Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Trismayarni Elen, SE., M.Si
Ilustrasi PSBB. [Beritajatim.com]

Pasca diumumkannya rencana pemberlakuan PSBB total bagi wilayah Jakarta per 14 September 2020, akan semakin melemahkan motivasi pelaku usaha. Pengumuman PSBB total ini sudah pasti akan berimbas pada wilayah lainnya seperti daerah penyangga Jakarta yaitu Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi secara khusus hingga Pulau Jawa secara umum. Seperti diketahui bersama, bahwa DKI Jakarta merupakan barometer dari pergerakan bisnis Indonesia.

Pada masa PSBB transisi saja sesungguhnya pergerakan ekonomi masih lemah karena banyak perusahaan yang hanya beroperasi dengan kapasitas maksimal 50%, selebihnya banyak yang tutup atau dibuat shifting. Selain karena memang keuangan perusahaan yang tidak sanggup melanjutkan aktivitas operasional baik setengah atau menyeluruh, juga karena pertimbangan kesehatan karyawannya melalui protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah setempat dan pusat.

Dapat dilihat selama PSBB transisi saja, jalanan di Jakarta hanya terlihat ramai dan kadang macet di bulan-bulan setelah Idul Fitri antara Juni dan Juli 2020. Banyak pengusaha dan masyarakat mencoba bangkit namun akhirnya lebih memilih bertahan di rumah. Sehingga masuk bulan Agustus jalan-jalan di Jakarta kembali terlihat lancar atau terkadang ramai lancar di jam pergi dan pulang kantor.

Tapi pilihan PSBB transisi (yang di awal dikenal dengan New Normal) kala itu harus diambil karena alasan utama untuk menyelamatkan perekonomian. Namun pada kenyataannya dengan kondisi operasional perusahaan yang hanya mencapai 50% saja ternyata peningkatan kasus Covid-19 semakin tidak terbendung. Bukannya perekonomian yang tumbuh namun korban Covid-19 yang semakin meningkat yang masuk dalam kategori kritis.

Dengan keputusan PSBB Jakarta Senin mendatang, penting bagi kita bersama memikirkan langkah apa yang harus diambil kedepan, terkhusus bagi pelaku usaha UMKM melihat situasi seperti ini, karena lagi-lagi kita harus menyadari krisis tahun 2020 ini sangat berbeda dengan krisis ekonomi pada tahun 1998.

Cara Bertahan Masyarakat Ekonomi Menengah dan Atas

Pada kondisi krisis ekonomi dan masalah kesehatan karena Covid-19 ini, masyarakat dengan perekonomian menengah ke atas, sudah memiliki cara tersendiri dalam menghadapi situasi ini.

Banyak dari mereka tidak bergeming ketika pemerintah mengimbau “pemilik uang“ untuk mau membelanjakan uangnya agar pertumbuhan ekonomi bisa terangkat.

Kenyataannya bagi mereka kesehatan memang diurutan pertama. Dan secara ekonomi mereka mengetahui saat ini bukan saat yang tepat untuk membelanjakan uang mereka untuk kebutuhan diluar kebutuhan pokok.

Kita bisa melihat di wilayah Jakarta dan sekitarnya saja, banyak perumahan-perumahan kategori mewah memilih menutup akses masuk perumahan mereka yang menyebabkan pedagang keliling yang biasa lewat bahkan berjualan di sudut-sudut jalan tidak bisa menjalankan aktivitas seperti biasanya.

Selain itu, masyarakat ekonomi menengah yang jika memiliki pinjaman di bank, baik untuk kebutuhan usaha maupun belanja kebutuhan hidup seperti perumahan, kendaraan dan lain-lain pada kenyataannya lebih memilih menunda membayar cicilan dibanding harus menjual asset berharga mereka yang ada terutama emas.

Pengusaha menengah hingga besar, lebih memilih merestrukturisasi pinjaman mereka di bank untuk menunda pembayaran meski hanya beberapa bulan dibanding mereka harus menjual asset perusahaan untuk menutupi utang-utang mereka yang sudah jatuh tempo. Pertimbangan mereka adalah bagi dampak jangka panjang. Hal ini disebabkan karena belum bisa diprediksi secara tepat kapan Covid-19 ini bisa teratasi.

Masyarakat kita yang pernah dan masih ingat bagaimana kejadian krisis moneter tahun 1998, seperti lebih berhati-hati dalam penggunaan asset seperti uang tunai dan emas, apalagi kondisi krisis tahun ini sangat mengkhawatirkan yang disebabkan dampak Covid-19.

Dampak Bantuan Langsung Tunai

PSBB Jakarta September ini semakin menambah keyakinan kita bahwa resesi ekonomi Indonesia tak terhindarkan. Meskipun segala upaya yang dilakukan pemerintah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dengan menaikan daya beli, namun sepertinya tidak memberi perubahan signifikan dengan pemberlakuan PSBB Jakarta ini.

Upaya pemerintah menaikan daya beli dengan mencairkan gaji ke-13 PNS dengan golongan tertentu dan memberi bantuan langsung tunai kepada karyawan atau pelaku usaha mikro dan kecil hingga Rp2.400.000/orang sudah pasti hanya digunakan bagi penerima untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, jumlah uang tersebut bagi masyarakat Indonesia kebanyakan hanya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kita mengetahui bahwa PNS kita hanya sedikit yang memiliki jabatan dengan gaji di atas rata-rata sehingga bisa jadi selama ini gaji yang mereka dapatkan betul-betul digunakan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup standar keluarga mereka tersebut dan sangat tidak mungkin mereka mau mengeluarkan uang untuk kebutuhan yang bersifat konsumtif kecuali jika PNS tersebut memiliki usaha/pendapatan sampingan selain gaji.

Sehingga pertumbuhan ekonomi yang akan naik bisa jadi sama seperti kuartal ke-2 yang lalu yaitu di sektor pertanian dan perikanan karena sektor inilah yang menopang kebutuhan pokok masyarakat kita, selebihnya akan tetap sama atau berada di titik minus.

Kondisi tersebut harus ditangkap dan dipahami bagi pelaku usaha mikro dan kecil, sehingga pengusaha dapat mengambil celah yang masih mungkin untuk menambah pemasukan mereka dengan menjual produk-produk yang menyentuh kebutuhan pokok.

Hal ini sepertinya sudah banyak dilakukan oleh masyarakat golongan menengah ke bawah, seperti membuka lapak-lapak pinggir jalan yang menjual kebutuhan pokok/sembako dan banyak bermunculan warung-warung makan baru di sepanjang jalan di wilayah penyangga Jakarta.

Langkah Pemerintah

Melihat apa yang dilakukan Jakarta dengan PSBB Senin depan, harus menjadi pertimbangan pula bagi pemerintah pusat, karena sudah pasti pertumbuhan ekonomi yang diharapkan kemungkinan sulit tercapai.

Jika memang prioritas utama saat ini adalah keselamatan jiwa, dengan melihat kritisnya kondisi kesehatan pada masa pandemi ini, maka pemerintah pusat dan daerah lainnya harus menerima kenyataan bahwa perekonomian tidak mungkin kita paksa untuk tumbuh positif atau mengurangi pertumbuhan negatifnya, jika pada kenyataannya korban karena Covid-19 masuk kondisi mengkhawatirkan seperti saat ini.

Meskipun aktivitas perekonomian tidak mungkin berhenti total, namun pemerintah dan masyarakat haruslah lebih peduli bagaimana mengurangi risiko penyebaran Covid-19 ini, terutama bagi masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Oleh: Trismayarni Elen S.E., M.Si / Praktisi dan Akademisi Akuntan

Trismayarni Elen, SE., M.Si