Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Unggul Dwi Pamu
Ilustrasi pengangguran. (pixabay/kalhh)

Mendapat kesempatan untuk bekerja dari rumah (Work From Home) dan tetap menerima gaji penuh adalah hak istimewa bagi beberapa kelompok orang selama pandemi COVID-19. Akan tetapi, sebagian besar lainnya berani mengambil risiko untuk terkena virus dengan bekerja di luar rumah demi kelangsungan hidup keluarganya dan bahkan jutaan orang di dunia kehilangan pekerjaan mereka ditengah pandemi COVID-19 yang belum jelas kapan akan berakhir. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pengangguran jangka panjang dapat mempengaruhi individu, masyarakat dan perekonomian nasional. Terlebih para pekerja yang sudah lama menganggur cenderung lebih sulit mencari pekerjaan baru, berpenghasilan rendah, dan terlambat naik jenjang karier.

Dilansir dari www.bappenas.go.id, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengumumkan adanya peningkatan pengangguran sebesar 3,72 juta. Angka ini tentu saja tidak termasuk pekerja yang gajinya dipotong karena berkurangnya jam kerja.

Pemerintah Indonesia telah memberikan perlindungan darurat melalui berbagai paket stimulus, salah satunya adalah Kartu Pra Kerja. Melalui program ini, pekerja yang terkena dampak pemutusan hubungan kerja dapat menerima tunjangan tunai dan pelatihan online. Namun, apakah itu cukup? Bagaimana masa depan mereka setelah pelatihan? Hal ini membuat pemerintah mengeluarkan wacana program asuransi pengangguran (unemployment insurance) yang diharapkan bisa membantu secara finansial bagi pekerja yang mengalami PHK.

Sebelumnya, Bappenas sempat mengadakan diskusi dengan berbagai pihak, baik dari pemerintah, pengusaha, pakar, masyarakat, dan pihak terkait lainnya, membahas wacana asuransi bagi pengangguran tersebut.  Bappenas sendiri menyebutkan, asuransi pengangguran dapat menjadi semacam 'bantalan' bagi para pekerja saat mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan atau institusi tempatnya bekerja.

Di Indonesia sebenarnya sudah ada asuransi tenaga kerja melalui BPJS Ketenagakerjaan yang wajib dibayarkan pemberi kerja bersama dengan pegawainya.  Namun, asuransi itu hanya mencakup asuransi kecelakaan dan asuransi jiwa saja, belum mencakup risiko dipecat tanpa sebab, atau karena kondisi ekonomi. 

Saat pekerja kehilangan pekerjaan dan menganggur, setidaknya ada dua hal yang mereka butuhkan. Pertama, yaitu penghasilan pengganti sebagai akibat pekerjaan mereka yang hilang karena mereka dan keluarganya tetap harus melanjutkan hidup. Kedua, yaitu untuk mendapatkan pekerjaan baru yang sesuai dengan keterampilan dan kualifikasi mereka. Di mana sistem pendukung yang komprehensif dan terintegrasi untuk para pencari kerja, yang menggabungkan kebijakan asuransi pengangguran, layanan dan pelatihan ketenagakerjaan akan sangat membantu untutk memenuhi kebutuhan tersebut.

Skema tunjangan tunai yang diberikan pemerintah saat ini melalui Kartu Pra-Kerja mungkin belum memberikan dukungan yang memadai bagi para pengangguran, terlebih jika pandemi COVID-19 terjadi secara berkepanjangan. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal yang perlu menjadi perhatian, antara lain:

1. Kebijakan Kartu Pra-Kerja tersebut didanai oleh APBN, sehingga skema bantuan tersebut tidak bisa diperluas tanpa membebani anggaran negara. Idealnya, tunjangan uang tunai untuk pengangguran didanai oleh sistem asuransi dengan kontribusi dari pemberi kerja, pekerja dan subsidi pemerintah. Dengan asuransi pengangguran, tunjangan pendapatan dapat segera disalurkan kepada pemilik asuransi dan beban anggaran pun jauh lebih ringan dibandingkan harus seluruhnya dibebankan kepada negara.

2. Relevansi pekerjaan dari program pelatihan kerja. Pemerintah harus mencermati apakah program pelatihan didasarkan pada standar kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia industri. Sehingga nantinya program tersebut dapat tepat sasaran dan memaksimalkan tujuan yang ingin dicapai.

3. Akan lebih baik jika pilihan program pelatihan dipandu oleh pihak yang profesional di bidang konseling untuk karier. Memahami persyaratan keterampilan dari pekerjaan yang tersedia di pasar tenaga kerja menjadi sangat penting dalam mempertimbangkan program pelatihan yang dipilih.

 Melalui www.ilo.org, International Labour Organization (ILO) merekomendasikan penggantian pendapatan sebagian dan sementara kepada pihak yang tidak memiliki pekerjaan melalui skema asuransi pengangguran dan promosi pekerjaan produktif melalui pelatihan keterampilan dan penempatan kerja. Serangkaian kebijakan menuju reintegrasi pasar tenaga kerja dari pengangguran tersebut dinamakan active labour market policy (ALMP).

Sistem ini telah diadopsi secara luas oleh sebagian besar negara maju dan terbukti efektif dalam mendukung pekerja yang terkena dampak pemutusan hubungan kerja akibat COVID-19. Sebagai negara yang masuk dalam jajaran negara berpendapatan menengah ke atas, sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan kebijakan tersebut melalui pelaksanaan asuransi pengangguran.

Program Asuransi pengangguran tentunya sangat bermanfaat bagi karyawan yang mengalami PHK atau menganggur. Program ini selanjutnya dapat juga ditawarkan sebagai alternatif untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan di negara kita.

Sejauh ini Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang bertugas memberikan perlindungan pekerja hanya menawarkan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan dana jaminan pensiun. Selain itu, beberapa negara maju sudah menerapkan program ini. Sehingga untuk itu program Asuransi Pengangguran perlu dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif untuk memecahkan masalah-masalah sosial yang diakibat oleh adanya PHK.

Penerapan asuransi pengangguran mungkin masih menjadi perdebatan di banyak negara karena dapat menimbulkan moral hazard bagi para penganggur yang diasuransikan. Selain itu, asuransi pengangguran juga dianggap akan memberikan disinsentif kepada tertanggung untuk mencari pekerjaan baru atau dapat menolak tawaran pekerjaan. Seperti halnya dengan asuransi apapun, kita tidak dapat menghilangkan moral hazard pada asuransi pengangguran tetapi perhatian kita lebih pada bagaimana menguranginya sehingga manfaat dapat mengkompensasi biaya.

Di sisi lain, krisis ekonomi semacam ini bisa saja terjadi lagi, dimana guncangan ekonomi global pun akan kembali kita rasakan. Apalagi, ditengah krisis ekonomi selalu ada kemerosotan siklus bisnis yang berdampak pada sektor tenaga kerja. Selain itu, Indonesia juga rentan terhadap bencana alam yang secara tiba-tiba merusak infrastruktur dan aset produktif, sehingga mengakibatkan kerusakan lapangan kerja secara masif dan hilangnya pendapatan bagi banyak keluarga.

Di tengah permasalahan yang saat ini melanda, perekonomian pada akhirnya akan bangkit kembali dan diharapkan akan membawa optimisme bagi banyak pihak. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan pelajaran yang didapat melalui krisis yang dipicu pandemi dan harus tetap mempersiapkan diri untuk krisis lain yang mungkin saja bisa terjadi di masa depan.

Pengalaman dari negara lain yang menyediakan asuransi pengangguran dan layanan ketenagakerjaan telah membuktikan bahwa skema asuranasi pengangguran adalah salah satu mekanisme yang paling efektif dan efisien untuk melindungi pengangguran dan keluarganya dari kemiskinan dan untuk membantu mereka kembali bekerja. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan jaminan pengangguran yang tidak hanya untuk mengurangi akibat dari suatu guncangan tetapi juga untuk pemulihan setelahnya. Untuk dapat memilih program yang tepat, Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara lain dalam menerapkan asuransi pengangguran.

Sudah saatnya Indonesia membangun sistem yang kokoh dan andal yang melindungi pekerja dari risiko pengangguran, baik melalui skema asuransi sosial ataupun semacamnya yang memegang tetap teguh prinsip gotong royong. Indonesia perlu memperkuat dan membangun hubungan yang efektif di antara banyak pihak dalam membangun sistem asuransi pengangguran yang tepat guna. Sehingga ditengah krisis COVID-19 ini semestinya bisa menjadi titik balik dalam membangun sistem perlindungan sosial yang lebih baik bagi para pekerja yang kehilangan pekerjaannya.

Referensi:

Oleh: Unggul Dwi Pamungkas / Mahasiswa DIII Akuntansi Alih Program, Politeknik Keuangan Negara STAN

Unggul Dwi Pamu

Baca Juga