Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Dwi Handriyani
Bang Wira, tunatera yang berjualan kerupuk di sekitar Jalan Angsana dan Kemuning, Pejaten Timur, Jaksel. Foto: dok pribadi/Dwi dan Titin

Acapkali di jalan-jalan kita melihat orang-orang menengadahkan tangannya memohon belas kasihan dari orang-orang sekitarnya. Bahkan, banyak pula yang baik-baik saja dan lengkap secara fisik juga "berprofesi" sebagai pengemis. Namun, lain halnya dengan pria tunanetra ini.

Wira Adikusuma, biasa dipanggil Bang Wira mengaku tidak mau meminta-minta, memilih berjualan kerupuk keliling di Jalan Kemuning dan Angsana, Pejaten Timur, Jakarta Selatan. Di sore hari, Bang Wira sering mangkal berjualan di samping Jalan Angsana I.

Menyempatkan membeli, kakak saya, Mbak Titin iseng-iseng menanyakan kenapa bisa menjadi tunanetra. Bang Wira bercerita bahwa indera penglihatannya hilang ketika di usia balita sakit panas tinggi (demam) yang membuat syaraf di matanya rusak.

Bang Wira mengontrak sebuah rumah kecil di Jalan Kemuning V agar bisa berjalan berkeliling berjualan kerupuk ikan yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Sudah hampir 10 tahun, bang Wira berjualan di daerah Pejaten Timur.

Kerupuk ikan yang dijajakan didapatkan dari seorang pengusaha UMKM yang rutin mengiriminya kerupuk. Sempat beberapa waktu lalu, Bang Wira mandeg berjualan karena bos terdahulu berhenti menyuplai kerupuk. Sekarang, dirinya masih terus berjualan, namun berbeda bos kerupuknya.

Lahir 40 tahun yang lalu, tunetra kelahiran Sukabumi ini ternyata sudah menikah dengan sesama tunanetra yang bekerja sebagai pemijat di Bogor dan memiliki anak yang tidak difabel berusia 6 tahun. 

Menjalani LDM (long distance married), tak memupuskan semangat bekerja pasutri tunanetra ini untuk berjualan dan sang istri yang pernah belajar memijat dari salah satu yayasan sosial di Bogor.

Secara berkala, Bang Wira sering mengunjungi istri dan anaknya di Bogor serta aktif mengikuti komunitas tunanetra di sana.

Sebelum menjual kerupuk ikan, Bang Wira pun juga pernah bekerja sebagai tukang urut di daerah Cawang, Jakarta Timur, dan mengontrak rumah di sana. Dirinya belajar memijat di yayasan Cahaya Batin, belakang RSUD Budhi Asih, yayasan sosial bagi tunanetra.

Perjalanan hidupnya menghantarkan Bang Wira bisa mengikuti program sekolah asrama khusus tunanetra di usia 10 tahun dan mengenyam pendidikan hingga menengah pertama di SMP Tanmiyat, Bekasi.

Dikarenakan belum ada jenjang SMA di sana, dirinya melanjutkan pendidikan dengan mengikuti Program Sistem Kejar Paket C di daerah Pasar Loak, Jatinegara.

Meski Tuhan sudah mengambil penglihatannya dari warna-warni dunia, Bang Wira bisa mengetahui jam kapan harus bangun, sholat, dan beraktivitas melalui suara sholawatan dan azan dari masjid.

Adapun, yang menyedihkan dari urang Sunda ini, Bang Wira mengatakan tidak mempunyai kartu JKN-KIS (BPJS Kesehatan), sedangkan istri dan anaknya mempunyai.

Semoga Dinas Sosial terkait bisa memasukkan Bang Wira di dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan menjadi penerima berbagai program sosial nasional/daerah, termasuk JKN-KIS.

Yuks Sobat Yoursay, jika bertemu difabel seperti Bang Wira ini jangan lupa membeli dagangannya.

Dwi Handriyani