Biasanya, bila ada film animasi terbaru, bayangan yang muncul di pikiran kita tuh tontonan ringan penuh warna untuk anak-anak, dengan cerita sederhana dan tokoh-tokoh imut yang bikin tersenyum. Namun, Film Boys Go to Jupiter, animasi besutan Julian Glander, sama sekali bukan film animasi tipikal seperti itu.
Memang benar, film yang perdana tayang di Tribeca Festival pada 7 Juni 2024, dipenuhi makhluk berbentuk jeli bermata besar, dunia penuh warna seperti mainan anak-anak, dan musik-musik manis yang ceria.
Namun, di balik lapisan imut dan absurdnya, film ini menyimpan potret getir, perihal realita kelas pekerja muda yang terjebak dalam sistem ekonomi yang kian kejam.
Julian Glander, yang juga menulis skripnya sekaligus memproduksi film ini lewat rumah produksi Glander Productions, berhasil menyatukan dunia fantasi ala mainan Lego dan Fisher-Price dengan kritik sosial yang runcing, tanpa membuat penonton merasa digurui lho.
Penasaran, kan, dengan detail kisahnya? Sini deh kepoin bareng!
Sinopsis Film Boys Go to Jupiter
Dikisahkan Billy 5000 (Jack Corbett), baru berusia 16 tahun, tapi sudah harus memikul beban hidup yang terlalu besar. Billy diam-diam putus sekolah, tanpa memberi tahu ibunya yang absen maupun kakaknya (Eva Victor) yang selama ini mengurusnya.
Sehari-hari, Billy bekerja sebagai kurir makanan untuk aplikasi bernama Grubster, platform delivery yang jelas-jelas memeras tenaga anak muda tanpa memberi keamanan kerja.
Namun, Billy nggak melihatnya begitu. Dengan bangga dia menyebut pekerjaannya sebagai ‘flexible delivery partnership’.
Billy mengaku bebas jadi bos bagi dirinya sendiri, dapat tip besar, dan bisa menentukan jam kerja. Nyatanya, toh dia bekerja tanpa henti, jarang tidur, dan bahkan nggak mandi selama berminggu-minggu. Saat ditanya kapan terakhir kali tidur, jawabannya sederhana tapi menyayat hati, “Tidur itu buat orang kaya.”
Billy punya satu tujuan hidup, yakni mengumpulkan uang $5000 agar bisa pindah ke apartemen sendiri dan berhenti merepotkan kakaknya. Uang lima ribu dolar itu terdengar seperti mimpi sederhana, tapi mencerminkan betapa kerasnya hidup di kelas pekerja bawah.
Untungnya, Billy nggak sendirian. Dia ditemani tiga sahabat yang setia: Freckles (Grace Kuhlenschmidt), si kocak berambut merah yang selalu jadi sumber tawa; Beatbox (Elsie Fisher), yang selalu bicara dengan ritme rap dan beatbox; serta Peanut (J.R. Phillips), bocah kecil menggemaskan berusia sekitar lima atau enam tahun yang menambah kehangatan di tengah cerita.
Perjalanan Billy bertambah aneh ketika dia mengantarkan pesanan ke Dolphin Groves, perusahaan jus keluarga yang dipimpin ilmuwan eksentrik, Dr. Dolphin (Janeane Garofalo).
Di sana Billy bertemu Rozebud Dolphin (Myah Folick), putri Dr. Dolphin yang cerdas, pemberontak, dan lebih suka tenggelam dalam buku daripada mengurus bisnis keluarga.
Betewe, Dolphin Groves adalah rumah kaca penuh buah-buahan aneh, seperti jeruk kubus atau grapefruit khusus koktail. Dari titik inilah, realita keras Billy mulai bercampur dengan absurditas penuh warna.
Asli, ini menarik banget. Namun, gimana dengan performa filmnya? Tetap lanjut baca sampai akhir ya!
Review Film Boys Go to Jupiter
Aku melihat dunia fantasi penuh warna, karakter imut, buah-buahan ajaib, hingga nyanyian ceria yang membuatnya terasa seperti mainan masa kecil yang hidup kembali.
Namun, tampak ada kenyataan pahit yang terbungkus dalam bungkus imut itu, perihal anak muda yang diperas tenaganya oleh sistem kerja fleksibel, obsesi pada uang, dan keputusasaan hidup di kelas bawah.
Asli, aku terkesan dengan cara film ini menggabungkan keduanya. Bayangkan, di satu sisi aku menertawakan makhluk jeli bermata besar yang suaranya cempreng, tapi di sisi lain aku pun dibuat merenung sama ucapan Billy soal tidur yang hanya untuk orang kaya. Humor dan kesedihan berjalan beriringan tanpa kesan dipaksakan.
Ada banyak momen absurd yang bikin diriku geli sekaligus mikir sih. Misalnya, ada pelanggan religius marah karena ada vandalisme di dinding, lalu dia membuka Buku Panduan Dosa untuk menghitung hukumannya: 5 sampai 600 tahun siksa neraka per huruf.
Satir seperti ini bukan hanya lucu, tapi juga menyorot bagaimana manusia seringkali memberi ‘harga’ pada sesuatu yang seharusnya nggak bisa diukur dengan angka.
Atau adegan penjual hot dog yang curhat kalau orang-orang hanya mampir untuk foto dengan patung hot dog raksasanya, bukan membeli dagangannya. Dia bersikeras mengatakan hot dog yang dirinya jual ‘bisa jadi yang terbaik di kota’.
Adegan kecil ini terdengar sepele, tapi jadi potret pedagang kecil yang berjuang untuk diakui di tengah budaya konsumsi yang lebih mementingkan gimmick visual ketimbang kualitas sebenarnya.
Lebih jauh lagi, film ini menggambarkan bagaimana hampir semua aspek kehidupan, bahkan kehidupan setelah mati, diukur dengan angka dan nilai tukar. Semuanya dikomodifikasi.
Namun, di balik dunia yang sudah dikuasai uang itu, Film Boys Go to Jupiter masih menyelipkan secercah makna hidup. Yap, ada hal-hal yang nggak ternilai, seperti keluarga, persahabatan, dan keberanian untuk menolak tunduk pada sistem yang nggak adil.
Terlepas dari itu, Film Boys Go to Jupiter bukan film dengan alur lurus dan mulus kok. Kadang film ini terasa lebih seperti kumpulan sketsa atau vignette yang berdiri sendiri, alih-alih cerita panjang yang runtut. Ada bagian yang terlalu sibuk dengan segala sesuatu yang dibuat terlalu imut hingga kehilangan bobot.
Menjelang akhir, kisah Billy dan keluarga Dolphin akhirnya saling bersilangan. Ada ujian moral yang cukup berat bagi Billy, yang menguji prinsipnya di tengah situasi penuh tekanan. Meski disajikan dengan ringan, keputusan Billy punya bobot emosional yang besar lho.
Apakah Film Boys Go to Jupiter sempurna? Tentu saja nggak. Ada beberapa bagian yang terasa terlalu imut atau terlalu eksperimental.
Pada akhirnya, Film Boys Go to Jupiter bukan sebatas perjalanan remaja yang ingin mengumpulkan lima ribu dolar. Ini tuh animasi yang memantulkan getir kehidupan muda di dunia yang gemar menukar mimpi dengan angka.
Skor: 4/5
Baca Juga
-
Review Film Night Always Comes: Satu Malam Panjang, Satu Hidup Penuh Luka
-
Review Film Descendent: Alien dan Studi Karakter Pria yang Takut Jadi Ayah
-
Film Dikritik, Filmmaker Baper
-
Sinopsis Film Pangku, Siap Guncang Layar Lebar dan Festival Dunia Tahun Ini
-
Sejuta Penonton, Seharusnya Bisa Lebih untuk Film Nasionalisme yang Membumi
Artikel Terkait
-
Apakah Film Merah Putih One For All Masih Tayang di Bioskop? Ini Faktanya
-
Review Film Weapons: Horor Misteri yang Penuh dengan Teka-teki
-
Berapa Jumlah Penonton Film 'Merah Putih One For All' Sekarang?
-
Amel Carla Kasih Nilai 3/10 untuk Film Merah Putih One For All, Kok Malah Kena Semprot Netizen?
-
Central Intelligence, Komedi Spionase yang Dibintangi The Rock, Tayang Malam Ini di Trans TV
Ulasan
-
Review Film Weapons: Horor Misteri yang Penuh dengan Teka-teki
-
Ulasan Film Hanya Namamu Dalam Doaku: Drama Keluarga yang Mengaduk Emosi
-
Ulasan Film China Mumu: Hangatnya Cinta Ayah yang Tak Pernah Terucap
-
Potret Budaya Palestina di Buku Homeland: My Father Dreams of Palestine
-
Review Skip to Loafer: Kisah Persahabatan yang Singkat, tapi Bikin Terpikat
Terkini
-
Timnas Indonesia Umumkan 27 Pemain untuk FIFA Match Day, Ini Daftarnya!
-
Gustika Hatta Viral usai Sebut Presiden Penculik, Ini Riwayat Pendidikan dan Aktivismenya
-
Mengompos: Healing Buat Manusia Yang Patah Hati, Healing Buat Bumi
-
Daily Look Ahn Eun Jin: Dari Hangout ke Konser, Coba Sontek 4 Gaya OOTD Ini
-
4 Pilihan Foundation Ringan dengan Hasil Natural, Cocok untuk Daily Makeup!