Kebijakan moneter adalah cara untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global di masa pandemi. Kebijakan Moneter Bank Sentral atau Bank Indonesia pada April 2020 lalu menetapkan suku bunga deposit facility sebesar 3,75% (bi.go.id). Berdasarkan Publikasi Komite Standar Akuntansi Pemerintahan yang berjudul Dampak Disrupsi Ekonomi pada Laporan Keuangan Pemerintahan dikatakan bahwa pemerintah amat keliru apabila menetapkan obat resesi adalah dengan mencetak uang.
Hal ini dikarenakan pada saat resesi pengangguran akan semakin tinggi dan menyebabkan pekerja produktif akan semakin sedikit. Sehingga Produk Domestik Bruto (PDB) pun akan ikut turun, dan tentu hal ini akan menurunkan sisi penawaran.
Apabila diiringi dengan pencetakan uang secara besar-besaran, maka sisi penawaran yang menurun akan ditambah dengan peningkatan harga barang yang disebabkan jumlah uang yang beredar semakin tinggi akibat dari cetak uang. Keadaan seperti itu tentu akan sangat berbahaya ketika menyentuh kebutuhan pokok.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengungkapkan bahwa ada sejumlah dampak yang terjadi jika pemerintah dan Bank Indonesia mencetak uang baru di saat pandemi.
Enny mengatakan bahwa “Bisa menekan jumlah uang yang beredar, menurunkan nilai uang yang akan mendorong inflasi, dan juga nilai aset akan menjadi turun”.
Menurutnya, hal yang harus dipahami oleh masyarakat dari adanya pencetakan uang yakni kelonggaran likuiditas. Dengan adanya kelonggaran likuiditas tersebut tidak semata-mata membuat money press (tekanan nilai uang).
Akibat pandemi Covid-19 ini, Pemerintah Indonesia akan melakukan hal yang serupa sesuai dengan saran dari kebijakan Ekonomi Keyness. Pada Teori Keynes, konsumsi yang dilakukan oleh satu orang dalam perekonomian akan menjadi pendapatan untuk orang lain pada perekonomian yang sama. Sehingga apabila seorang membelanjakan uangnya, ia membantu meningkatkan pendapatan orang lain.
Siklus ini terus berlanjut dan membuat perekonomian dapat berjalan secara normal. Ketika Great Depression melanda, masyarakat secara alami akan bereaksi dengan menahan belanja dan cenderung menimbun uangnya.
Menurut Keyness untuk kebutuhan transaksi sama dengan pendapat klasik dimana tergantung dengan volume barang, harga dan konstanta. Tetapi untuk dua faktor lagi yaitu kebutuhan untuk berjaga – jaga dan spekulasi Keyness berpendapat bahwa permintaan akan uang juga ditentukan oleh faktor berjaga-jaga dan spekulasi.
Terbukti dengan Perpres No 54 Tahun 2020, Defisit APBN Indonesia mengalami kenaikan dari 1.76% dari PDB menjadi 5.07% dan kemudian direvisi lagi menjadi 6.34% atau defisit setara dengan 1039.2 Triliun Rupiah
Bank Indonesia (BI) mencatat likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) mencapai Rp6.393,7 triliun pada masa pandemi Covid-19 pada bulan Juni 2020. Uang beredar tersebut tumbuh 8,2 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 10,4 persen (yoy).
Onny Widjanarko selaku Kepala Departemen Komunikasi BI mengatakan bahwa perlambatan pertumbuhan M2 tersebut disebabkan oleh adanya perlambatan pertumbuhan seluruh komponennya. Baik itu uang beredar dalam arti sempit (M1), uang kuasi (dana simpanan masyarakat di perbankan), maupun surat berharga selain saham.
Jika pemerintah mengartikan mencetak uang sebagai menambah kredibilitas, maka akan meningkatkan defisit anggaran atau akan mencetak uang sebanyak Rp 600 triliun. Menurut Enny ini akan berdampak pada penurunan nilai uang. Artinya yang terjadi jumlah output dengan jumlah uang yang beredar itu tidak sama, lebih banyak uang yang beredar, maka nilai uang akan turun.
Jika nilai uang mengalami penurunan otomatis hal ini akan mendorong adanya inflasi. Tetapi, jika jumlah pencetakan uang mencapai nominal yang sangat tinggi, tentu akan memicu adanya hiperinflasi di mana Indonesia akan kembali mengalami pada masa era orde lama.
Dampak lainnya yang terjadi jika pemerintah dan Bank Indonesia tetap mencetak uang dalam jumlah besar, maka tidak akan ada orang yang akan menyimpan rupiah. Hal ini dikarenakan, Indonesia bukanlah negara besar. Artinya, saat terjadi krisis orang-orang cenderung lebih mencari dollar AS daripada Rupiah.
Dengan bertambahnya jumlah uang beredar, maka akan terdepresiasi nilai rupiah. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya kuantitas rupiah yang beredar. Karena jika suatu barang kuantitasnya banyak maka nilainya tidak akan tinggi, kecuali barang inelastis. Namun, mata uang bukanlah barang inelastis sehingga rupiah terdepresiasi. Untuk itulah lebih baik pemerintah dan Bank Indonesia melakukan beberapa kebijakan seperti pengurangan jumlah uang beredar dan penurunan suku bunga serta melakukan operasi pasar terbuka.
Oleh: Desy Nia Sari / Mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi 2018, Universitas Negeri Jakarta
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Rupiah Loyo! Tembus Rp15.900 per Dolar AS, Calon Menkeu AS Jadi Biang Kerok
-
Rupiah Tergelincir di Perdagangan Senin Sore Imbas Data Ekonomi AS
-
Jung Woo-sung Konfirmasi Punya Anak dengan Model Moon Ga-bi
-
Rupiah Menguat Terhadap Dolar AS Pagi Ini, Didorong Indeks Saham Asia
-
Investor Asing Tarik Dana Rp7,5 Triliun dari RI Selama Minggu Ketiga November 2024
News
-
Dari Kelas Berbagi, Kampung Halaman Bangkitkan Remaja Negeri
-
Yoursay Talk Unlocking New Opportunity: Tips dan Trik Lolos Beasiswa di Luar Negeri!
-
See To Wear 2024 Guncang Industri Fashion Lokal, Suguhkan Pengalaman Berbeda
-
Harumkan Indonesia! The Saint Angela Choir Bandung Juara Dunia World Choral Championship 2024
-
Usaha Pandam Adiwastra Janaloka Menjaga, Mengenalkan Batik Nitik Yogyakarta
Terkini
-
Penikmat Manis Merapat! Ini 4 Cafe Dessert di Jogja yang Enak dan Aesthetic
-
Timnas Indonesia Bakal Angkat Kaki dari Stadion GBK Saat AFF 2024, Ini Penyebabnya
-
Dipanggil STY ke AFF Cup 2024, Pratama Arhan Belum Pasti Jadi Pemain Inti?
-
Cerdas dalam Berkendara Lewat Buku Jangan Panik! Edisi 4
-
Asmara Jung Woo-sung Disorot Usai Mengaku Punya Anak dengan Moon Ga-bi