Di tengah keramaian pasar tradisional di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, seorang penyandang kusta bernama Suardi menggelar lapak dagangannya dari atas sepeda motor pada Rabu, 6 November 2024. Seperti pedagang lain di sana ia tampak tak segan menawarkan barang dagangan.
"Awalnya, saya sangat takut untuk memulai usaha ini. Karena yang lebih menakutkan dari kusta adalah stigma dari masyarakat,” ungkapnya saat ditemui di rumahnya yang dipenuhi berbagai barang dagangan.
Suardi adalah pria berusia 45 tahun. Setelah terdiagnosa kusta beberapa tahun lalu, kehidupannya tak lagi sama. Penyakit yang disebabkan bakteri perusak jaringan kulit, saraftepi, dan saluran pernapasan, Mycobacterium leprae itu membuatnya tak lepas dari stigma.
“Saya sering mendengar bisikan orang-orang di sekitar tentang penyakit saya. Rasanya sangat menyakitkan,” ucapnya dengan suara bergetar. Padahal, kata dia, penyakit lepra bisa disembuhkan. “Tapi stigma sosial terhadap penderita kusta sering kali lebih menyakitkan daripada penyakit itu sendiri,” ia menambahkan.
Meski begitu, Suardi terbilang beruntung karena memiliki keluarga yang terus mendorongnya untuk sembuh. “Keluarga saya selalu ada untuk mendukung saya. Mereka tidak pernah memperlakukan saya berbeda, meskipun saya pernah mengalami kusta,” katanya bersyukur.
Menurut Suardi, masa pengobatan berbulan-bulan merupakan bagian terberat setelah terdiagnosa kusta. Namun ia mengaku tidak bisa tidak menenggak obat dan menerima efek dari pengobatan tersebut. “Saya menyadari bahwa pengobatan adalah langkah pertama untuk kembali ke kehidupan normal,” katanya.
Dinas Kesehatan Kabupaten Bone mencatat jumlah penderita kusta yang tersebar di 38 puskesmas mencapai 64 kasus pada 2024. Dr. Kasmawar, Kepala Bidang P2P Dinas Kesehatan Kabupaten Bone menyebut stigma terhadap penderita kusta masih menjadi masalah serius di masyarakat Indonesia, termasuk di Kabupaten Bone.
Banyak orang masih percaya pada mitos bahwa kusta adalah penyakit kutukan atau akibat karma buruk dari masa lalu seseorang. Hal ini membuat banyak penyandang kusta enggan mencari pengobatan atau melanjutkan hidup mereka secara normal.
Karenanya, kata dia, penting bagi Dinas Kesehatan mendukung OYPMK, kependekan dari orang yang pernah mengalami kusta, seperti Suardi. Melalui program edukasi dan kampanye kesadaran masyarakat terhadap kusta, Dinkes telah berupaya untuk mengurangi stigma terhadap OYPMK.
“Pemerintah ingin masyarakat tahu bahwa kusta dapat disembuhkan dan tidakmenular melalui interaksi biasa,” jelasnya.
Kasmawar menambahkan peningkatan kesadaran masyarakat pun dilakukan melalui seminar dan penyuluhan, baik ke komunitas maupun kampus. “Kami telah meluncurkan beberapaprogram seperti kusta masuk kampus. Harapannya ingin mengubah cara pandang masyarakat terhadap penderita kusta agar mereka bisa diterima kembali ke dalam masyarakat,” katanya.
Senada dengan Kasmawar, Suardi memiliki harapan yang sama. Ia ingin perjalanan hidupnya sebagai OYPMK dapat mendorong perubahan sekaligus memberi energi lebih bagi OYPMK lain untuk bangkit.
“Memang tidak mudah,” ucapnya. Sebelum dagangannya laku seperti sekarang, Suardi telah melewati pelbagai anggapan miring dari calon pembeli. “Awalnya mereka ragu, tapi saya harus berjuang keras untuk membangun reputasi baik di kalangan pelanggan,” tegas dia.
Dengan begitu, perlahan usaha Suardi mulai membuahkan hasil dengan menarik banyak perhatian pelanggan. “Seperti penjual pada umumnya saya wajib bersikap ramah pada pelanggan," katanya.
Dengan keberanian dan ketekunan, Suardi bertekad untuk terus melawan stigma tersebut melalui usahanya. Ia aktif berbicara di berbagai forum komunitas tentang pentingnya pemahaman mengenai kusta dan bagaimana masyarakat dapat memberikan dukungan kepada penyandangnya.
“Saya berharap orang seperti kami ini diterima di masyarakat,” tegasnya.
Suardi meyakinkan bahwa masa depan bagi OYPMK sama cerahnya dengan orang lain selama memiliki semangat tinggi dan dukungan dari orang-orang terdekat, termasuk Dinas Kesehatan. Ia berharap perjalanan hidupnya dapat menjadi inspirasi bagi semua, terutama bagi mereka yang pernah mengalami stigma akibat penyakit yang juga dikenal dengan penyakit Hansen.
Baca Juga
-
Ulasan Victory, Karya Segar atau Sekadar Reinkarnasi dari Pendahulunya?
-
Sinopsis Ketindihan, Film Horor yang Dibintangi Haico Van der Veken
-
Persebaya Surabaya Percaya Diri Jelang Lawan Borneo, Ini Kata Bruno Moreira
-
Visa Kerja Hanni NewJeans Habis, ADOR Siap Lakukan Pembaruan
-
Peran Media Perangi Stigma Kusta
Artikel Terkait
-
Kurangi Risiko Osteoporosis dengan Jalan Kaki dan Penuhi Nutrisi
-
Sering Terpapar Kamera, Paula Verhoeven Ungkap Pentingnya Lakukan Pemeriksaan Kesehatan Mata Rutin
-
Diduga Malpraktik Bikin Pasien Tak Bisa Hamil, Dokter di Jakbar Dilaporkan ke Konsil Kesehatan
-
Tuai Polemik, DPR Imbau Kemenkes Libatkan Pemangku Kepentingan Dalam Susun Aturan Turunan PP Kesehatan
-
Burn Bright, Not Out: Strategi Mahasiswa Psikologi Hadapi Academic Burnout
News
-
Peran Media Perangi Stigma Kusta
-
Nyaris Bunuh Diri, Penyintas Kusta Bertahan Berkat Dukungan Keluarga
-
Dosen Ilkom UNY Berikan Pelatihan Pelayanan Prima Bagi Pimpinan Cabang Muhammadiyah Depok Sleman
-
LKMM Psikologi 2024: Membangun Kemampuan Public Speaking Calon Pemimpin
-
MANTAP: Program Psikoedukasi untuk Tingkatkan Adaptasi Mahasiswa di Kampus
Terkini
-
Ulasan Victory, Karya Segar atau Sekadar Reinkarnasi dari Pendahulunya?
-
Sinopsis Ketindihan, Film Horor yang Dibintangi Haico Van der Veken
-
Persebaya Surabaya Percaya Diri Jelang Lawan Borneo, Ini Kata Bruno Moreira
-
Visa Kerja Hanni NewJeans Habis, ADOR Siap Lakukan Pembaruan
-
Ulasan Buku Badai Pasti Berlalu: Padamkan Burn Out-mu, Bingkai Bahagiamu