Bimo Aria Fundrika
Massa aksi bentrok dengan personel kepolisian di kawasan Senayan di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (28/8/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

Badan PBB untuk pengungsi (UNHCR) mendesak pemerintah Indonesia segera melakukan investigasi cepat, menyeluruh, dan transparan terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam gelombang protes nasional yang berujung kekerasan.

UNHCR menyoroti laporan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat dan menegaskan bahwa setiap tindakan, termasuk bila melibatkan militer, harus sesuai prinsip dasar penggunaan kekuatan dan senjata api oleh penegak hukum.

“Penting bagi otoritas untuk menegakkan ketertiban sekaligus menjamin hak atas kebebasan berkumpul dan berekspresi secara damai, sesuai norma dan standar internasional,” tegas UNHCR dalam pernyataan resminya.

Badan PBB itu juga menuntut agar media tetap bebas melaporkan situasi di lapangan tanpa hambatan.

Komnas HAM menambahkan bukti baru yang memperkuat tudingan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat. Komisioner Putu Elvina menyebut pengemudi ojek online Affan Kurniawan (21) meninggal dunia setelah diduga ditabrak kendaraan taktis Brimob saat unjuk rasa di Jakarta.

“Diduga kuat telah terjadi excessive use of force oleh aparat yang menyebabkan korban jiwa,” ujarnya.

Massa saat menggelar aksi di Jalan Jendral Sudirman, Jakarta, Jumat (29/8/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

Selain Affan, Komnas HAM mencatat ratusan orang menjadi korban kekerasan, mulai dari luka-luka hingga penangkapan sewenang-wenang. “Diduga kuat terdapat ratusan korban akibat kekerasan aparat dalam pengendalian massa serta adanya penahanan yang tidak sah terhadap pengunjuk rasa,” kata Putu.

Seruan PBB dan temuan Komnas HAM memperkuat tekanan agar pemerintah membuka penyelidikan independen, di tengah gelombang demonstrasi yang meluas dan kemarahan publik terhadap tindakan represif aparat.

Desakan Masyarakat Sipil

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam keras tindakan represif aparat serta menilai peristiwa ini sebagai tanda kemunduran demokrasi di Indonesia.

Dalam pernyataan resminya, YLBHI mendesak pemerintah segera membebaskan seluruh demonstran yang masih ditahan di berbagai daerah. “Penghalangan demonstrasi, intimidasi, kekerasan, penangkapan, dan penahanan tersebut mencederai hak konstitusional warga untuk menyampaikan pendapat di muka umum,” tegas YLBHI.

Mereka juga menuntut Presiden memerintahkan Polri dan TNI menghentikan sikap represif, sekaligus bertanggung jawab membawa aparat yang melakukan kekerasan dan pembunuhan ke pengadilan, bukan sekadar mekanisme etik internal. YLBHI bahkan menuntut Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo segera mundur atau dicopot, seraya menekankan perlunya reformasi kepolisian secara menyeluruh.

Selain aparat, YLBHI juga menyoroti peran elit politik. Mereka mendesak DPR dan partai politik memberi sanksi kepada anggota parlemen yang dinilai memicu kemarahan publik, serta segera memenuhi tuntutan demonstran—mulai dari pembatalan RKUHAP, penghentian program perusak lingkungan, hingga pembahasan RUU Perampasan Aset dengan partisipasi publik yang bermakna.

YLBHI turut meminta Komnas HAM membentuk tim independen menyelidiki dugaan pelanggaran HAM serius, termasuk kasus penabrakan Affan oleh kendaraan Brimob, serta memantau dugaan pembatasan media sosial selama aksi berlangsung. Mereka juga menilai Kementerian HAM gagal menjalankan peran, dan menyerukan agar kementerian tersebut dibubarkan.

“Tragedi ini menunjukkan arah berbahaya demokrasi. Tanpa perubahan, negara ini bukan lagi negara demokratis, melainkan negara tiran dalam kemasan baru,” tulis YLBHI dalam seruannya.