Scroll untuk membaca artikel
Hernawan
Ilustrasi hari kusta (pixabay/satheeshsankaran)

Riyan Rifaldi tidak bisa lagi bekerja berat. Pemuda Gowa kelahiran 6 Juni 2003 yang akrab dipanggil Iyan tersebut mulai mudah lelah. Ia gampang demam dan mengalami gangguan saraf tepi (neuritis). Kulit tubuhnya kerap berbentol merah, meskipun tak lagi melepuh seperti tahun-tahun sebelumnya. 

Semua itu dialami Iyan sebagai reaksi atas  pengobatan kusta yang ia jalani.  Iyan didiagnosa kusta di tahun 2016, kala duduk di bangku kelas 2 SMP. Usianya baru 13 tahun. Saat dokter yang memeriksanya di RSUP Dr.Tadjuddin Chalid Makassar, mendiagnosa kusta, Iyan merasa biasa-biasa aja. Tidak ada ketakutan. Meskipun kulitnya kemudian menghitam dan sempat mendapatkan diskriminasi dari guru BK (Bimbingan Konseling) di sekolahnya.

“Guru tersebut tidak mau bersalaman dengan saya,” kisah Iyan, Rabu 11 Desember lalu. Saat itu, Iyan hendak bersalaman dengan guru tersebut. Tapi sang guru buru-buru menarik tangannya dan pura-pura tidak melihat Iyan. 

Beruntung kejadian tersebut tidak membuat Iyan sakit hati. Dukungan dari keluarga membuat Iyan bertahan. Ia tidak merasa malu untuk bergaul dengan tetangga-tetangganya. Keluarga juga mendukungnya untuk menjalani pengobatan. 

Iyan bukan satu-satunya pasien kusta dalam keluarganya. Anak ketiga dari tujuh bersaudara ini juga memiliki tiga adik yang mengalami kusta. Ketiga adiknya tersebut adalah Rafli, Rifki, dan Rasya. Ketiganya juga menjalani pengobatan seperti dirinya.

Namun dibanding ketiga adiknya, Iyan yang terparah. Ini karena walaupun sudah 8 tahun selesai berobat, Iyan  masih sering mengalami reaksi kulit yang melepuh. Meskipun reaksi saat ini yang masih dialami Iyan adalah neuritis, demam,  dan mudah lelah.  Kulitnya memang  sudah tidak melepuh seperti dulu, tetapi masih sering muncul bentol-bentol merah. Itulah sebabnya Iyan tidak bisa mengerjakan pekerjaan yang berat. 

Saat saya berkunjung ke rumahnya Desember lalu, Iyan belum bisa beraktivitas berat sehingga dia menghabiskan waktunya lebih banyak di rumah. Beberapa bulan sebelumnya,  Iyan juga mengalami kecelakaan yang mengakibatkan tulang lutut dan kakinya patah sehingga dia harus banyak beristirahat.

Iyan kini sudah tidak minum prednisone (obat anti reaksi) karena obat prednisone berbahaya untuk organ tubuh lainnya jika dikonsumsi dalam waktu yang lama. Tetapi sekarang Iyan masih mengonsumsi obat paracetamol dan asam mefenamat untuk mengurangi rasa sakit pada saat tubuhnya bereaksi.

Iyan berusaha agar bisa terlepas dari obat dan reaksi yang sering dia alami tetapi itu sangat sulit baginya. Iyan juga termasuk salah satu anggota di organisasi PerMaTa (Perhimpunan Mandiri kusta) di mana di dalamnya adalah orang-orang yang sedang dan pernah mengalami kusta. 

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit kulit yang menyebabkan implikasi pada kondisi fisik dan psikis penderitanya. Perubahan kondisi fisik yang muncul akibat penyakit kusta, cenderung tidak dapat diterima oleh penderita kusta. Berawal dari adanya perubahan fisik pada penderita kusta, muncul sebuah stigma negatif dan diskriminasi di masyarakat.

Stigma dan diskriminasi dapat dilakukan oleh lingkungan terdekat orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK), seperti keluarga dan masyarakat sekitar. Pada dasarnya seseorang yang mengalami kusta akan kesulitan untuk diterima kembali di masyarakat, hal ini dikarenakan stigma kusta sebagai penyakit kutukan masih melekat di masyarakat. (Sri Dewi)