapkan bahwa koordinasi antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota lain masih minim, bahkan Syafrudin mengaku hanya sekali diundang Gubernur, yakni ketika kasus COVID-19 pertama muncul.

Rivai (2011) mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan untuk mempengaruhi bawahan, supaya sasaran organisasi tercapai. Dalam hal ini, gaya kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Gubernur Banten adalah gaya kepemimpinan otoriter karena bersifat sentralistik dengan tidak berkoordinasi dengan pihak lain.

Syafrudin mengatakan bahwa pihaknya dan Pemprov tidak terkoordinasi dengan baik, sehingga terjadi program yang tumpang tindih yang tidak efisien, seperti penyemprotan disinfektan di Terminal Pakupatan yang dilakukan oleh Pemkot Serang dan Pemprov Banten.

Selanjutnya, Syarfudin mengungkapkan bahwa Pemkot Serang dan pemerintah kabupaten/kota telah setuju melakukan pergeseran anggaran untuk COVID-19. Namun, Gubernur meminta pemerintah kabupaten/kota melakukan pergeseran anggaran dari bantuan keuangan (bankeu) Pemprov Banten. Hal ini juga menunjukkan bahwa kerja sama antar organisasi pemerintah masih belum tercapai dengan baik. Padahal, perselisihan paham dan ketidakjelasan dapat menghambat penanganan Covid-19.

Wakil Ketua DPRD Banten Fahmi Hakim menilai kebijakan ini tidak efektif, terlebih karena bantuan keuangan yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi wilayah terdampak Covid-19. Meskipun Tangerang Raya yang memiliki jumlah kasus tertinggi, nilai bankeu yang diberikan tidak berubah dari jumlah sebelumnya. Akibatnya, kebijakan ini dinilai sarat akan kepentingan politik dibandingkan dengan kepentingan masyarakat.

Diberitakan bahwa bankeu untuk Kabupaten Pandeglang adalah Rp55 miliar, Kota Serang sebanyak Rp45 miliar, Kabupaten Tangerang sebesar Rp60 miliar, Kota Cilegon dengan jumlah Rp45 miliar, Tangerang Selatan sebanyak Rp45 miliar, Kabupaten Serang sejumlah Rp80 miliar, Kota Tangerang sebesar Rp 45 miliar, dan Kabupaten Lebak senilai Rp65 miliar.

Masalah anggaran perlu dikoordinasikan antara kabupaten/kota dengan provinsi. Kepemimpinan Wahidin tidak dapat menciptakan kerja sama yang efektif antara stakeholder terkait. Padahal dalam menghadapi Covid-19, Pemprov tidak dapat bergerak sendirian, diperlukan usaha kolektif dari pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat.

Pada kesempatan lain, Pemprov Banten secara sepihak menetapkan libur dua pekan untuk SMK/SMA di Banten. Keputusan ini menuai kritik dari pengamat kebijakan publik, Ojat Sudrajat yang merasa bahwa seharusnya Pemprov Banten harus berkoordinasi dengan bupati/walikota. Usai pengumuman libur tersebut, wali siswa TK, SD, dan SMP mengaku kebingungan karena tidak menerima arahan serupa. Selang sehari kemudian, barulah pemkot dan pemkab Banten menetapkan libur selama dua pekan.

Gaya kepemimpinan ini dinilai menyebabkan kegagalan upaya penekanan penyebaran virus. Tindakan Gubernur Banten seperti hanya bertindak seorang diri dan tidak berkomunikasi dengan baik pada pemerintah di delapan kabupaten dan kotanya.

Gubernur Banten Wahidin Halim mengumumkan adanya warga yang terjangkit Covid-19, pengumuman tersebut bertentangan dengan protap penanganan Covid-19 yang menyatakan bahwa informasi hendaknya hanya melalui satu pintu, yakni melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Tindakan ini menuai kritik dan pujian dari berbagai pihak.

Pihak Kemenkes mengatakan akan melaporkan Wahidin kepada Kementrian Dalam Negeri. Informasi yang dibeberkan Wahidin dapat menimbulkan kepanikan pada masyarakat, namun Ketua DPRD Banten Andra Soni menyatakan bahwa apa yang disampaikan Gubernur Banten dapat dipertanggungjawabkan, selain itu, masyarakat juga berhak mendapatkan informasi dari Pemprov.

Sayangnya, sebagaimana dilansir dalam BantenHits.com, pernyataan Gubernur Banten tersebut ternyata sempat memiliki kesalahan dalam penulisan alamat pasien terjangkit corona. Pasien tersebut berada di Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang. Tetapi pernyataan yang diberikan Pemprov Banten menyatakan bahwa berasal dari Kecamatan Curug, Kota Serang.

Dilihat melalui teori leader vs manager Kotter (1996), Gubernur Wahidin hanya berperan sebagai seorang manajer dan bukan seorang pemipin. Hal ini ditandai dengan adanya keharusan untuk memiliki jabatan agar orang mau mendengarkan perkataannnya. Seorang manajer menekankan pada pemberian perintah dan menitikberatkan keputusan hanya kepada diri sendiri.

Hal ini dapat dilihat dari Tindakan Gubernur Banten yang mengalihkan kas daerah ke BJB tanpa melibatkan DPRD. Kebijakan ini dinilai terlalu tergesa-gesa dan dapat menggangguu fungsi Bank Banten sebagai Bank Pembangunan Daerah. Padahal, Gubernur memiliki kewajiban untuk menyelamatkan Bank Banten dan bukan sebaliknya. Gubernur memindahkan kas lantaran Bank Banten gagal menyediakan dana yang diminta Pemprov untuk safety net bagi masyarakat yang terdampak Covid-19.

Selain itu, salah satu ciri manajer lain adalah kepemimpinannya yang tidak disukai oleh bawahan. Walikota Serang Syafrudin mengirim surat keberatan atas keputusan yang dilakukan oleh Gubernur Wahidin mengenai pergeseran bankeu dan pembelian tanah di Serang yang akan digunakan sebagai pemakaman khusus Covid-19.

Keputusan yang dilakukan Wahidin masih sepihak tanpa melibatkan opini masyarakat maupun kerja sama dengan Pemkot. Padahal, lahan tersebut merupakan ruang terbuka hijau.

salma azzahra