Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | heriskam
Blok Migas ONWJ. [pheonwj.pertamina.com]

Menjelang akhir tahun, pandemi Covid-19 masih juga belum berhenti penyebarannya. Jumlah pasien yang terkena Covid-19 pun masih bertambah termasuk di Indonesia. Berbagai program dan kebijakan telah di terapkan oleh Pemerintah dalam menghadapi permasalahan ini. Pun dengan masyarakat yang turut ikut mendukung pemerintah dengan mematuhi setiap program yang dibuat dalam mencegah penyebaran Covid-19 semakin luas.

Seperti  yang kita ketahui, pandemi Covid-19 yang terjadi di berbagai negara salah satunya di Indonesia telah memberikan berbagai dampak di semua sektor yang ada sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat dan keberadaanya pun masih menjadi suatu hal yang ditakutkan saat ini.

Sektor-sektor yang terkena dampak salah satunya yaitu pada sektor ekonomi, dimana banyak terjadi kerugian baik yang dialami perusahaan-perusahaan negeri ataupun swasta yang hampir mematikan pendapatan negara. Padahal sektor ekonomi sangatlah penting bagi suatu negara agar dapat mengatur, mengelola dan mengontrol negara dalam menjalankan tugasnya sehingga tetap dapat membantu rakyat dalam memenuhi kebutuhannya.

Banyak bisnis yang mengalami kerugian bahkan sampai harus gulung tikar akibat pandemi Covid-19 ini, menyebabkan masyarakat menjadi kehilangan pekerjaannya. Pandemi Covid-19 ini berdampak pada semua lini bisnis, salah satunya yaitu pada sektor minyak dan gas bumi (migas).

Namun akibat pandemi, investasi di sektor migas pada tahun ini pun menurun. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga Oktober investasi baru mencapai US$ 8,1 miliar atau sekitar 59% dari target tahun 2020 sebesar US$ 13,8 miliar. Mendekati akhir tahun, berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), investasi hulu migas diperkirakan hanya mencapai US$ 10,8 miliar, lebih rendah dari tahun 2019 sebesar US$ 11,8 miliar.

Menurut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan bahwa investasi di sektor migas tahun ini terpuruk dikarenakan oleh 2 hal. Pertama karena harga minyak yang rendah, yang mana kondisi ini sebenarnya sudah terjadi sebelum pandemi Covid-19 menyerang, disebabkan oleh kelebihan dari suplai.

Lalu, kondisi ini diperburuk dengan adanya pandemi Covid-19 yang membuat permintaan minyak turun. Ia mengatakan bahwa untuk menaikkan permintaan minyak tidak bisa dilakukan dengan cepat. Bahkan, permintaan minyak pada tahun ini pun diproyeksikan menurun hingga 35%. Turunnya permintaan menjadi hal terberat karena untuk memulihkan hal tersebut perlu waktu yang cukup lama.

Sementara itu dari sisi produksi minyak di dalam negeri menurutnya sampai saat ini masih melandai di kisaran 700-an ribu barel per hari (bph), sehingga untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri juga masih cukup berat. Namun menurutnya kondisi iklim investasi lebih baik terjadi pada gas, di mana potensi masih besar dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kebutuhan dalam negeri.

Namun, menurut Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Ari Soemarno mengatakan bahwa, industri hulu migas di Tanah Air sudah tidak lagi menarik bagi investor asing, dilihat dengan turunnya minat untuk investasi di sektor tersebut. Ia mengatakan bahwa hambatan birokrasi, perizinan, serta insentif membuat hulu migas Indonesia tidak kompetitif.

Daya tarif investasi migas Indonesia bahkan kalah dari Vietnam dan Myanmar yang dianggap lebih menarik. Hal ini semakin parah akibat kebijakan pemerintah yang mengadopsi pola bagi hasil gross split. Selain itu, ia menyebut kebijakan yang bersifat nasionalisme sempit pada lapangan migas yang akan habis masa kontraknya untuk segera dikelola oleh Pertamina, seperti Blok Mahakam dan Rokan.

Hal ini membuat pelaku migas asing ragu untuk berinvestasi di Indonesia. Padahal akan sangat sulit untuk meningkatkan produksi migas di tanah air jika hanya mengandalkan sumber daya dalam negeri baik dari segi teknologi, perusahaan, dan finansial.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan bahwa Pemerintah telah siap untuk memberikan fasilitas perpajakan, perbaikan proses perizinan, dan berbagai macam insentif untuk memenuhi kebutuhan investor. Pemerintah menyatakan siap untuk membuka diri kepada seluruh stakeholder agar bisa kembali memperbaiki iklim investasi industri hulu minyak dan gas bumi yang merosot.

Dalam kondisi saat ini, antisipasi yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan merubah pola bisnis yang di luar kebiasaan. Selain itu, pemerintah juga akan lebih memberikan dukungan fasilitas perpajakan untuk pertumbuhan iklim investasi. Di samping itu, pemerintah juga telah merelaksasi investor untuk bisa memiliki skema kontrak migas antara cost recovery dan gross split.

Percepatan proses perizinan proyek juga menjadi salah satu strategi pemerintah. Tutuka Ariadji juga menambahkan bahwa pemerintah memiliki keinginan untuk bekerjasama guna membuat iklim investasi yang lebih baik. Menurutnya, pemerintah telah siap untuk memberikan fasilitas perpajakan, perbaikin proses perizinan, dan berbagai macam insentif untuk memenuhi kebutuhan investor.

Singkatnya, dapat dikatakan bahwa sektor migas di Indonesia sedang mengalami masa sulit, khususnya dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini. Harga minyak yang memang sudah rendah sebelum adanya Covid-19, dan semakin sulit dengan adanya pandemi ini sehingga keuntungan yang di dapat pun semakin menipis. Hal inilah yang membuat investor menjadi kurang tertarik untuk melakukan investasi.

Tentu saja ini tidak baik karena kegiatan pencarian sumber migas baru nantinya akan menurun. Jika pencarian sumber migas baru tidak dilakukan maka produksi migas ke depannya aman menurun, sedangkan kebutuhan terus meningkat. Karena setiap ekonomi tumbuh 5 persen maka kebutuhan migas juga akan tumbuh 4 persen. Sebab itu, sektor migas Indonesia membutuhkan investasi baru untuk meningkatkan produksi migas agar kebutuhannya dapat terpenuhi.

Oleh: Heriska Merina/Mahasiswa S1 Pendidikan Ekonomi 2018, Universitas Negeri Jakarta

heriskam