Scroll untuk membaca artikel
Hernawan
Ilustrasi hari kusta (pixabay/satheeshsankaran)

Stigma negatif yang melekat pada penyakit kusta atau lepra membuat Huswatun Hasanah (27) merasa terdiskriminasi. Bahkan diskriminasi itu, menurut Huswa, terjadi sejak awal dia divonis mengidap kusta. Perempuan asal Cirebon, Jawa Barat ini terkena kusta saat masih duduk di bangku kelas 2 sekolah menengah pertama.

Saat ditemui di Makassar, awal Oktober 2024 lalu, Huswa menceritakan pengalaman buruknya bertahun lalu. Kini ia sudah sembuh, namun ia selalu ingat bagaimana teman, guru, dan tetangga di lingkungan rumahnya.

“Saya dijauhi teman-teman waktu itu,” ujarnya. Bahkan, ia menambahkan, guru maupun tetangga kerap mengatainya sebagai orang yang salah menggunakan make up. “Padahal perubahan warna kulit itumerupakan imbas dari pengobatan,” ia menambahkan.

Anggapan miring itu praktis membikin Huswa menutup dirihingga depresi, sehingga hal itu berimbas pada prestasinya di sekolah. Oleh sebab itu, Huswa yang saat ini bergabung dengan NLR Indonesia berharap agar diskriminasi yang pernah menimpanya tidak terjadi lagi terhadap orang lain.

“Saya ingin OYPMK bukan hanya difasilitasi mengenai kesehatan saja, tapi juga konseling untuk mendengarkan keluh kesah atau sebagai bentuk pemberi dukungan kepadaOYPMK,” ungkapnya.

OYPMK yang disebut Uswa adalah kependekan dari orang yang pernah mengalami kusta. Uswa sendiri lebih senangmenyebut dirinya sebagai OYPMK ketimbang penderita kusta.

"Kalau penderita kusta itu seakan-akan pasien tidak pernah sembuh dari kusta, sedangkan saya saat ini sudah sembuh,” jelasnya.

Uswa menegaskan bahwa kusta bisa disembuhkan. Meski masa pengobatannya terbilang lama, bisa 6-12 bulan, tapi seluruh pengobatannya bisa didapatkan gratis di Puskesmas. Hal itu, menurutnya, yang kurang disosialisasikan kepada masyarakat. Ia berharap edukasi masyarakat tentang kusta lebih massif dilakukan.

“Penderita kusta yang mendapat pengaruh buruk karena kurangnya edukasi kusta di masyarakat maupun di sekolah. Hal ini tentunya sangatlah memprihatinkan, karena masyarakat sekitar dan sekolah adalah orang yang seharusnya menjadi pendukung bagi penderita kusta dalam menyelesaikan pengobatannya,” tegasnya.

Oleh sebab itu, NLR Indonesia bersama Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Jaring.id, dan Permata bertekad memerangi stigma negatif akibat kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kusta. Salah satu cara yang dilakukan ialah pelatihan penulisan yang digelar di Makassar pada akhir Oktober 2024 lalu.

Pelatihan tersebut tidak hanya dihadiri jurnalis, tetapi juga OYPMK. “Pelatihan ini tidak hanya untuk memperkenalkan apa itu kusta, bagaimana cara penanganannya, dan bahaya kusta. Tapi juga bermaksud untuk memberdayakan OYPMK melalui kegiatan tulis menulis atau membuat konten, khususnya terkait kusta dan stigma. Sementara penting bagi jurnalis untuk menggunakan terminologi atau diksi yang tepattentang terkait kusta dalam pemberitaan,” ucap jurnalis Jaring.id Damar Fery Ardiyan, salah satu pembicara dalam pelatihan.