Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | I Gusti Putu Narendra Syahputra
Emmanuel Macron. [shutterstock]

Presiden Perancis, Emmanuel Macron, mengecam sikap negara netral yang secara tidak langsung ikut mendukung invasi Rusia ke Ukraina. Negara netral yang mendapat kecaman dari Macron, tidak terkecuali Indonesia, memiliki sikap diplomatik yang plin-plan atau tidak punya pendirian yang jelas dalam menyikapi Perang Rusia-Ukraina yang telah berlangsung selama delapan bulan sejak Februari 2022 lalu.

France 24 melansir, Macron mengatakan, negara yang memilih untuk tetap netral dalam menyikapi Perang Rusia-Ukraina harus ikut bertanggung jawab terhadap praktik imperialisme baru yang dilancarkan oleh tentara Rusia terhadap warga sipil Ukraina setiap hari.

Siapa (negara) saat ini yang hegemon kalau bukan Rusia? Apa yang kita saksikan sejak 24 Februari (hari pertama agresi militer Rusia ke Ukraina) adalah kembalinya era imperialisme dan kolonialisme yang dilakukan oleh Rusia selaku negara hegemon. Perancis menolak praktek semacam ini dan akan bekerja secara konsisten untuk menjaga perdamaian,” kata Macron dalam pidatonya di hari pertama Sidang Majelis Umum PBB ke-77 di Markas Besar PBB di New York City, New York, AS, pada Selasa, (20/9/2022) lalu.

Melansir dari Politico, dalam pidatonya yang dihadiri oleh puluhan delegasi dari berbagai negara tersebut, Macron mengatakan, peristiwa invasi Rusia ke Ukraina tersebut memaksa komunitas internasional harus memilih salah satu dari dua pilihan, yaitu perang atau perdamaian. Presiden Perancis ke-25 dari Partai La Republique En Marche! tersebut juga mengatakan bahwa pemerintah Perancis mengutuk adanya invasi Rusia ke Ukraina yang berlangsung sejak Kamis, (24/2/2022) lalu.

Mereka (negara) yang masih diam sampai dengan saat ini akan merasakan akibatnya, baik secara langsung atau tidak langsung sesuai dengan derajat tindakan yang mereka lakukan karena mendukung praktik imperialisme baru Rusia terhadap Ukraina,” kata Macron.

Dalam pidatonya di hadapan puluhan delegasi dari berbagai negara, Macron menceritakan bahwa dirinya ikut merasakan perasaan ketidakadilan yang dirasakan oleh pemerintah dan rakyat Ukraina. Macron berujar, ketersediaan stok makanan dan energi yang minim, serta berhentinya roda perekonomian yang menyetop pendapatan negara adalah beberapa dari sekian akibat yang harus ditanggung oleh Ukraina yang sedang berada dalam situasi perang terbuka dengan Rusia.

Berkaca dari hal tersebut, presiden Perancis berusia 44 tahun tersebut menyampaikan pesan peringatan kepada negara netral yang tetap bersikeras mempertahankan netralitas dengan tidak memihak kedua belah pihak, baik Rusia atau Ukraina.

Macron mengibaratkan sikap diplomatik negara netral tersebut mirip dengan sikap diplomatik yang dilakukan oleh negara anggota Gerakan Non-Blok (GNB) pada era Perang Dingin (Cold War) yang terjadi pada 1947 - 1991. Pada saat itu, negara anggota Gerakan Non-Blok (GNB) yang salah satunya adalah Indonesia tidak memihak salah satu dari dua blok kuat yang berbeda ideologi, yakni Blok Barat yang terdiri dari Amerika Serikat dan negara Sekutu, seperti Inggris, Perancis, dan Jepang, yang berideologi liberalis-kapitalis, dan Blok Timur yang terdiri dari Uni Soviet atau Rusia, China, Kuba, Korea Utara, dan negara berideologi sosialis-komunis.

Pada kesempatan hari ini, saya ingin mengatakan dengan sejelas-jelasnya. Negara mana pun yang mencoba mengikuti jejak perjuangan negara anggota Gerakan Non-Blok (GNB) yang tidak berani mengekspresikan pendapat tentang keadilan dan kebebasan dengan bebas, berarti telah membuat kesalahan fatal. Negara tersebut akan ikut mempertanggungjawabkan segala beban moral dan historis yang ditimbulkan dari adanya perang ini (Perang Rusia-Ukraina),” ujar Macron.

Jika melihat pembagian suara negara yang mengambil sikap atas invasi Rusia ke Ukraina, baik yang mendukung, menolak, atau tidak memihak keduanya, memang ada beberapa negara anggota PBB yang terlihat tidak konsisten terhadap kasus yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri Rusia di bidang pertahanan dan geopolitik Eropa tersebut. Sikap diplomasi plin-plan yang ditunjukkan oleh mayoritas negara Asia-Afrika, termasuk di antaranya Indonesia, tumbuh menjadi tren yang diikuti oleh negara lain dalam setiap proses pemungutan suara yang berlangsung di dalam beberapa sidang komisi tinggi PBB yang membahas tentang Perang Rusia-Ukraina.

Sebagai contoh, UN News melansir, pada Kamis, (7/9/2022), sebanyak 58 negara, termasuk negara anggota Gerakan Non-Blok (GNB), seperti Afrika Selatan, India, Indonesia, Mesir, Pakistan, dan Irak memutuskan untuk abstain atau tidak memilih dalam sesi pemungutan suara untuk mengesahkan Resolusi Majelis Umum PBB ES-11/3 tentang penghentian keanggotaan Rusia sebagai anggota Komite Hak Asasi Manusia PBB (United Nations Human Rights Council) periode 2021 - 2023. 

Dikutip dari United Nations Human Rights Council, Komite HAM PBB adalah salah satu komisi tinggi PBB yang memiliki tugas pokok dan fungsi untuk membidangi urusan penyelidikan terhadap adanya indikasi pelanggaran HAM yang terjadi di dalam wilayah negara anggota PBB dan melindungi serta mempromosikan penegakan demokrasi serta HAM di seluruh dunia. 

Walau sebanyak 58 negara abstain dan 24 negara menolak atau against, sebanyak 93 negara mendukung atau in favor terhadap isi resolusi yang diinisiasi oleh Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield. Kendati pun demikian, Rusia memilih untuk mengundurkan diri secara sukarela dari komite tersebut karena beredarnya foto kuburan massal yang ada di kota Bucha, pinggiran ibu kota Ukraina, Kyiv, di mana di dalamnya terdapat ratusan mayat warga sipil Ukraina yang tewas akibat tindakan intimidasi tentara Rusia.

Padahal, satu bulan sebelumnya, tepatnya pada Rabu, (2/3/2022), Indonesia mendukung resolusi Majelis Umum PBB yang dikenal dengan nama ES-11/1. Melansir dari UN News, sebanyak 141 negara, termasuk Indonesia, memilih mendukung atau in favor dengan isi resolusi yang disponsori oleh lima negara anggota Majelis Umum PBB tersebut, di mana lima negara menyatakan menolak atau against dan 35 negara menyatakan abstain atau tidak memilih. Isi resolusi yang mengadopsi mekanisme resolusi Majelis Umum PBB Uniting for Peace yang dibuat pada 1950 tersebut menekankan pada posisi Ukraina sebagai negara berdaulat, merdeka, dan memiliki integritas wilayah yang harus dihormati oleh negara mana pun, tidak terkecuali Rusia.

Mengutip dari Permanent Mission of the Republic of Indonesia to The United Nations, World Trade Organization and Other International Organizations in Geneva, Wakil Tetap Republik Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Otoritas Dasar Laut Internasional, Arrmanatha Nasir, mengatakan, alasan pemerintah Indonesia mendukung resolusi tersebut adalah menjunjung tinggi kedaulatan dan integritas wilayah seluruh bangsa yang sesuai dengan prinsip alinea pertama Pembukaan UUD 1945, di mana kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan segala bentuk penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Selain itu, Arrmanatha menambahkan, pemerintah Indonesia mendorong pihak-pihak terkait untuk memberikan perlindungan terhadap warga sipil yang ingin mengungsi dari wilayah terdampak perang, membuka akses jalur darat di wilayah terdampak perang untuk mendukung distribusi bantuan kemanusiaan, serta mendesak Rusia serta Ukraina melakukan de-eskalasi konflik.

I Gusti Putu Narendra Syahputra