Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Hendy Setiawan (MPP Universitas Gadjah Mada)
Ilustrasi politik (pixabay)

Pergulatan politik identitas seringkali dianggap menjadi ancaman bagi tumbuh-kembangnya demokrasi. Hampir dipastikan bahwa politik identitas selalu ditempatkan dalam sebuah arena dan ruang negatif sehingga memunculkan stigma-stigma ataupun tendensi buruk. Apalagi ketika dalam suasana pemilihan umum pasti politik identitas semakin kentara untuk diamati.

Berbagai kelompok kepentingan dengan atribut identitasnya sebagai alat politik baik berbasis gender, agama, etnis, ataupun budaya menciptakan varian betapa luasnya politik identitas tersebut. Hadirnya kelompok politik identitas kerapkali menciptakan kegaduhan dan penurunan kondusifitas di tengah-tengah masyarakat sehingga sebetulnya tidak salah jika politik identitas itu dianggap buruk.

Namun jika politik identitas dianggap hal keliru dan salah secara mutlak tentu tidaklah benar jika dilihat dalam konteks Indonesia sebagai negara demokratis yang majemuk, pluralistik, dan multikultural. Oleh karena itu memahami politik identitas mulai dari gejala dan mengapa muncul menjadi penting agar menghasilkan ragam persepsi secara multidimensional.

Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi yang majemuk, terdiri dari berbagai karakter masyarakat yang sangat beragam mulai dari karakter basis agama, sosial, ras, suku, etnis, budaya ataupun lainya adalah sebuah anugerah dari Tuhan.

Hadirnya kemajemukan inilah yang sebetulnya menjadi tendensi kuat untuk melahirkan sebuah pemahaman jika semakin majemuk sebuah bangsa maka semakin ragam pula identitas yang dimilikinya.  Artinya munculnya kelompok politik identitas sangatlah logis mengingat Indonesia sebagai negara yang majemuk. Namun akan dipertanyakan jika dalam negara majemuk tidak nampak politik identitasnya. Walaupun begitu, tidak menutup kemungkinan pula jika negara-negara yang tidak majemuk tetap akan memunculkan kelompok politik identitas.

Politik Identitas dan Demokrasi

Urgensitas demokrasi adalah memberikan ruang koreksi kepada kelompok di luar negara untuk mengawal penyelenggaraan negara. Jika politik identitas dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi sama halnya dengan menolak karakter kemajemukan dan pluralistik Indonesia. Politik identitas lahir dengan konsep terukur dan jelas. Bukan dianggap absurd, abstraks, dan semu. Realitas kemajemukan dalam demokrasi inilah politik identitas menjadi fenomena warna yang mengiringi demokrasi. Selain hal tersebut konsep politik identitas bisa dilihat dalam aspek yang bermobilisasi dalam arena diantara negara dan masyarakat. Sering disebut pula politik identitas sebagai ruang ekspresi dan kebebasan. Inilah yang sejatinya dikehendaki oleh demokrasi di mana adanya jaminan secara jelas atas kelompok-kelompok yang dijamin keberadaanya. Atau meminjam istilah yang dikemukakan oleh Toucquiville yang disepadankan dengan asosiasi-asosiasi. Menurutnya konsep demokrasi yang sejati harus memberikan ruang untuk tumbuh dan berkembangnya asosiasi yang bersifat voluntary, egaliter, swadaya, dan mandiri dari negara. Begitu pula kelompok politik identitas yang selalu berhadap-hadapan dengan negara sebagai mekanisme checks dan balances.

Demokrasi dan politik identitas berada dalam satu garis linier sehingga tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainya. Karena keduanya berada dalam satu garis linear maka demokrasi yang sehat justru akan melahirkan good politik identitas. Demokrasi yang sehat akan selalu memberikan kesempatan dan ruang bagi kelompok-kelompok di luar pemerintahan untuk bersama-sama memberikan aspirasi dan sekaligus mengingatkan kepada elit-elit negara bila dalam perjalananya menyimpang dari sistem nilai demokrasi. Politik identitas akan selalu muncul dengan basis identitas sebagai simbol yang diwakilinya. Meminjam definisi politik identitas yang disampaikan oleh Sri Astuti Buchari (2014) bahwa yang disebut politik identitas adalah suatu alat perjuangan politik dari suatu etnis untuk mencapai tujuan tertentu misalnya sebagai perlawanan atau alat untuk menunjukkan jati diri. Berdasarkan definisi Buchari tersebut maka ada dua titik tekan politik identitas yakni perlawanan dan sebagai alat menunjukkan jati diri sebuah kelompok.

Politik Identitas dan Rekognisi Kebebasan

Ada dua hal mendasar yang bisa diintrepretasikan jika politik identitas muncul ke permukaan publik. Pertama pada persoalan adanya ketimpangan demokrasi yang terjadi baik dari sisi output maupun inputnya. Oleh karenanya Buchari menyebut sebagai perlawanan terhadap organisasi kekuasaan (negara). Perlawanan muncul  tentu didasari pada alasan yang jelas karena tidak akan pernah muncul perlawanan apabila tidak ada kejadian ataupun tindakan yang dinilai kelompok-kelompok tertentu tidak sesuai. Misalnya ketika negara memberikan ijin pembukaan lahan industri pada lahan-lahan pertanian penduduk maka jika tidak ada negosiasi dan titik temu sepakat maka lahirlah kelompok yang melakukan perlawawan.

Kelompok-kelompok perlawanan mendesain kelompoknya sedemikan rupa sehingga muncul label di bawah payung besar politik identitas. Sebut saja kelompok yang didasarkan pada gender yakni perempuan maka lahirkan gerakan ekofenimisme. Mereka akan terus menentang kebijakan negara karena mereka menganggap negara telah melakukan tindakan yang merugikan mereka dan menguntungkan korporasi. Oleh karenanya pada persoalan perlawanan ini didasari karena tindakan organisasi kekuasaan negara menimbulkan ketidak-adilan dan diskriminasi kelompok tertentu.

Kedua ialah pada   persoalan rekognisi kemajemukan yang melahirkan ragam dan karakter identitas. Sangatlah wajar jika kemajemukan melahirkan banyak identitas dan itu harus mampu diakui keberadanya oleh negara. Pertanyaanya adalah apakah negara memiliki kapasitas dan wadah untuk merekognisi berbagai karakter identitas? Seandainya negara tidak mampu melakukan itu maka tidak salah juga apabila mereka menunjukkan identitas mereka ke publik untuk diakui bahkan jika tidak terkendali maka ada kecenderungan untuk mendominasi. Seolah-olah identitasnya menjadi yang paling kuat dan tidak menganeksasi identitas lainya. Inilah sebetulnya bagaimana politik identitas itu bekerja dalam ruang politik demokrasi. Politik identitas memerlukan kendali dan demokrasi yang sehat turut memberikan kontribusi besar bagi lahirnya good politik identitas.

Sepanjang nilai-nilai demokrasi diejawantahkan secara sehat maka secara otomatis kita membangun good politik identitas dan sebaliknya. Namun memang itu menjadi sesuatu yang sulit. namun yang paling penting ada kemauan dan usaha untuk meminimalisir keadaan tersebut.

Hendy Setiawan (MPP Universitas Gadjah Mada)