Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | rangga aji wijaksono
Ilustrasi rempah-rempah (pexels.com)

Kata rempah dan meruah merupakan dua kata yang sangat cocok untuk tanah air tercinta ini. Indonesia, penjajah, dan rempah-rempah juga memiliki sejarah panjang di dalamnya. “Si Raja Rempah”, itulah sebutan untuk Indonesia 400 tahun yang lalu dengan berjuta kekayaan alam di dalamnya.

Seiring berjalannya waktu, muncul pertanyaan di benak kita, bagaimana rempah Indonesia saat ini di mata dunia? Seberapa besar kontribusinya untuk perekonomian Indonesia? Terlebih lagi pada masa pandemi saat ini, rempah merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan oleh banyak orang di dunia sebagai salah satu cara mereka untuk menjaga kondisi fisiknya. Hal ini bisa menjadi peluang yang besar bagi Indonesia sebagai salah satu Negara pengekspor rempah dunia.

Sebagai Negara agraris dengan jutaan kekayaannya, tentu sektor pertanian memiliki andil yang besar dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Tak lupa juga subsektor perkebunan yang juga memiliki kontribusi penting dalam pendapatan Negara. Tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019, subsektor perkebunan menyumbang sekitar 517,5 ribu miliar rupiah atau 3,27%  dari total PDB Indonesia yang merupakan sumbangan tertinggi pada kelompok lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan,   

Produktivitas Rempah

Berdasarkan Laporan Akhir Peningkatan Produksi Komoditas Perkebunan Berkelanjutan Tanaman Semusim Dan Rempah Tahun 2017 dari Direktorat Jenderal Tanaman Semusim dan Rempah Kementan, produksi rempah tanah air didominasi oleh lada, pala, dan cengkeh. Kemudian, Menurut data yang dikeluarkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2018, Indonesia selalu menduduki peringkat tiga besar dunia sebagai produsen rempah pilihan.

Peringkat pertama sebagai produsen kayu manis dan cengkeh, peringkat kedua untuk produksi pala, kemudian peringkat ketiga sebagai produsen lada tetapi cukup tertinggal jauh dengan Vietnam yang memiliki produksi lada hampir empat kali lipat lebih banyak dari Indonesia. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai pertimbangan bahwa produksi rempah Indonesia harus ditingkatkan sehingga Indonesia dapat lebih unggul bersaing di pasar Internasional.

Sektor pertanian khususnya subsector perkebunan menjadi salah satu andalan yang mendorong perekonomian Indonesia. Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian mencatat tingkat produktivitas beberapa rempah pilihan memiliki tren yang positif. Untuk tanaman pala dari tahun 2017-2019 berturut-turut memiliki produktivitas sebanyak 32.842, 44.100 dan 43.970 dalam satuan Ton, kemudian untuk produktivitas cengkeh sebanyak 113.178 Ton untuk tahun 2017, 131.014 Ton pada tahun 2018 dan meningkat menjadi 134.791 Ton pada tahun 2019.

Sejalan dengan hal tersebut untuk tanaman lada juga terus mengalami peningkatan tiap tahunnya hingga pada tahun 2019 mencapai 88.949 Ton untuk produksi lada. Berdasarkan data di atas produktivitas rempah pilihan selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya. Tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah peningkatan tersebut sejalan dengan nilai ekspor yang diperoleh Indonesia?

Volume dan Nilai Ekspor Rempah Pilihan

Sektor pertanian selain menjadi penyumbang PDB yang cukup besar bagi Indonesia, juga menjadi andalan Indonesia dalam mendapatkan devisa Negara lewat ekspornya. Tercatat oleh Subdirektorat Statistik Ekspor Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2019 volume ekspor barang-barang hasil pertanian mencapai 4,18 juta ton meningkat sebesar 14,64% dibandingkan tahun 2018 dengan volume sebesar 4,35 ton. Sejalan dengan Ekspor yang meningkat dari US$3,43 miliar menjadi US$3.61 miliar pada tahun 2019.                     

Besarnya volume ekspor pertanian juga salah satunya ditopang oleh ekspor rempah di Indonesia ditambah lagi pada masa new normal saat ini, rempah-rempah pilihan dapat menjadi strategi ekspor bagi Indonesia. Melansir data Publikasi dan Statistik Indonesia milik Badan Pusat Statistik (BPS), Ekspor Tanaman Obat, Aromatik, dan Rempah-Rempah menurut Negara Tujuan Utama dari tahun 2017-2019 memiliki tren yang cukup konstan, Thailand, Pakistan dan India merupakan tiga Negara teratas yang menjadi tujuan ekspor Indonesia.

Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengklaim permintaan ekspor komoditas rempah Indonesia masih prospektif kendati tengah menghadapi pandemi Covid-19 dan kenormalan baru (new normal). Melansir kembali data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian bersumber dari BPS setiap bulannya, nilai ekspor pala Indonesia cukup fluktuatif tapi cenderung meningkat dari tahun ke tahun selama Tahun 2014-2018 dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 0,63%.

Pada Tahun 2018, nilai ekspor pala mencapai US$111,68 juta dengan surplus sebesar US$109,45 juta atau naik sebesar 1,07% dari Tahun 2017 dan melonjak hingga 138,024 juta USD pada tahun 2019. Kemudian untuk nilai ekspor lada Indonesia cenderung mengalami penurunan selama Tahun 2015-2018 dengan rata-rata penurunan sebesar 34,02% kecuali pada Tahun 2015 nilai ekspor lada mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2014 dengan kenaikan sebesar 69,30%.

Pada Tahun 2019 nilai ekspor lada mencapai  147,34 juta USD. Hal ini mengalami penurunan nilai dibandingkan Tahun 2018, nilai ekspor lada mencapai  152,47 juta USD dengan surplus sebesar 147,9 juta USD atau turun lagi sebesar 36% dari Tahun 2017. Selanjutnya untuk nilai ekspor tanaman cengkeh pada tahun 2019 mencapai 111,54 juta USD naik sekitar 10 juta USD dibanding tahun 2018  yang mengalami kenaikan juga dari tahun sebelumnya dengan peningkatan yang sangat signifikan mencapai 252% dari US$28,92 juta meningkat menjadi US$101,77 juta.

Pada periode Januari–April 2020, nilai ekspor rempah Indonesia mencapai US$218,69 juta, atau meningkat 19,28 persen dibandingkan periode yang sama pada 2019. Komoditas ekspor rempah utama Indonesia selama 2019 adalah lada (pangsa pasar 22,04 persen), cengkeh (16,65 persen), bubuk kayu manis (12,16 persen), vanila (10,42 persen), dan pala (10,09 persen).

Secara umum nilai ekspor Indonesia terus meningkat dari periode 2017-2020, akan tetapi untuk setiap komoditasnya masih ada yang mengalami penurunan dari segi nilai ekspor, padahal jika dilihat dari segi volume selalu mengalami peningkatan. Hal ini dapat disebabkan karena sebagian besar hasil rempah tersebut saat dieskpor benar-benar dalam bentuk bahan mentah yang belum diolah sama sekali. Berbeda dengan Negara lain contohnya Vietnam yang juga menjadi salah satu Negara pengekspor rempah. Mereka cenderung mengolah dahulu rempah tersebut sehingga nilai ekspor yang mereka dapatkan jauh lebih besar dibandingkan Indonesia.  

Untuk memaksimalkan peluang Indonesia di masa pandemi Covid-19 ini sekaligus juga untuk mencapai kembali kejayaan Indonesia dalam hal rempah, harus dilakukan sebuah kolaborasi atau kerja sama dari seluruh pihak baik itu dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan, maupun para pengusaha sekaligus para petani rempah, sehingga dapat memaksimalkan produksi rempah yang digunakan sebagai konsumsi masyarakat maupun sebagai barang ekspor.

Komoditas lada perlu pula ditingkatkan dari segi kuantitas dan kualitasnya. Karena kita tahu sendiri bahwa Vietnam dapat memproduksi lada jauh lebih banyak dari Indonesia. Padahal dari segi lahan maupun sumber daya manusia ndonesia dirasa lebih besar banyaknya dibandingkan Vietnam.

Upaya lain yang dapat dilakukan adalah pendampingan oleh pemerintah kepada para petani dengan memberikan sosialisasi tentang cara penanaman rempah yang baik dengan lebih memanfaatkan bibit unggul yang dapat diperoleh dari teknologi di bidang pertanian untuk menghasilkan rempah yang jauh lebih berkualitas dari sebelumnya. Diharapkan pula para peneliti di bidang pertanian dapat terus memberikan idenya demi menciptakan hasil rempah Indonesia yang lebih baik lagi. Jika semua hal tersebut dapat dilakukan dengan baik, peluang besar Indonesia di masa pandemi ini dapat dimaksimalkan, sekaligus terwujudnya harapan Indonesia untuk mengembalikan kejayaannya di masa lalu pun akan semakin dekat.

rangga aji wijaksono

Baca Juga