Janji pemerintah untuk menciptakan 19 juta lapangan kerja baru terdengar seperti angin segar bagi masyarakat yang masih berjuang di tengah ketimpangan ekonomi. Namun, di balik slogan yang menjanjikan itu, muncul pertanyaan yang semakin sering terdengar di ruang publik: apakah lapangan kerja tersebut benar-benar untuk masyarakat luas, atau justru hanya untuk kerabat dan lingkaran dekat kekuasaan?
Dalam beberapa tahun terakhir, praktik nepotisme dan oligarki dalam proses rekrutmen, birokrasi, hingga proyek-proyek pemerintah semakin mencolok. Bukan rahasia lagi bahwa jabatan atau posisi strategis sering kali diberikan bukan karena kompetensi, melainkan karena kedekatan personal atau politik. Fenomena ini tidak hanya menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga negara, tetapi juga mempersempit ruang bagi generasi muda berprestasi untuk berkontribusi.
Saya mengambil contoh atau fakta yang ada melalui Ayah saya sendiri yang memiliki usaha di bidang restoran atau rumah makan. Ayah saya, Herman (32), sudah lama berjualan di Cikarang
"Yang biasanya omzet penjualan harian seturun-turunnya tidak sampai segini," ujarnya.
Jadi setelah itu saya mencoba menganalisis data keuangan yang ada seperti laporan bulanan, pendapatan, dan pengeluaran. Ternyata benar, saya menemukan perubahan yang sangat signifikan, mungkin ini salah satu dampak dari perekonomian Indonesia yang sedang melemah.
Tak hanya di situ, saya juga melakukan wawancara dengan beberapa pengunjung rumah makan ayah saya guna menanyakan perihal sudut pandang orang lain terhadap ekonomi saat ini. Saya mendapat jawaban dari seorang pengunjung rumah makan yang merupakan salah satu pekerja di pabrik sebagai pegawai/buruh di Kawasan Pabrik Cikarang. Dia bilang kalau akhir-akhir ini gaji sering kali tidak tepat waktu di tanggal yang seharusnya sudah ditentukan. Selain itu, biaya pendidikan anak juga makin meninggi dari tahun ke tahun, juga cicilan rumah yang harus ditanggung oleh tiap individu yang memutuskan untuk mengambil KPR, belum lagi kalau ada cicilan motor/mobil dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Padahal gaji juga tidak naik, lain halnya dengan gaji para anggota dewan maupun pejabat pemerintahan yang gajinya bisa naik dan mendapat bonus serta tunjangan seenak jidatnya. Mungkin karena faktor itu akhirnya berdampak ke para pelaku usaha yang mana daya beli menurun dan berkurangnya demand masyarakat untuk jajan atau makan di luar. Mereka lebih memilih untuk belanja ke pasar dan memasaknya di rumah.
Niat Ayah saya dulu saat ingin membuka usaha adalah untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang layak bagi orang banyak. Namun, di situasi seperti saat ini, sudah tidak ada atau belum menemukan angin segar untuk meraihnya.
"Sekarang saja buat menggaji karyawan itu sudah pas-pasan banget sama omzet resto per bulan, jadi kita mengambil untung cuma sedikit, ya cukuplah buat hidup mah," ujar Ayah saya.
Ya, mungkin bukan hanya di sektor F&B saja yang merasakan seperti ini, melainkan di seluruh sektor usaha juga merasakan hal yang sama di mana daya beli masyarakat menurun sehingga berdampak ke seluruh para pelaku UMKM maupun perusahaan-perusahaan besar.
Nepotisme adalah bentuk nyata dari kemunduran etika dalam tata kelola negara. Ketika akses terhadap pekerjaan ditentukan oleh relasi, bukan kemampuan, maka meritokrasi kehilangan maknanya. Rakyat biasa yang tidak memiliki 'orang dalam' akan tetap berada di barisan pengangguran meski memiliki kualifikasi yang layak. Sementara itu, mereka yang memiliki koneksi politik dengan mudah melangkah ke posisi aman tanpa melalui proses seleksi yang transparan.
Oligarki memperparah keadaan. Ketika kebijakan ekonomi dan pembangunan dikendalikan oleh segelintir elite, maka orientasi kebijakan tidak lagi berpihak pada rakyat banyak, melainkan pada kepentingan kelompok tertentu. Dalam konteks lapangan kerja, hal ini terlihat dari distribusi proyek dan investasi yang sering kali berputar di lingkaran bisnis yang sama. Rakyat hanya menjadi penonton di negeri sendiri.
Pemerintah seharusnya memahami bahwa membangun kepercayaan publik jauh lebih penting daripada sekadar memproduksi angka dan janji politik. Lapangan kerja sejati bukan hanya tentang kuantitas, tetapi juga kualitas dan keadilan dalam distribusinya. Transparansi dalam proses rekrutmen, pengawasan publik, dan keberpihakan terhadap masyarakat kecil harus menjadi fondasi utama.
Bangsa ini tidak kekurangan talenta, tetapi terlalu sering menutup pintu bagi mereka yang tidak memiliki koneksi. Jika 19 juta lapangan kerja benar-benar ingin menjadi simbol kemajuan bangsa, maka harus dipastikan bahwa setiap posisi yang dibuka adalah kesempatan yang adil bagi semua warga negara, bukan hanya untuk kerabat terdekat penguasa.
Aneh rasanya jika di situasi saat ini kita hanya diam melihat keadaan negara tidak baik-baik saja. Rakyat kecil ditindas, tidak diperdulikan kesejahteraannya oleh para pihak berwenang yang sudah diberikan amanat untuk memimpin suatu wilayah/golongan tertentu. Para elite politik dan rezim yang berkuasa di atas sana merasa enak-enak saja karena mereka tidak merasakan kesusahan rakyat kecil. Tambang terus digali, alam terus dirusak demi keuntungan golongan tertentu, tetapi masyarakat tidak merasakan sedikit pun hasil dari proyek negara, melainkan hanya merasakan dampak buruknya saja: pencemaran lingkungan, air keruh akibat limbah, dan masih banyak lagi di desa-desa kecil sana.
Proyek MBG atau Makan Bergizi Gratis yang katanya akan membuka lowongan kerja untuk ribuan orang, bak delusi final di tengah huru-hara keracunan. Para anggota dewan mengambil jatah proyek dapur MBG yang mungkin saja niatnya hanyalah untuk mendapat cuan, bukan untuk memberikan gizi kepada anak-anak sekolah. Para pekerjanya digaji hanya puluhan ribu atau ratusan ribu per bulannya, alih-alih gratis nyatanya bayar-bayar juga dari uang pajak dan menghabiskan APBN sebesar 365 triliun.
Artikel Terkait
-
Gaji Content Specialist Bisa Tembus Rp17 Juta? Ini 5 Skill Wajib yang Harus Kamu Punya
-
843 Perusahaan Buka Lowongan di Program Magang Nasional Kemnaker
-
BPKH Buka Lowongan Kerja Asisten Manajer, Gajinya Capai Rp 10 Jutaan?
-
Jalani Kebijakan 'Koplaknomics', Ekonom Prediksi Indonesia Hadapi Ancaman Resesi dan Gejolak Sosial
-
LPS soal Indeks Situasi Saat Ini: Orang Miskin RI Mengelus Dada
News
-
Prabowo Siapkan 20 Ribu Pasukan Perdamaian untuk Gaza, Ini Alasannya!
-
Viral! Mobil Sri Sultan Disalip Rombongan Tut Tut Wok Wok di Lampu Merah, Pejabat atau Bukan Ya?
-
Tragedi Ponpes Al Khoziny: 5 Fakta Terbaru yang Bikin Nyesek
-
Nobel Perdamaian Dikasih ke Pendukung Genosida? 5 Dosa Pemenang Nobel 2025 yang Bikin Geger
-
Tayang di Noice! 'Film Gak Nikah Gapapa Kan?' Bakal Mengaduk-aduk Emosimu
Terkini
-
ANC 2025: SMAN 10 Bekasi Mendominasi Laga tapi Tersentak di Akhir
-
Di Balik Film Gadis dan Penatu: dari Ide Hingga Layar Festival
-
Rumah Tangga: Mengintip Kehangatan dan Kejujuran di Balik Pintu Keluarga
-
Generasi Muda dan Konser Musik: Bukan Sekadar Arena Hiburan, Tapi Tempat Refleksi Diri
-
Merinding! Igun Mimpi Dipeluk 'Hantu' di Kamar Mandi Sampai Baper, Eh Beneran Diikutin Sampai Rumah