Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Rizka Amellya
Netflix (123RF.COM/CHARNSIT RAMYARUPA)

Keterbatasan aktivitas yang dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai dampak dari pandemi Covid-19 di Indonesia menyebabkan banyak ruang publik dibatasi untuk beroperasi secara normal. Karenanya masyarakat harus mencari hiburan baru untuk dapat mengisi kejenuhan mereka.

Salah satu platform yang semakin banyak diminati oleh masyarakat selama pademi khususnya kalangan muda adalah Netflix. Di mana Netflix menyediakan layanan streaming film. Layanan ini menjadi menarik sebagai solusi untuk membeli atau menyewa film asli, menonton film dan serial terjadwal di stasiun televisi lokal maupun Internasional.

Pasalnya tidak hanya kalangan pelajar atau mahasiswa yang mengikuti trend ini, tetapi kalangan influencer seperti Arief Muhammad, dan Rachel Vennya. Untuk dapat menikmati keseluruhan konten yang disediakan oleh Netflix, pelanggan akan diarahkan untuk membeli paket streaming dengan harga tertentu.

Sebagai salah satu layanan digital yang berada di Indonesia, Netflix kini memiliki banyak penggemar dan turut mengambil manfaat ekonomi melalui perdagangan jasa layanan streaming film di Indonesia. Oleh sebab itu Kementrian Keuangan RI berencana untuk mengenakan PPN pada setiap pembelian layananan Netflix.

Adapun pengenaan pajak produk digital dilaksanakan sesuai PMK Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik yang diatur pada 5 Mei 2020 dan berlaku pada 1 Juli 2020.

Dalam UU PPN yang berlaku disebutkan bahwa yang menjadi objek PPN termasuk pada pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah pabean. Dalam Pasal 3 ayat 3A UU PPN disebutkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang/Jasa Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean harus dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang/Jasa Kena Pajak Tidak Berwujud tersebut.

Pengenaan PPN pada Netflix bukan tanpa alasan, tetapi karena Netflix sudah memenuhi kriteria sebagai pelaku usaha PMSE, adapun objek pajak yang dikenai PPN PMSE yaitu, layanan aliran atau streaming musik, film, aplikasi dan games digital. Dimana nilai transaksi tertentu dan/atau jumlah traffic/pengakses tertentu dalam waktu 12 bulan.

Rencana ini sudah dipublikasikan oleh kementrian keuangan RI di laman instagramnya  @kemekeuri. Pengenaan PPN pada platform tersebut direncanakan akan dimulai pada 1 Juli 2020.

Dengan adanya kebijakan ini, maka segala bentuk barang yang diterima baik dari luar negeri atau dalam negeri akan dikenakan PPN, sehingga akan terwujud kesetaraan pelaku perpajakan agar terciptanya keadilan dan kesetaraan berusaha bagi semua pelaku usaha, baik dalam ataupun luar negeri, baik dalam bentuk konvensional ataupun digital.

Mekanisme yang dilakukan dalam pemungutan PPN atas penjualan luar negeri adalah dengan menunjuk pelaku usaha PMSE, yang terdiri dari Pedagang Luar Negeri, Penyedia Jasa Luar Negeri, Penyelenggara PMSE (PPMSE) Luar Negeri, dan/atau PPMSE Dalam Negeri sebagai pemungut PPN. Setelah memenuhi kriteria tertentu, Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan keputusan subyek yang wajib menjadi pemungut PPN untuk transaksi e-commerce ini. Kriteria tertentu tersebut adalah nilai transaksi dan/atau jumlah akses trafik dari PMSE tersebut.

Untuk dapat mengetahui seberapa banyak pengguna Netflix yang berasal dari Indonesia dapat dilacak melalui alamat yang tercantum pada akun tersebut atau penagihan pada pembelian layanan yang berasal dari Indonesia. Cara lain untuk mengetahuinya adalah dengan kode telepon Negara yang tercantum pada nomer telepon saat pembuatan dan pembelian layanan Netflix.

Adanya peraturan pemungutan PPN pada Netflix diharapkan dapat menjadi kekuatan hukum bagi pemerintah Indonesia untuk dapat melakukan pemungutan PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) .  Sebab banyak Negara lain seperti Uni Eropa, China, Korea Selatan yang telah menerapkan pemungutan PPN pada PMSE.

Pemungutan PPN yang akan dilaksanakan menuai pendapat dari kalangan pelajar seperti Auliya seorang mahasiswi yang terpaksa harus dirumahkan proses perkuliahannya, dan memilih Netflix sebagai hiburan.

“Sebagai salah satu pengguna Netflix saya sebenarnya sedikit terbebani dengan adanya pemungutan PPN yang akan dilaksanakan, sebab untuk berlangganan layanan Netflix besaran nominal yang harus dikeluarkan sudah terbilang cukup besar. Namun jika diulas lebih dalam penambahan biaya dalam berlangganan Netflix akan terasa sebanding dengan apa yang saya dapatkan pada platform tersebut. Konten yang saya dapatkan sangat beragam dan banyak serta kualitas video yang disuguhkan sangat baik, ditambah dengan adanya pandemi ini dimana seluruh tempat hiburan khususnya bioskop terpaksa harus tutup” ujar Auliya.

Pendapat lain datang dari Zahafra Hanif yang ternyata menyetujui adanya PPN pada pembelian layanan Netflix “Kalo saya pribadi setuju dengan adanya pemungutan pajak yang dikenakan pada Netflix, pengenaan PPN ini kan ada pada industri digital khususnya sektor hiburan. Harapan saya pengenaan pajak ini nanti akan bisa dialokasikan untuk mengembangkan industri hiburan di Indonesia. Dengan terbiasanya masyarakat dengan kualitas tontonan yang didapatkan pada platform tersebut pastinya masyarakat akan memiliki standar kualitas baru pada tontonan yang akan disajikan, dengan demikian akan dibutuhkan sarana dan prasarana yang kiranya akan mampu mendukung industri hiburan Indonesia”

Adanya biaya tambahan yang akan dikenakan pada pembelian layanan Netflix tidak langsung mendapatkan penolakan di masyarakat, karena dirasa pengenaan pajak tersebut telah sebanding dengan kualitas layanan yang disediakan, apalagi jika pengelolaan PPN tersebut akan dapat disalurkan untuk meningkatkan kualitas industri hiburan Indonesia.

 Oleh : Rizka Amellya, Mahasiswa S-1 Pendidikan Ekonomi 2018, Universitas Negeri Jakarta

Rizka Amellya