M. Reza Sulaiman
Nadiem Makarim ditetapkan sebagai tersangka. (ANTARA/Bayu Prasetyo)

Drama kasus korupsi Chromebook yang menjerat Nadiem Makarim ternyata belum selesai. Dari balik jeruji Rutan Salemba, mantan "Mas Menteri" ini melancarkan serangan balik hukum yang super total. Lewat tim pengacaranya, ia membeberkan tujuh "dosa" fatal yang diduga dilakukan oleh penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung).

"Dosa-dosa" inilah yang kini mereka bawa ke meja praperadilan, dengan satu tujuan: membuktikan bahwa penetapan tersangka terhadap Nadiem itu tidak sah dan cacat hukum!

'Serangan' Balik Dimulai: 7 Poin Krusial di Meja Praperadilan

Kuasa hukum Nadiem, Dodi S Abdulkadir, merinci satu per satu kejanggalan dalam proses penyidikan yang dilakukan Kejagung. Ini dia tujuh "peluru" yang mereka tembakkan:

1. Mana Bukti Kerugian Negaranya?

Ini "peluru" pertama dan paling telak. Menurut tim hukum, Kejagung menetapkan tersangka tanpa adanya hasil audit kerugian negara yang nyata (actual loss) dari BPK atau BPKP. "Padahal, audit ini menjadi syarat mutlak," kata Dodi.

2. Audit Sebelumnya Justru Bilang 'Aman'

Ironisnya, audit yang pernah dilakukan BPKP dan Inspektorat untuk program yang sama pada 2020-2022 justru tidak menemukan indikasi kerugian negara. Bahkan, Kemendikbudristek di era Nadiem selalu dapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

3. Langgar Putusan MK: Ditetapkan Tersangka Tanpa Diperiksa Dulu

Ini blunder fatal menurut mereka. Surat penetapan tersangka dan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dikeluarkan di hari yang sama, 4 September 2025. Artinya, Nadiem ditetapkan jadi tersangka tanpa pernah diperiksa terlebih dahulu sebagai calon tersangka, yang jelas-jelas melanggar putusan Mahkamah Konstitusi.

4. Nggak Pernah Terima SPDP (Surat Sakti Penyidikan)

Tim hukum mengklaim Nadiem tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Ini adalah pelanggaran KUHAP yang serius dan bisa membuka celah penyidikan yang sewenang-wenang.

5. Programnya Aja Nggak Ada, Kok Bisa Dikorupsi?

Nama program yang jadi dasar kasus, yaitu "Digitalisasi Pendidikan 2019-2022", menurut mereka tidak pernah ada dalam nomenklatur resmi Kemendikbudristek. Jadi, gimana bisa mengorupsi program yang "gaib"?

6. Salah Tulis Profesi: Menteri Kok Dibilang 'Karyawan Swasta'?

Ini blunder administrasi yang dianggap fatal. Dalam surat penetapan tersangka, profesi Nadiem ditulis sebagai 'karyawan swasta', padahal saat itu ia jelas-jelas menjabat sebagai menteri.

7. Penahanan yang Dianggap Tidak Sah

Terakhir, mereka menganggap penahanan Nadiem tidak perlu. Kenapa? Karena Nadiem dinilai kooperatif, sudah dicekal (jadi nggak bisa kabur), dan tidak lagi menjabat (jadi nggak mungkin menghilangkan barang bukti).

Kejagung Tetap Pede: "Alat Bukti Cukup"

Di sisi lain, Kejagung tetap pada pendiriannya. Mereka mengklaim sudah punya alat bukti yang cukup sebelum menetapkan Nadiem sebagai tersangka. Menurut mereka, Nadiem diduga memerintahkan pemilihan ChromeOS untuk program digitalisasi pendidikan.

Kini, pertarungan hukum yang sesungguhnya baru saja dimulai. Gugatan praperadilan ini akan menjadi "medan perang" pertama antara tim hukum Nadiem melawan kekuatan Kejaksaan Agung.

Apakah "tujuh dosa" ini cukup kuat untuk membatalkan status tersangka sang founder Gojek?