- Bripka Rohmat dijatuhi sanksi demosi 7 tahun usai melindas ojol Affan Kurniawan saat demo ricuh.
- Ia mengaku hanya jalankan perintah Kompol Cosmas, tapi sidang etik menegaskan tanggung jawab pribadi tetap ada.
Publik nilai hukuman terlalu ringan & tuntut evaluasi SOP Polri, agar tragedi serupa tak terulang.
Insiden yang melibatkan anggota Brimob, Bripka Rohmat, saat aksi demonstrasi ricuh di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, akhirnya memasuki babak baru. Setelah menjalani pemeriksaan dan persidangan kode etik, Polri menjatuhkan sanksi demosi selama tujuh tahun kepada Bripka Rohmat. Fakta lain yang terungkap, tindakannya melindas pengemudi ojek online (ojol) bernama Affan Kurniawan ternyata dilakukan setelah menerima perintah dari atasannya, Kompol Cosmas.
Kronologi Kejadian
Kericuhan di Pejompongan bermula ketika massa aksi melakukan demonstrasi yang berujung bentrokan dengan aparat. Sebuah kendaraan taktis (rantis) Brimob yang dikemudikan Bripka Rohmat terjebak di tengah kerumunan. Menurut laporan Sindonews, situasi di lapangan semakin tegang, sementara massa mengepung rantis yang sulit bergerak.
Dalam kondisi tersebut, Kompol Cosmas yang memimpin di lokasi memberikan instruksi kepada Bripka Rohmat untuk “maju terus” agar bisa keluar dari kepungan. Okezone menuliskan, instruksi itu membuat Bripka Rohmat memutuskan menerobos kerumunan dengan rantis. Namun, keputusan tersebut berakibat fatal karena kendaraan itu justru melindas Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojol yang berada di sekitar lokasi.
Tragedi itu kemudian viral di media sosial setelah rekaman video memperlihatkan detik-detik rantis melaju di tengah massa. Publik pun ramai mengecam tindakan aparat yang dinilai tidak manusiawi dan ceroboh.
Hukuman Demosi untuk Bripka Rohmat
Setelah insiden ini, Polri langsung melakukan pemeriksaan internal terhadap Bripka Rohmat. Kaltim Post menuliskan, hasil sidang etik menetapkan Bripka Rohmat bersalah karena dianggap lalai dan tidak berhati-hati dalam menjalankan tugas.
Sebagai konsekuensi, ia dijatuhi hukuman demosi selama tujuh tahun. Menurut penjelasan dari RCTI Plus, demosi adalah sanksi etik berupa penurunan jabatan atau pemindahan ke posisi lebih rendah. Hukuman ini berbeda dengan pemberhentian tidak hormat (PTDH) karena status Bripka Rohmat sebagai anggota Polri masih melekat, namun kariernya dipastikan terhambat.
Selama tujuh tahun ke depan, Bripka Rohmat tidak bisa menduduki jabatan strategis atau naik pangkat. Hal ini merupakan bentuk hukuman berat di lingkungan Polri karena bisa memengaruhi masa depan seseorang di institusi kepolisian.
Pengakuan Bripka Rohmat
Dalam persidangan etik, Bripka Rohmat menyampaikan pengakuannya. Dilansir iNews.id, ia mengaku tindakannya menginjak pedal gas hingga rantis melaju bukan atas inisiatif pribadi, melainkan murni menjalankan perintah atasannya, Kompol Cosmas.
Ia menyebutkan, saat itu dirinya berada dalam tekanan situasi kacau karena rantis terkepung demonstran. Instruksi "maju terus" dari Kompol Cosmas membuatnya yakin bahwa langkah terbaik adalah menjalankan perintah tanpa berpikir panjang.
Namun, meski pengakuan tersebut memperjelas kronologi perintah komando di lapangan, sidang etik tetap menilai Bripka Rohmat punya tanggung jawab pribadi. Bisnis Update menuliskan, Polri menekankan bahwa perintah atasan tidak bisa dijadikan alasan mutlak untuk menghapus kesalahan anggota, karena setiap personel tetap wajib mengedepankan kehati-hatian dan prinsip melindungi warga.
Peran Kompol Cosmas di Lapangan
Nama Kompol Cosmas menjadi sorotan setelah terungkap bahwa perintahnya yang mendorong Bripka Rohmat untuk menerobos massa. Sindonews dan Okezone sama-sama menuliskan bahwa tanpa perintah tersebut, Bripka Rohmat kemungkinan tidak akan mengambil keputusan berisiko tinggi.
Meski demikian, dalam proses etik, tanggung jawab utama tetap dibebankan kepada Bripka Rohmat sebagai eksekutor. Hal ini memunculkan perdebatan, karena publik menilai atasan yang memberi perintah juga seharusnya mendapat sanksi setimpal.
Reaksi Publik dan Keluarga Korban
Kematian Affan Kurniawan menimbulkan duka mendalam bagi keluarga korban. Mereka menuntut keadilan dan berharap kasus ini tidak berhenti hanya pada sanksi etik.
Di sisi lain, publik memberikan respons beragam terhadap sanksi yang dijatuhkan pada Bripka Rohmat. RCTI Plus (nasional) melaporkan, sebagian masyarakat menilai hukuman demosi tujuh tahun masih terlalu ringan karena mengakibatkan nyawa melayang. Namun, ada pula yang beranggapan hukuman itu sudah cukup adil karena ia hanya menjalankan instruksi pimpinan.
Perdebatan ini mencerminkan dilema yang dihadapi aparat keamanan ketika harus mengambil keputusan cepat di lapangan penuh tekanan.
Mengenal Sanksi Demosi di Polri
Dalam pemberitaan RCTI Plus, dijelaskan bahwa demosi adalah salah satu bentuk hukuman disiplin yang bertujuan memberikan efek jera tanpa langsung mengeluarkan anggota dari kepolisian. Hukuman ini biasanya berupa:
- Penurunan jabatan atau pangkat,
- Pemindahan ke tugas yang lebih rendah,
- Pembatasan kesempatan karier dalam periode tertentu.
Dengan sanksi ini, karier Bripka Rohmat di Polri praktis terhenti selama tujuh tahun, meskipun ia masih tetap bertugas.
Evaluasi Penanganan Demonstrasi
Kasus Bripka Rohmat membuka diskusi luas tentang standar operasional prosedur (SOP) aparat dalam menghadapi aksi massa. Sindonews menekankan pentingnya evaluasi mekanisme komando, karena instruksi yang terburu-buru tanpa pertimbangan matang bisa berujung pada jatuhnya korban jiwa.
Polri pun diharapkan memperketat SOP agar tragedi serupa tidak terulang. Selain itu, publik menuntut transparansi dalam penindakan terhadap semua pihak yang terlibat, termasuk atasan yang memberi perintah.
Kesimpulan
Kasus yang menimpa Bripka Rohmat menunjukkan kompleksitas penanganan demonstrasi di lapangan. Meski ia mengaku hanya menjalankan perintah Kompol Cosmas, sidang etik menegaskan bahwa tanggung jawab individu tidak bisa dihapus.
Hukuman demosi tujuh tahun menjadi catatan berat bagi kariernya, sementara tragedi yang merenggut nyawa Affan Kurniawan diharapkan menjadi pelajaran berharga bagi Polri dalam mengedepankan prinsip kehati-hatian, profesionalisme, dan perlindungan terhadap masyarakat.
Baca Juga
-
Kontroversi Foto Prabowo Dicrop Koran Jepang: Alasan dan Respons Publik
-
Rusdi Masse Kini Wakil Ketua Komisi III DPR, Gantikan Sahroni: Siapa Dia?
-
Nadiem Makarim Jadi Tersangka Korupsi Chromebook, Negara Rugi Rp1,98 T
-
Eza Gionino Digugat Cerai Meiza Aulia, Pernikahan 7 Tahun Berakhir dengan Tuntutan Hak Asuh Anak
-
NasDem Tegaskan Ahmad Sahroni Belum Resmi Mundur, tapi Sudah Dinonaktifkan
Artikel Terkait
-
Daftar Sanksi Ini Dijatuhkan kepada Bripka Rohmat, Sopir Kendaraan Taktis yang Tewaskan Affan
-
Komandan Dipecat, Sopir Hanya Demosi: Kompolnas Beberkan Faktor Peringan Bripka Rohmat
-
Divonis Demosi 7 Tahun, Bripka Rohmat: 'Saya Hanya Jalankan Perintah Pimpinan'
-
Bripka Rohmat Supir Kendaraan Taktis yang Tewaskan Affan Disanksi Mutasi 7 Tahun!
-
Sejumlah Influencer Berikan Tuntutan 17+8 ke DPR
News
-
Utang Pinjol Anak Muda Tembus Rp84 Triliun! Ini 5 Tanda Kamu Udah di Ambang 'Bencana Finansial'
-
Kontroversi Foto Prabowo Dicrop Koran Jepang: Alasan dan Respons Publik
-
Bangga Sejajar Putin & Kim Jong Un, Eh Foto Prabowo Malah 'Dihapus' Koran Jepang!
-
Video Lawas Nadiem Makarim Viral Lagi, Ngaku Lahir di Keluarga Anti Korupsi!
-
Esensi Film 'Bring Her Back 2025': Horor Okultisme yang Bikin Sakit Jiwa!
Terkini
-
Akhirnya, Call of Duty Diadaptasi Jadi Film Live-Action oleh Paramount
-
Patrick Kluivert Hubungi Presiden Lille Gegara Calvin Verdonk, Bahas Apa?
-
Gula Aren Jadi Rahasia Rasa Enak Kopi Susu Kekinian, Tapi Beneran Lebih Sehat Gak Sih?
-
Ironi Demokrasi: Kala Rakyat Harus 'Sumbang' Nyawa untuk Didengar Wakilnya
-
Trailer House of Guinness: Intrik dan Ambisi Pewaris Pabrik Bir Legendaris