Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani
Perawat membantu pasiennya berdiri (freepik)

Apakah mereka yang Anda sayangi justru menitipkan Anda di panti jompo? Pernah berpikir seperti itu?

"Ah! untuk apa berpikir yang belum terjadi, gampang itu bisa dipikir nanti." Anda salah! Baiknya ini dipersiapkan mulai sekarang.

Dua tahun yang lalu ketika masih di Indonesia, saya pernah tiga kali merawat lansia yang sakit di rumah. Sebutan bekennya perawat homecare atau perawat pribadi. Tugas utama kami tentu saja melayani segala kebutuhan pribadi pasien. Beberapa alat medis terpasang di badan pasien sehingga petugas medis dibutuhkan untuk memantau dan merawatnya di rumah. Selain itu, keluarga dapat dengan mudah mengawasi.

Pasien pertama yang saya rawat adalah wanita berumur kurang lebih 70 tahun. Seorang janda dengan beberapa anak yang sudah dewasa dan sukses secara finansial. Oma ini lumpuh total karena penyakit stroke yang menyerangnya 3 tahun yang lalu. Beberapa bagian tubuh yang lain masih bisa digerakkan seperti kepala dan tangan kirinya. Segala kebutuhannya sehari-hari dilakukan di atas ranjang, mulai dari makan, tidur, dan buang air besar atau buang air kecil.

Makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuhnya berupa cairan. Cairan ini dimasukkan melalui selang NGT atau selang makan. Tersedia alat penghisap lendir atau suchtion dan tabung oksigen berukuran kecil di samping ranjangnya sebagai persiapan bila oma sesekali mengalami keluhan batuk dan sesak napas.

Asisten rumah tangganya bercerita sejak suami oma meninggal --mungkin beberapa tahun setelahnya-- oma terserang penyakit stroke. Anak-anaknya lah yang bergantian merawat oma. Kerjasama merawat oma cukup baik dilakukan anak-anaknya. Meskipun anak-anaknya sibuk, setiap bulan, pasti ada anak-anak yang mengunjunginya barang sehari atau dua hari.

Saya sering melihat interaksi antara oma dan anak-anaknya ketika datang berkunjung bersama keluarganya. Benar kata orang, manusia yang sudah lansia pasti tingkahnya seperti anak kecil. Apalagi pasien dengan kondisi sakit stroke membutuhkan perhatian lebih secara psikologis. Bonding dari keluarganya yang utama.

Saya melihat anak-anaknya yang datang berkunjung memperlakukan oma penuh kasih sayang, memeluk, dan mengelus-elus oma. Anak-anaknya juga mendekat dan bercerita panjang lebar tentang apapun. Oma membalasnya dengan anggukan, terkekeh ringan, dan senyum semampunya. Cucu-cucunya juga begitu mengajak oma mengobrol layaknya teman.

Perlakuan yang didapatkan oma dari anak-anaknya adalah buah dari didikannya dahulu. Mendidik anak-anaknya tidak hanya secara materi saja; tidak tentang finansial saja. Ada kasih sayang, pendidikan mental yang baik, pendidikan budi pekerti, dan ketulusan.

Cukup banyak, bukan, kita lihat anak-anak yang menelantarkan orang tuanya. Saking sibuknya mengejar dunia, orang tua diduakan. Akhirnya hanya materi-materi saja yang dicukupi.

Mungkin uang bisa membeli apapun, menyewa perawat pribadi, atau menggunakan jasa asisten rumah tangga. Tapi, adanya anak-anak disisi yang menyayangi dan penuh perhatian tentu lebih mahal harganya.

Sekarang ini, beberapa negara seperti Taiwan dan Jepang membutuhkan banyak sekali perawat dari Indonesia untuk rumah sakit geriatric atau rumah sakit khusus lansia dan panti-panti jompo. Di Indonesia pun juga cukup banyak lansia yang tinggal di panti-panti jompo tersebar di seluruh nusantara.

Saya tidak sedang mencoba menyudutkan atau berprasangka buruk kepada anak-anak yang menitipkan orang tuanya di panti jompo. Mungkin ada alasan tersendiri bagi anak-anak itu. Entah krisis kasih sayang atau kaya kesibukan mengejar dunia. Toh beberapa lansia memang berkeinginan sendiri tinggal di panti jompo.

Di perkotaan banyak panti jompo dengan fasilitas sederhana hingga yang paling mewah, tentunya harga yang dipatok juga berbanding lurus dengan fasilitas yang didapat. Bagaimana dengan para lansia yang sakit dan terlantar di kota? Mengandalkan kebijakan pemerintah tentunya untuk menyediakan panti jompo yang bersubsidi.

Di pedesaan sangat jarang ditemui panti jompo. Bila tidak ada keluarga yang merawat, para lansia ini hidup hanya mengandalkan belas kasihan dari tetangganya. Sesekali para lansia yang sehat bergabung di posyandu lansia yang diadakan oleh desa bekerjasama dengan puskesmas setempat.

Di lain kesempatan saya pernah merawat pasien yang sudah kritis. Seorang kakek dengan penyakit komplikasi. Sayangnya, saya hanya merawat beliau beberapa jam saja. Ia lebih dulu pulang ke Illahi Rabbi.

Keluarga kakek termasuk orang yang berada. Ia tinggal bersama istri, anak laki-lakinya yang sudah dewasa, seorang menantu, dan seorang cucu perempuan. Semenjak sakit, kakek dirawat oleh istrinya dan seorang perawat pribadi. Sesekali menantunya ikut membantu sedangkan anak tunggalnya bekerja.

Saya dan nenek yang merawat kakek selama di rumah sakit. Begitu perhatian si nenek merawat kakek. Nenek bercerita banyak tentang sakit kakek yang sudah berbulan-bulan lamanya. Saya dapat melihat ketulusan nenek merawat kakek. Kalau dulu masa mudanya si kakek berbuat aneh-aneh dan menyakiti hati istrinya, masih maukah si nenek merawat kakek sampai harus bolak balik ke rumah sakit seorang diri? Tentu tidak kan!

Kesetiaan akhirnya melahirkan sebuah komitmen. Tentunya butuh waktu bertahun-tahun membangun pondasi kesetiaan ini. Membersamai orang yang disayang baik suka maupun duka. Hari ini mungkin Anda sehat dan bugar. Kemudian, Anda mungkin bisa bebas melakukan apapun misalnya berselingkuh, bergonta-ganti pasangan, berfoya-foya, dan kenikmatan dunia lainnya. Tapi, bagaimana jika Anda tiba-tiba jatuh sakit? Siapa yang akan merawat Anda? Tidak perlu menunggu tua, sakit bisa datang kepada yang muda!

Sesekali mungkin Anda perlu berkunjung ke rumah sakit. Anda akan melihat bagaimana sesaknya sebuah rasa sakit. Sibuknya mengurus urusan administrasi baik pembayaran maupun dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Selain itu, semakin fokus, Anda akan melihat berbagai macam ujian hidup orang lain, baik yang muda maupun tua, entah kaya ataupun miskin. Uang mungkin bisa membeli fasilitas dan kehormatan. Tapi, sekali lagi, perlakuan dari orang terdekat yang disayang tidak dapat dibeli dengan uang.

Salahsatu teman juga bercerita bagaimana ia tumbuh tanpa perhatian dan kasih sayang dari ayahnya. Ayahnya bekerja di luar negeri dari teman saya balita hingga tumbuh dewasa, kuliah lebih tepatnya.

Ayahnya hanya tahu kirim uang saja, itupun bisa dihitung jari, selebihnya ibunya yang banting tulang menafkahi ia dan kakak adiknya. Teman saya ingat ayahnya suka menyakiti hati ibunya, berfoya-foya bahkan menikah beberapa kali bukan menduakan lagi tapi mengempatkan ibunya.

Suatu saat ayahnya pulang ke Indonesia dan tidak kembali lagi bekerja ke luar negeri. Beberapa kesempatan, ayahnya sakit juga tapi pilihannya selalu pulang ke rumah teman saya yang notabene rumah istri pertamanya. Akhirnya ia menyimpulkan sendiri mungkin ada orang-orang yang sakit dan terlantar itu bukan karena anak dan istrinya jahat atau tidak peduli. Bisa jadi itu balasan atas masa mudanya dulu yang kejam dan lepas tangan menelantarkan anak dan istrinya. Yah, ada benarnya juga.

Saya lebih percaya hukum sebab akibat. Siapa yang menanam, ia akan memanen hasilnya. Anda menanam padi tentu akan tumbuh padi, bukan cabe atau tomat yang akan Anda tuai. Begitupun menyayangi dan mengasihi orang terdekat entah orang tua, anak, saudara kandung maupun tetangga dan teman dekat. Manusia tidak akan terlepas dari ketergantungan satu sama lain.

Setiap orang punya ujian hidupnya masing-masing. Hari ini bahagia bisa jadi besok terluka. Tentu cita-cita tertinggi kita mati masuk surga dan berkumpul dengan keluarga.

Jadi, sudah tahu siapa yang akan merawat Anda ketika sakit nanti?

Oleh: Ninda Alfi Octafiani, Bidan yang sementara tinggal di Kota Mekkah, Saudi Arabia