Hanya berselang beberapa minggu, api kemarahan yang sama membakar dua ibu kota di Asia. Pada akhir Agustus 2025, jalanan Jakarta lumpuh oleh amuk massa. Awal September, giliran Kathmandu yang luluh lantak hingga pemerintahannya runtuh total.
Sekilas, Indonesia dan Nepal adalah dua dunia yang berbeda. Namun, jika kita melihat lebih dekat pada puing-puing yang ditinggalkan, penyebab ledakan sosial di kedua negara ini ternyata sangat mirip. Kerusuhan di Jakarta adalah gema dari apa yang terjadi di Nepal, dan sebaliknya. Keduanya adalah cerminan dari bom waktu yang sama, yang dipicu oleh tiga bahan peledak yang identik.
Bahan Peledak #1: Perut Lapar vs. Kantong Pejabat
Di kedua negara, rakyat sedang berjuang. Di Indonesia, gelombang PHK, upah stagnan, dan kenaikan pajak mencekik kehidupan sehari-hari. Di tengah kesulitan itu, para wakil rakyat di DPR justru tanpa rasa malu menyetujui kenaikan tunjangan perumahan mewah untuk diri mereka sendiri.
Di Nepal, ceritanya serupa. Jutaan anak muda menganggur dan terpaksa menjadi pekerja migran di luar negeri untuk menyambung hidup. Sementara itu, di media sosial, fenomena "Nepo Kids" menjadi viral: video anak-anak pejabat memamerkan mobil sport, pesta, dan liburan mahal yang dibiayai dari uang rakyat.
Persamaannya Jelas: Di kedua negara, kemarahan publik meledak ketika kesenjangan antara penderitaan rakyat dan kemewahan elite dipertontonkan secara telanjang. Arogansi ekonomi ini adalah bahan bakar utama yang membuat jutaan orang merasa dikhianati.
Bahan Peledak #2: Negara yang Serakah Menjadi Negara yang Kejam
Kemarahan atas ketidakadilan ekonomi adalah sumbu yang panjang. Namun, yang membuatnya meledak adalah tindakan negara yang dianggap sewenang-wenang dan brutal.
Di Indonesia, titik ledaknya adalah kematian Affan Kurniawan. Seorang pengemudi ojek online berusia 21 tahun yang tewas dilindas kendaraan taktis Brimob.12 Video kejadian itu menyebar cepat, mengubah protes soal tunjangan menjadi pemberontakan melawan negara yang dianggap tidak hanya serakah, tetapi juga pembunuh.
Di Nepal, percikannya adalah larangan total terhadap 26 platform media sosial. Bagi Generasi Z yang hidup di dunia digital, ini bukan sekadar aturan, melainkan serangan langsung terhadap kebebasan berekspresi, ruang sosial, bahkan mata pencaharian mereka.17 Negara yang korup kini juga dianggap otoriter.
Persamaannya Tajam: Di kedua negara, protes massa berubah menjadi kerusuhan hebat ketika negara menunjukkan wajah arogansinya—baik melalui kekerasan fisik maupun pembungkaman digital. Tindakan ini melintasi batas moral dan melegitimasi kemarahan yang lebih besar di mata publik.
Bahan Peledak #3: Generasi Muda yang Turun Tangan
Siapa yang berada di garis depan? Anak-anak muda. Di Jakarta, mahasiswa dan pengemudi ojol menjadi motor penggerak. Di Kathmandu, gerakan ini secara eksplisit disebut "Pemberontakan Gen Z".
Mereka sama-sama fasih menggunakan teknologi digital sebagai senjata. Di Indonesia, video kematian Affan menjadi alat mobilisasi. Di Nepal, media sosial dipakai untuk membongkar korupsi "Nepo Kids", dan ketika diblokir, mereka menggunakan VPN untuk mengorganisir perlawanan.
Persamaannya Mengerikan: Generasi muda di kedua negara merasa tidak punya masa depan di bawah sistem yang ada. Mereka tidak lagi percaya pada elite politik lama dan memutuskan untuk mengambil alih jalanan. Mereka adalah generasi yang menolak untuk diam.
Hasil Akhir yang Berbeda, Peringatan yang Sama
Di sinilah letak perbedaannya. Di Indonesia, negara berhasil bertahan. Pemerintah menggabungkan represi dengan konsesi cerdas, membatalkan tunjangan dan berjanji mengusut tuntas kematian Affan, untuk meredam amarah. Institusi negara, meskipun bobrok, terbukti cukup kuat untuk tidak runtuh.
Di Nepal, negara hancur lebur. Pemerintahannya kolaps, para pemimpinnya kabur, dan militer terpaksa mengambil alih kekosongan kekuasaan. Institusi mereka terlalu rapuh untuk menahan gelombang kemarahan generasi baru.
Namun, peringatannya tetap sama untuk Indonesia: Api di Jakarta dan Kathmandu berasal dari bahan bakar yang sama. Indonesia mungkin selamat kali ini, tetapi bom waktu itu belum sepenuhnya dijinakkan. Jika kesenjangan, korupsi, dan arogansi negara terus dibiarkan, cermin retak Nepal bisa menjadi potret masa depan kita.
Baca Juga
Artikel Terkait
News
-
Rumah Ludes Dijarah, Eko Patrio Kini Ngontrak dan Bantah Kabur ke Luar Negeri
-
Profil Komjen Dedi Prasetyo: Jenderal Profesor Calon Kuat Kapolri Pilihan Prabowo?
-
Dengar Keluhan Pengungsi Banjir Bali, Gibran Tegaskan Rumah dan Fasum Rusak Akan Dibangun Ulang
-
Ijazah Gibran Digugat Rp125 T, Jokowi Tunjuk 'Orang Besar' di Baliknya
-
Menguat di Bursa Calon Kapolri, Siapa Komjen Suyudi Ario Seto Pilihan Prabowo?
Terkini
-
Akhirnya, Gerald Vanenburg Setuju dengan STY Terkait Masalah Timnas U-23 yang Satu Ini! Sadar?
-
Vanenburg Out? 2 Alasan Krusial PSSI Harus Evaluasi Pelatih Timnas Indonesia U-23!
-
Review Film Operation Hadal: Aksi Militer Tiongkok yang Penuh Adrenalin!
-
Erika Carlina Pilih Biayai Hidup Anak Sendirian, DJ Panda ke Mana?
-
4 Toner Kakao Kaya Antioksidan untuk Jaga Elastisitas Kulit dan Cegah Kerutan