Hayuning Ratri Hapsari | Tika Maya Sari
Area Persawahan di Kecamatan Ngantru, Tulungagung (Doc. Pribadi/Tika Maya)
Tika Maya Sari

"Nduk, mari sini nderek sarapan.”

Aku mengangguk setuju pada seorang ibu yang menawari sarapan gratis. Menunya cukup sederhana. Nasi liwet yang masih mengepulkan asap, sayur lodeh berkuah merah, ikan asin, dan bothok.

“Ini bothok apa, Bu?” tanyaku penasaran. Sejauh yang kutahu, bothok selalu melibatkan kelapa parut.

“Itu gerih (ikan asin) yang dibothok dengan parutan mangga. Malas beli kelapa, jadi pakai mangga dari pekarangan sendiri.”

Aku mengangguk paham. Beralaskan rantang stainless steel, kunikmati sajian makanan dengan ketenangan yang membuncah. Berbaur dengan para petani yang tengah sarapan, sambil mendengarkan obrolan mereka seputar sawah dan hasil panen, hingga mengagumi lanskap pemandangan yang ciamik.

Sejauh mata memandang, hamparan padi menghijau bersamaan dengan burung-burung blekok beterbangan. Berlatar belakang pegunungan membiru, dan awan putih pada yang menghias langit cerah, lanskap ini terlalu mempesona untuk diabaikan.

“Harga pupuk sedang edan. Belum apa-apa sudah tekor duluan,” celetuk salah satu petani.

Seorang bapak berbaju partai turut menimpali, “Gembar-gembor dapat benih tokcer, yang ada malah ndak tumbuh sama sekali. Apes!”

Pernyataan beliau disambut gelak tawa para petani. Walau aku tahu, tawa itu bukanlah kebahagiaan. Tawa miris yang dijadikan guyonan, demi meningkatkan semangat hidup. Ironis.

“Kapan hari Lek Wagito menjual sawah warisannya,” ucap ibu berbaju merah pudar. “Kata orang-orang, yang membeli adalah pengembang perumahan.”

“Wah sayang. Kata bapakku dulu, kakek Lek Wagito adalah tuan tanah kaya pada masa kompeni. Eh, tanahnya malah dijual sama cucunya,” imbuh yang lain.

“Yah mau gimana lagi, istrinya kan sosialita.”

“Sosialita apa?! Orang dia dulu kerja di tempat remang-remang.”

Jujur, aku lebih tertarik mengamati lanskap alam yang menakjubkan ini ketimbang mendengarkan gosip tentang seorang bernama Lek Wagito.

Bukan hanya hamparan padi yang memesona, aku nyaris memetik dedaunan sembukan yang merambat pada tanaman singkong di dekat pematang sawah. Atau mengamati bunga telang berwarna biru, ungu, dan putih, yang turut merambati kalanjana alias rumput gajah beberapa meter di sebelahnya.

Hingga suara ringkikan kuda membuyarkan observasiku terhadap alam, dan memecah gosip tentang Lek Wagito.

Pasukan Berkuda datang! Ayo lari!” pekik seorang bapak berbaju partai kusam yang meraih cangkul dan bergegas lari. “Jangan sampai tertangkap!”

“Waduh, masih pagi sudah patroli?!” teriak ibu yang tadi semangat membahas tentang Lek Wagito.

“Jangan-jangan, ini suruhan Lek Wagito? Dia kan punya indra keenam. Jangan-jangan dia tahu kalau kita rasani (gosipkan)?”

“Ngawur! Lek Wagito mana berani nyuruh Pasukan Berkuda?!”

Acara piknik kami sontak buyar. Para petani berlarian ke segala penjuru arah. Ada yang berlari ke jalan kampung, ada yang berlari sepanjang pematang sawah, ada juga yang bersembunyi dengan cara tiarap di rimbun tanaman padi.

“Nduk, ayo lari. Jangan sampai kamu tertangkap sama mereka,” ajak seorang ibu yang tadi memberikanku makanan.

Tanpa ba bi bu lagi, kuangkat rok panjang dan berlari sekuat tenaga. Apesnya, aku sendiri tidak tahu dimana kakiku berpijak, atau tempat macam apa ini.

Kala aku menoleh sejenak, rasa panik kian meningkat saat pasukan berkuda itu semakin dekat. Mereka terdiri dari puluhan orang, sepertinya. Dan yang paling menonjol, adalah satu orang berbusana serba hitam, yang menunggangi kuda hitam. Dia seakan memimpin pasukan yang mayoritas berkuda cokelat, dan dari matanya, dia tampak bukan manusia.

“Lho, yang lain kemana?” gumamku panik. Aku tidak lagi menemukan para petani yang kabur bersamaku tadi. Mereka seolah lenyap. “Waduh!”

“Berhenti disana!”

Berhenti kepalamu!

Aku berlari makin kencang kala mendengar perintah untuk berhenti. Apalagi sewaktu mendengar hunusan pedang, dan pemandangan pedang yang berkilau terkena cahaya matahari di tangan si ‘pemimpin’ pasukan berkuda tadi. Kususuri pematang sawah demi terlepas dari jangkauan mereka. Namun, jarak diantara kami malah menyusut.

“Berhenti disana. Ayo bicara!”

Nggak mau. Mereka membawa pedang tajam!

Ingin rasanya marah saat rasa lelah menghampiri. Namun, saat aku menemukan sebuah pondok di sebalik pohon besar, otakku memberi instruksi untuk bersembunyi di sana.

Boleh dibilang, tempat ini mirip seperti rumah huni bergaya jadul. Fondasinya terbuat dari batu-batu besar, dengan tembok tebal mirip struktur bangunan jaman Belanda dulu. Lantainya memang plesteran semen, tapi tampak bersih dan terawat.

“Ini rumah siapa coba?” bisikku penasaran.

Namun, kala mendapati pasukan berkuda tadi berhenti di sekeliling pondok dari jendela kaca bening, aku segera menunduk. Sambil jalan jongkok, aku berusaha tidak menimbulkan suara.

“Dia sepertinya masuk kemari. Perlukah saya membawanya ke hadapan Anda?”

“Kalian semua berjaga disini.” Ada suara berat seorang laki-laki yang terdengar penuh perintah. Kuasumsikan, dia adalah si pemimpin pasukan yang sempat menghunuskan pedang tadi. “Aku yang akan masuk sendiri.”

Wah, sial!

Aku mencoba berjalan jinjit dan mencari tempat untuk bersembunyi di dalam bangunan ini. Meski ada banyak ruangan, entah kenapa aku justru masuk ke ruangan paling ujung lorong. Pintunya tampak paling kusam diantara pintu-pintu lainnya. Dan ketika berada di dalam sana, aku kembali terpukau.

“Wow!”

Hanya satu kata yang keluar dari mulutku sewaktu menyaksikan apa yang ada disitu. Sebuah ranjang besi bergaya jadul berkanopi, lengkap dengan seprai, sarung bantal, dan tirai berwarna putih. Disebelahnya, terdapat lemari kayu sederhana tanpa ukiran, dan sebuah kursi kayu berkaki bulat ala era 90-an. Ada juga lukisan pemandangan alam yang tertempel di dinding putih bersih ruangan ini.

Tidak ada aroma apek, atau pengap. Sepertinya ruangan ini terawat dan sering dibersihkan. Atau jangan-jangan tempat ini adalah tempat tinggal seseorang?

“Seprainya lembut,” kataku sembari mengelusi seprei. “Tidur enak kali ya?”

Sejenak aku lupa bahwa aku sedang bersembunyi dari sepasukan berkuda misterius. Dan fakta bahwa tempat tidur ini begitu nyaman, betulan tidak bisa disangkal.

Aku pun berbaring di atas tempat tidur dan merasakan seprei yang dingin. Rasanya begitu nyaman dan menenangkan, sampai suara langkah kaki membuatku menahan napas.

“Aku tahu, kau akan kesini.”

Terdengar suara berat laki-laki, bersamaan dengan pintu yang terbuka pelan. Menampilkan dirinya yang bertubuh tinggi tegap, dalam balutan pakaian serba hitam yang kontras dengan kulit putih bersihnya. Eksistensinya mirip seperti seorang meneer pada jaman kompeni. Bagiku, dia mirip dengan Sir Stamford Raffles dari buku pelajaran sejarah jaman sekolah.

“Dan aku tahu kau akan memilih ruangan ini.”

Aku memang panik, tapi rasa penasaran lebih dominan. Kuamati dirinya yang meletakkan pedang di sudut ruangan, kemudian memilih duduk di kursi kayu berkaki bulat. Ekspresinya datar, dan dia balik mengamatiku yang tercenung di atas tempat tidur.

“Bagaimana kabarmu?” tanyanya pelan.

Aku bingung. Apakah lelaki ini mengenalku? Karena sejauh ingatan di otak, aku belum pernah bertemu dengan orang ini.

Ketika hendak melontarkan pertanyaan balik, pundakku seperti ditepuk seseorang. Dan sebuah getaran membawaku kembali pada kesadaran bahwa aku tengah berbaring di atas tempat tidur, dan ibuku tampak berkacak pinggang.

“Ayo bangun, kita minum kopi sekarang.”