Dua puluh satu tahun sudah Munir diracun dalam penerbangan menuju Belanda. Waktu yang cukup panjang untuk sebuah bangsa menemukan kebenaran, tetapi juga cukup panjang untuk menunjukkan betapa negara lebih memilih menunda, menghindar, bahkan melupakan. Munir bukan hanya korban, ia adalah cermin yang menyingkap wajah asli republik ini: sebuah negara yang selalu gagap ketika berhadapan dengan keberanian warganya.
Kita tahu, sejak awal kasus ini penuh kejanggalan. Pollycarpus hanya menjadi pion yang dipajang di depan publik. Pengadilan berhenti pada nama itu, seolah kematian Munir hanyalah urusan seorang pilot nyasar. Padahal Komisi Independen Pencari Fakta sudah menyebut dugaan keterlibatan sejumlah pihak. Laporan itu ada, tapi diperlakukan seperti arsip kadaluarsa. Ia tidak pernah dihidupkan dalam proses hukum. Negara pura-pura lupa, sementara rakyat dipaksa percaya pada versi resmi yang compang-camping.
Setiap presiden berganti, janji menuntaskan kasus Munir selalu terdengar. Dari Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, hingga kini, yang tersisa hanya retorika. Tidak ada keberanian politik untuk menyingkap tabir aktor intelektual di balik pembunuhan itu. Dan justru di titik ini, kita melihat upaya sistematis melupakan: mural Munir dihapus, nama Munir dijauhkan dari ingatan ruang publik, seakan menghapus gambar sama dengan menutup sejarah.
Tapi memori publik berbeda dengan memori negara. Negara bisa abai, bisa amnesia, tapi masyarakat sipil terus mengingat. Setiap tahun, lilin dinyalakan, wajah Munir diarak, dan suaranya dihidupkan kembali. Ingatan kolektif itu adalah perlawanan terhadap lupa yang diproduksi negara. Namun sekuat apa pun rakyat mengingat, tanpa keberanian negara menegakkan hukum, kebenaran tetap tertahan di pintu sejarah.
Kegagalan menuntaskan kasus Munir bukan hanya soal menunda keadilan bagi satu orang. Ia adalah pelajaran pahit tentang bagaimana demokrasi bisa runtuh dalam diam. Negara yang tidak berani menghukum aparatnya sendiri adalah negara yang membiarkan impunitas merajalela. Dan impunitas adalah racun yang lebih berbahaya daripada arsenik yang merenggut nyawa Munir. Racun itu mengalir dalam darah demokrasi, membuatnya lemah, rapuh, dan kehilangan daya hidup.
Kebenaran memang tidak mati, tapi ia bisa dipinggirkan, diulur, atau ditahan. Negara melakukannya dengan sangat rapi. Dua puluh satu tahun berlalu, seolah waktu bisa menghapus tuntutan. Padahal yang dihapus hanyalah jejak tanggung jawab.
Mengapa kasus ini penting? Karena ia menjadi barometer: jika seorang pejuang HAM seperti Munir bisa dibunuh tanpa ada aktor intelektual yang tersentuh hukum, bagaimana nasib warga biasa yang bersuara? Apa arti kebebasan berbicara jika kritik bisa dibayar dengan kematian? Demokrasi kehilangan substansinya ketika kebenaran dikalahkan oleh kalkulasi kekuasaan.
Dua puluh satu tahun kita mengingat Munir, dua puluh satu tahun pula negara berusaha melupakan. Dalam benturan ingatan itu, kita melihat arah bangsa ini: apakah ia memilih berdiri di sisi kebenaran, atau terus nyaman menutupi kejahatan. Mengingat Munir berarti menolak lupa, tetapi lebih dari itu, ia adalah upaya menjaga agar demokrasi tidak mati perlahan di tangan mereka yang takut pada kebenaran.
Dua puluh satu tahun setelah Munir dibunuh, negara masih gagal menyingkap aktor intelektual di balik kejahatan itu. Kasusnya menjadi cermin betapa demokrasi Indonesia rapuh ketika berhadapan dengan kebenaran. Negara memilih amnesia, sementara rakyat terus mengingat. Dalam benturan antara ingatan publik dan lupa yang diproduksi kekuasaan, kita belajar bahwa keadilan tidak akan datang dengan sendirinya. Mengingat Munir berarti menjaga demokrasi tetap hidup, sebab melupakannya sama saja menyerahkan kemenangan pada ketidakadilan.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Budaya Kekerasan Aparat dan Demokrasi yang Terluka
-
Slank Kritis di Panggung Pestapora 2025, Jabatan Komisaris Hingga Lagu Soal Polisi Disinggung Lagi
-
Demo Ricuh Berujung Maut, Prabowo Tuding Ada Makar, Kinerja Intelijen Dipertanyakan
-
15 Negara dengan Gaji Anggota DPR Tertinggi, Indonesia Termasuk?
-
Demokrasi Bukan Sekadar Kotak Suara, Tapi Nafas Kehidupan Bangsa
Kolom
-
Budaya Kekerasan Aparat dan Demokrasi yang Terluka
-
Evil Does Not Exist, Menelanjangi Judul Film yang Terasa Gugatan Hamaguchi
-
Deadline Tuntutan 17+8 Sudah Lewat: Para Karyawan Lagi-lagi Tak Ada Niat!
-
Narasi Damai ala Influencer: Cara Komunikasi Pemerintah yang Hilang Arah
-
Kesejahteraan Guru Terancam? Menag Bilang 'Cari Uang, Jangan Jadi Guru!'
Terkini
-
4 Rekomendasi Toner Lokal Vitamin C untuk Wajah Cerah dan Glowing
-
Netflix Siap Tayangkan Anime Baki-Dou Tahun 2026, Ini Teaser Perdananya
-
Max Verstappen Tak Terbendung, Red Bull Kembali Juara di GP Italia 2025
-
Rekap Wakil ASEAN di Matchday 2 Kualifikasi AFC U-23: 3 Tim Sukses Puncaki Klasemen
-
Mengenal Culling Game di Seri Jujutsu Kaisen, Permainan Brutal oleh Kenjaku