Scroll untuk membaca artikel
Hernawan
Hari Kista Dunia (Freepik)

Bercak putih pada lengan dan paha menjadi tanda awal bagi Fichrin mengenali kusta. Saat itu tahun 2019. Fichrin baru duduk di bangku sekolah menengah pertama. Bercak putih yang ia alami mula-mula tak mengganggu. “Mati rasa saja,” ujarnya.

Belakangan sebuah nodul muncul di wajahnya. Meski tak terasa sakit, benjolan di wajahnya tersebut mulai membuatnya tak percaya diri. “Saya lalu berobat di pengobatan tradisional tanpa menduga bahwa ini adalah tanda dari penyakit yang jauh lebih serius,” ungkapnya.

Alih-alih membaik, benjolan di pipi Fichrin tak juga hilang hingga 2 tahun berselang. Akibatnya teman-temannya di sekolah mengolok-olok perubahan wajah yang dialami Fichrin. Dari SMP, menurutnya, stigmatisasi itu berlanjut hingga sekolah menengah kejuruan (SMK). “Meski begitu, saya tetap bersekolah,” ujarnya.

Fichrin baru tersadar terkena kusta saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Dokter yang saat itu hendak memberikan vaksin meminta agar Fichrin memeriksa bercak putih ke rumah sakit. Di sana lah kemudian ia terdiagnosa sebagai pasien kusta. Oleh dokter Fichrin diminta agar mengonsumsi obat MDT (Multi Drug Therapy) dalam rentan waktu lama, yakni 6-12 bulan.

“Namun ibu saya melarang untuk mengonsumsi obat itu.” Ia menambahkan bahwa saat itu ibunya sempat tak percaya dengan hasil pemeriksaan dokter. “Anak saya tidak mungkin terkena kusta,” kata Fichrin menirukan apa yang dikatakan ibunya.

Meski begitu, Fichrin tetap menenggak obat MDT. “Saya diam-diam menyembunyikan obat MDT dalam buku-buku sekolah dan meminumnya setiap malam,” ungkap dia.

Masa pengobatan bukan waktu yang mudah bagi Fichrin. Ia termasuk orang yang mengalami reaksi kusta berupa munculnya nodul kecil di permukaan kulit, disertai rasa nyeri di saraf sendi. Reaksi ini membuatnya gelisah, takut akan kemungkinan disabilitas yang mungkin ia alami di masa depan.

"Saya sangat takut kalau nantinya akan mengalami disabilitas karena reaksi ini," ungkapnya dengan suara yang sarat akan kepedihan.

Alih-alih putus asa dengan kondisinya, Fichrin malah makin semangat untuk mempelajari informasi mengenai kusta. Mulai dari definisikusta, efek samping obat, sampai berkonsultasi secara berkala ke puskesmas.

“Saya juga mendapatkan dukungan dari seorang teman, Roni. Dia memberikan dorongan untuk tidak menyerah,” ucapnya.

Oleh sebab itu, Fichrin bertekad menuntaskan masa pengobatannya. Dari masa pengobatan 12 bulan, Fichrin sudah menuntaskannya pada November 2024 lalu. Dia mengaku tidak maumengulang masa pengobatan. Tanpa Lampren— obat penanganan reaksi kusta, tubuh Fichrinakan mengalami reaksi berat. “Kulit menghitam, muncul ruam, hingga nyeri sendi,” jelasnya.

Kini, Fichrin masih berjuang menjalani hidupnya sembari mengedukasi orang-orang di sekitarnya mengenai kusta.  Ia berharap, suatu hari nanti, stigma tentang kusta di masyarakat akan berubah agar orang-orang yang terkena kusta dapat menjalani hidup dengan patut. “Hidup ini bukanlah tentang seberapa lama kita diberi waktu, tapi tentang seberapa kuat kita bertahan dan memperjuangkan kehidupan yang berarti,” tutupnya. (Roni Saputra)