M. Reza Sulaiman
Sejumlah massa melakukan aksi unjuk rasa di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu (7/9/2022). [Suara.com/Alfian Winanto]

Familiar dengan tagar “September Hitam”? Setiap bulan September, rakyat Indonesia selalu diingatkan pada berbagai peristiwa kelam yang melanda negeri ini.

Salah satu yang paling membekas adalah tragedi yang menimpa Munir Said Thalib, salah satu aktivis HAM paling vokal pada masanya. Tanggal 7 September 2004 menjadi hari yang kelam dalam sejarah Indonesia, saat seorang pejuang kebenaran dibungkam selamanya.

Siapa Munir? Sosok Pemberani yang Tak Takut Ancaman

Munir Said Thalib, kelahiran 1965, dikenal sebagai pengacara HAM yang lantang membela para korban, terutama korban penculikan dan penghilangan paksa di era Orde Baru. Ia juga tak pernah gentar dalam menyuarakan kritiknya terhadap praktik pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

Kerja kerasnya pun pernah dilirik oleh dunia internasional, di mana ia mendapatkan Right Livelihood Award pada tahun 2000, sebuah penghargaan yang sering disebut sebagai "Nobel Alternatif".

Namun sayang, perjuangannya dipaksa berhenti secara tidak bermoral. Sang aktivis yang seharusnya tiba di tujuannya dengan selamat, justru harus merasakan sakit yang tak tertahankan hingga akhirnya menutup mata di tengah penerbangannya.

Kronologi Penerbangan Terakhir yang Penuh Kejanggalan

Kisah tragisnya dimulai pada 6 September 2004 malam hari. Munir terbang dari Jakarta menuju Amsterdam untuk melanjutkan studi S2, dengan transit di Singapura menggunakan maskapai penerbangan Garuda Indonesia bernomor GA-974.

Saat boarding, Pollycarpus Budihari Priyanto, yang saat itu menjadi extra crew/aviation security, menghampiri Munir dan menawarkannya untuk pindah ke kursi kelas bisnis.

Awalnya, Munir menolak tawaran tersebut karena merasa tidak enak, tetapi pada akhirnya ia menerima tawaran Pollycarpus. Selama perjalanan dari Jakarta menuju transit di Singapura, ia sempat makan dan minum.

Pada pukul 00.40, pesawat tiba di Singapura dan singgah selama 1 jam 10 menit, sebelum akhirnya kembali melanjutkan perjalanan ke Amsterdam. Setelah pesawat lepas landas dari Singapura, kondisi kesehatan Munir tiba-tiba drop.

Perjuangan Melawan Racun di Ketinggian 30.000 Kaki

Ia mengalami muntah, diare, dan lemas yang parah. Karena kondisinya yang semakin memburuk, ia segera meminta dipertemukan dengan dr. Tarmizi, seorang penumpang yang juga dokter, yang kebetulan duduk di kelas bisnis.

Setelah bertemu, Munir menjelaskan kondisinya yang janggal. Ia telah muntah dan buang air sebanyak 6 kali semenjak pesawat take off.

Segera, Munir mendapatkan penanganan dan ditempatkan di kursi dekat dokter. Meskipun telah diberikan obat diare dan susu serta air garam, kondisi Munir tak kunjung membaik. Ia terus mengalami muntah dan diare berkali-kali.

Beberapa jam kemudian, Munir kembali merasakan sakit yang hebat. Ia bahkan tidak dapat minum, karena selalu dimuntahkan kembali. Akhirnya, ia diberikan suntikan oleh dokter agar sedikit tenang, meskipun masih merasakan sakit.

Dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam, Munir ditemukan dalam posisi tertidur miring. Salah satu awak kabin yang melihatnya menemukan pergelangan tangannya sudah membiru dan segera memanggil dokter.

Sekitar pukul 04.04 UTC, diperkirakan di atas negara Rumania, Munir dinyatakan meninggal dunia.

Dua bulan kemudian, pada 12 November 2004, hasil otopsi dari kepolisian Belanda menemukan adanya senyawa arsenik dalam jumlah mematikan di dalam tubuh Munir.

Kasus Munir mungkin terasa lampau karena telah berlalu lebih dari dua dekade. Namun, tragedi ini menjadi pengingat bahwa bersuara lantang tak selalu berujung terang. “September Hitam” yang menimpa Munir merupakan simbol perjuangan mencari keadilan yang belum usai hingga hari ini.

Mungkin raganya tak lagi di dunia, tetapi semangat perjuangannya telah membekas di hati masyarakat melalui gerakan sipil yang terus menuntut keadilan.