Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Destya Wulan
Soren Aabye Kiergraard (dokumentasi The Royal Library, National Collections Department)

Filsafat eksistensialisme sendiri merupakan buah pemikiran dari Soren Kiergaard, kemunculan pemikian ini diawali oleh kritik yang diajukan Soren Aabye Kiergaard terhadap konsep abstraksionalisme Hegel, hal ini dilakukan olehnya karena ia merasa Hegel seolah olah meremehkan keberadaan manusia secara konkret, reaksi ini juga dipengaruhi oleh kondisi kehidupan masyarakat Denmark pada masa itu, yakni sulitnya mencari solusi kehidupan agama yang juga dipengaruhi oleh pemikiran Hegel yang sedang digandrungi pada masa itu.

Filsafat eksistensialisme hadir dengan menekankan pada konsep individualitas manusia, dan arti manusia secara konkret. Dimana dalam ilmu filsafatnya ia lebih mengedepankan tentang eksistensi atau tanggung jawab atas keberadaan hidup bagi manusia.

Dalam pengkajian konsep eksistensialisme sendiri tidaklah mudah karena pemahaman konsep eksistensialis akan berbeda bagi setiap individu, pendefinisian filsafat eksistensialisme sendiri berarti membatasi filsafat tersebut, sedangkan makna dari eksistensi itu sendiri belum diketahui. Istilah eksistensi sendiri berasal dari kata “eksistere” “ex” berarti keluar “sitere” yang berarti membuat, berdiri.

Sehingga dapat diartikan eksistensi berarti apa yang ada, apa yang dalami dan semua yang terlihat, dalam artian singkat konsep dari eksistensi menekankan pada keberadaan. Namun definisi secara Bahasa ini belum bisa dengan penuh dalam memaknai eksistensialisme, hal ini terbukti karena masih banyak perbedaan pendapat oleh para ahli.

Jika dipahami lebih lanjut maka akan didapatkan benang merah yakni eksistensi menekankan pada keberadaan manusia yang konkrit dan seutuhnya, manusia yang sadar akan keberadaan dirinya. Sebagai salah satu aliran dari filsafat eksistensialisme berfokus pada actor atau manusia itu sendiri.

Tolak ukur pada actor ini adalah bahwa suatu filosof muncul sebagai masalah dirinya sendiri atau masalah yang menyangkut eksistensinya sendiri, dari pengertian ini maka dapat dikatakan bahwa eksistensialisme membicarakan tentang kualitas kualitas yang berbeda antar tiap individu, eksistensialis tidak membicarakan manusia secara abstrak atau alam dan dunia secara umum.

Eksistensialisme, Meta Needs Maslow, dan Sejarah

Pemahaman tentang eksistensi ini juga dapat diterapkan dalam dunia pendidikan. Abraham Maslow mengungkapkan hierarki kebutuhan manusia dalam teorinya yakni basic need yang artinya kebutuhan dasar dari masing masing individu yakni kebutuhan akan udara, kebutuhan makanan, minuman dan lainnya. Meta needs yakni meliputi kebutuhan yang sifatnya sangatlah mendasar yang meliputi hubungan antar individu dan kebutuhan yang menunjang setiap individu untuk berkembang.

Disebutkan di awal bahwa konsep dari eksistensialisme sendiri adalah penekanan pada konsep manusia yang konkrit dan seutuhnya, ini berarti konsep ini berfokus pada individu dan menekankan pada keberadaan individu tersebut. Dari pernyataan ini maka dirasa cocok jika konsep meta needs dari maslow digabungkan dengan konsep eksistensialisme, jika digunakan untuk membicarakan tentang dunia pendidikan khususnya sejarah.

Ilmu filsafat dan ilmu sejarah bukanlah dua hal yang jauh berbeda, ilmu filsafat dan sejarah berkembang secara bersamaan dan mengkaji sesuatu hal dengan sangat teliti. Filsafat eksistensialisme sendiri dapat digunakan untuk mengkaji ilmu sejarah, yakni tentang bagaimana cara sejarawan menempatkan dirinya dalam mengkaji sejarah.

Dalam mengkaji sejarah seorang sejarawan diharuskan memiliki pemikiran yang kritis dan juga bersikap professional. Seorang sejarawan juga dituntut untuk mampu menempatkan diri dalam suatu proses pengkajian sejarah, hal ini dimaksudkan agar hasil kajian yang di dapat sempura dan tanpa memihak suatu sisi.

Dapat diaktakan bahwa filsafat eksistensialisme juga berperan dalam proses pengkajian sejarah, yang dimaksud bukan di dalam sejarahnya, namun di dalam manusianya. Manusia yang dimaksud ini adalah sejarawan.

Dalam melakukan proses pengkajian sejarah, secara tidak langsung juga diterapkan konsep eksistensialisme pada diri para sejarawan, di mana sejarawan menyadari diri mereka, dan mereka harus bertanggung jawab dengan berbagai fakta yang mereka hasilkan. Karena sejatinya sejarah melakuakan pengkajian untuk mencari fakta yang mutlak, sejarawan ini juga harus dapat berfikir kritis dan mampu membedkan mana fakta dan mana opini.

Hal ini sangatlah sinkron dengan konsep dari filsafat eksistensialisme dan juga meta needs dari maslow, dimana kedua konsep ini mengedepankan tentang individu, bagaimana individu tesebut membuat masalah dari dalam dirinya dan bagaimana individu tersebut menyadari masalahnya dan menyelesaikannya.

Destya Wulan