Sekar Anindyah Lamase | Thedora Telaubun
Halim Kalla (Instagram/kadin.indonesia.official)
Thedora Telaubun

Nama Halim Kalla kembali mencuat sejak ia hadir di Bareskrim, Kamis (20/11/2025), untuk pemeriksaan lanjutan kasus dugaan korupsi proyek PLTU Kalbar 1. 

Dalam perkara ini, Kortas Tipidkor Polri menetapkan empat tersangka, dan salah satu nama yang paling menjadi sorotan adalah Halim Kalla, Presiden Direktur PT BRN.

Kehadirannya menarik perhatian bukan hanya karena statusnya sebagai adik Jusuf Kalla, tapi juga karena rekam jejaknya yang cukup panjang di dunia bisnis dan politik. 

Sosok pengusaha yang pernah merintis inovasi kendaraan listrik di Indonesia itu kini harus berhadapan dengan aparat penegak hukum. 

Halim lahir di Ujung Pandang pada 1957 dan menempuh pendidikan ekonomi di State University of New York, Buffalo. Ia membangun karier bisnis lewat Haka Group, konglomerasi keluarga yang bergerak di energi, konstruksi, properti, hingga otomotif. 

Dari sini, namanya masuk radar publik lewat beberapa proyek inovatif. Salah satu yang paling dikenang adalah keputusannya mengenalkan Digital Cinema System pada 2006, teknologi yang saat itu membawa perubahan besar dalam format pemutaran film di bioskop Indonesia.

Perjalanannya terus meluas ketika ia terjun ke ranah otomotif listrik. Lewat lini usaha Haka Auto, Halim mengenalkan beberapa model asli kendaraan listrik lokal seperti Smuth, Erolis, dan Trolis. 

Upaya ini membuat namanya sempat dianggap sebagai salah satu tokoh yang mencoba membawa industri hijau ke level yang lebih serius. 

Ketertarikannya pada sektor energi dan industri membuatnya masuk ke dunia politik. Ia terpilih sebagai anggota DPR periode 2009-2014, mewakili Sulawesi Selatan II, dan ditempatkan di komisi yang membidangi energi dan riset.

Namun perjalanan itu berubah arah ketika penyidik menetapkannya sebagai tersangka dalam dugaan korupsi proyek PLTU Kalbar 1. 

"Sebagian besar kondisi bangunan dan peralatan terbengkalai, rusak, dan berkarat. Total kerugian keuangan negara dengan kurs sekarang mencapai Rp1,35 triliun," beber Cahyono, dikutip dari Suara.com pada Kamis (20/11/2025). 

Atas tindakan yang diduga merugikan keuangan negara tersebut, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS