Hayuning Ratri Hapsari | Mira Fitdyati
Tangkap layar Ferry Irwandi (YouTube/Ferry Irwandi)
Mira Fitdyati

Banjir dan longsor yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh dalam beberapa waktu terakhir meninggalkan duka yang mendalam.

Di tengah puluhan ribu warga yang terdampak, muncul kegelisahan baru yaitu mengapa pemerintah belum menetapkan peristiwa ini sebagai bencana nasional?

Melalui video di kanal YouTube Ferry Irwandi pada Sabtu (29/11/2025), Ferry Irwandi buka suara mengenai penetapan bencana nasional bukan hanya soal penanggulangan. Namun, menyangkut rasa keadilan masyarakat Sumatera yang selama ini terasa terabaikan.

Ferry menilai bahwa apa yang terjadi di Sumatera sudah semestinya berstatus sebagai bencana nasional. Baginya, langkah tersebut masuk akal dan menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan penanganan cepat dari pemerintah pusat.

“Kalau menurut opini gua pribadi, harus dan itu adalah pilihan yang masuk akal,” ujar Ferry.

Ia menekankan bahwa keresahan masyarakat bukan sekadar akibat bencana yang mereka hadapi saat ini. Rasa kecewa itu sudah mengendap lama, bahkan terasa seperti ketidakadilan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

“Ini lebih dari sekadar penanggulangan bencana, Bapak Ibu semua. Ini ada kemarahan, ada rasa ketidakadilan yang terpelihara secara sengaja maupun tidak sengaja berpuluh-puluh tahun oleh masyarakat-masyarakat yang besar, hidup, mencari makan, berkeluarga, dan meninggal di Pulau Sumatera,” kata Ferry.

Kondisi itu juga membuat banyak warganet bertanya-tanya, apakah Sumatera masih menjadi bagian dari Indonesia?

Sebagai orang yang lahir dan besar di Sumatera, Ferry mengungkapkan bahwa Indonesia tidak seharusnya difokuskan hanya pada Pulau Jawa. Menurutnya, mereka yang tumbuh di luar Jawa pasti memahami perasaan diabaikan yang sering muncul.

“Suka atau tidak, setuju atau tidak, teman-teman, perasaan itu ada. Gue bisa confirm karena gue orang Sumatera tulen,” tutur Ferry.

Ia menggambarkan ketimpangan itu dengan jelas pada akses pendidikan yang sulit, transportasi terbatas, fasilitas umum yang tidak merata, semuanya menjadi kontras jika dibandingkan dengan apa yang tersedia di Jawa.

“Kita melihat bagaimana disparitas itu nyata, bagaimana akses pendidikan itu sulit, transportasi sulit, fasilitas umum sulit, sementara kita lihat di Jawa orang hidup dengan segala gemerlap dan kelengkapan,” ujar Ferry.

Ferry berharap Presiden Prabowo Subianto bisa melihat realitas sosial tersebut secara lebih luas. Menurutnya, penetapan bencana nasional bukan semata soal status, tetapi juga pengakuan bahwa masyarakat Sumatera layak mendapat respons cepat dan perhatian menyeluruh.

Ketika bencana nasional ditetapkan, pemerintah pusat otomatis mengambil alih penanganan, lengkap dengan kewenangan dan fleksibilitas yang lebih besar.

Ferry mengakui bahwa pemerintah tentu memiliki sejumlah pertimbangan sebelum menetapkan status bencana nasional. Ada urusan fiskal, anggaran darurat, hingga penyesuaian program prioritas yang harus dihitung ulang.

“Salah satunya syok di ruang fiskal kita. Kedua, budget safety. Ketiga program prioritas. Ini semua harus berubah karena bencana nasional tadi dan mungkin itu yang menjadi pertimbangan pemerintah,” kata Ferry.

Meski begitu, menurut Ferry, keselamatan warga jauh lebih penting dibandingkan kekhawatiran administratif yang tidak pernah selesai.

Ia juga membantah anggapan bahwa status bencana nasional dapat membuat investor kabur. Dari pola global tahun 2025, justru investor akan lebih percaya pada negara yang mampu merespons warganya dengan cepat dan penuh empati.

“Investor akan selalu percaya dengan pemerintah yang dicintai rakyatnya dan dipercaya rakyatnya,” tutur Ferry.

Ferry berharap pemerintah dapat mendengar jeritan masyarakat Sumatera yang sedang menghadapi masa sulit. Penetapan bencana nasional, menurutnya, tanda bahwa negara hadir dan memandang semua wilayah dengan nilai yang sama.

Di tengah bencana, rasa keadilan dan perlindungan adalah hal yang paling dibutuhkan oleh mereka yang kehilangan segalanya.