M. Reza Sulaiman | Adinda Putri
Momen bermain congklak bersama Komunitas Bermain Yogyakarta. (foto: Mareas Antuwikso Pradipto).
Adinda Putri

Permainan tradisional di masa kini yang serba digital mungkin kurang populer, khususnya bagi Gen Z, jika dibandingkan dengan beragamnya permainan berbasis aplikasi online di ponsel pintar.

Generasi Z adalah kelompok yang tumbuh di era digital, terbiasa untuk multitasking, hingga sangat dekat dengan media sosial. Namun, semakin tinggi intensitas penggunaan gawai, semakin besar pula potensi kejenuhan (burnout) digital.

Berdasarkan data hasil survei perusahaan riset dan analisis global, YouGov, sebanyak 81% masyarakat Indonesia aktif di media sosial, yang didominasi oleh Gen Z. Akibatnya, muncul fenomena seperti cemas, cepat lelah secara mental, sulit fokus, dan merasa tidak “cukup produktif.”

Di tengah siklus kejenuhan digital, Yogyakarta, dengan suasana kotanya yang hangat, memiliki beragam komunitas yang menjadi tempat anak muda, pekerja, hingga warga lokal untuk berbagi cerita bersama. Salah satu komunitas tersebut adalah Komunitas Bermain Yogyakarta (KBY), yang menjadi sebuah wadah bagi Generasi Z untuk “rehat” atau mengistirahatkan diri sejenak dari aktivitas digital dan mengurangi ketergantungan pada layar.

“Aku merasakan kejenuhan digital karena di rumah aku selalu bermain smartphone terus sampai bingung mau membuka media sosial apa lagi,” ujar salah satu anggota, Rahmi Nisrina.

Komunitas ini awalnya dibentuk pada 4 Agustus 2024 di Jakarta. Kemudian, Komunitas Bermain melakukan ekspansi, salah satunya di Yogyakarta. Bermula dari hanya bermain permainan tradisional di Gelora Bung Karno (GBK), aktivitas tersebut menjadi ramai diperbincangkan di media sosial dan kini diikuti lebih dari 1.500 anggota di cabang Yogyakarta, yang kebanyakan adalah mahasiswa perantau.

“Komunitas bermain ini tidak memandang usia. Terkadang ada ibu-ibu atau anak-anak yang juga ikut bermain, namun didominasi oleh Gen Z, dan banyaknya perantau,” ungkap Deandra Fajri, atau yang akrab disapa Dean, selaku Ketua Kelas Komunitas Bermain Yogyakarta.

Dalam Komunitas Bermain Yogyakarta, terdapat struktur, yaitu Dean sebagai Ketua Kelas dan Dinda sebagai Wakil Ketua Kelas. Dean dan Dinda, bersama pengurus lainnya, mengoordinasi aktivitas bermain komunitas yang diselenggarakan setiap hari Minggu di Alun-Alun Kidul, mulai pukul 15.00 hingga 20.00.

Bagi Wakil Ketua Kelas, Dinda Alifah, makna “bermain” pada komunitas ini adalah melakukan permainan tradisional secara bersama-sama dengan tujuan mengajak masyarakat untuk ikut serta, khususnya Gen Z yang selalu berfokus pada ponsel pintar mereka.

“Karena kita kan memainkan permainan tradisional, dan niatnya itu untuk mengajak masyarakat, khususnya kalangan Gen Z yang lebih berfokus pada smartphone mereka dan selalu berada di dalam kamar. Jadi, tujuan kita itu untuk mengajak mereka bermain,” ujarnya.

Permainan seperti gobak sodor, lompat karet, tarik tambang, bekel, dan congklak memberikan pengalaman yang terjadi secara langsung dan membuat anggota terlepas dari dunia maya. Kegiatan bermain dilakukan tanpa adanya distraksi notifikasi dari ponsel pintar dan menciptakan kebersamaan melalui tubuh yang bergerak, tawa, serta interaksi langsung antaranggota.

Di samping pengalaman bermain yang membentuk sosialisasi secara penuh dan menciptakan interaksi langsung, Rahmi menyatakan bahwa permainan tradisional juga mampu mengurangi tekanan dari dunia digital.

“Melalui komunitas ini, cukup membantu mengurangi tekanan dari aktivitas online karena kita berinteraksi secara langsung dengan banyak orang dan bisa lepas dari smartphone,” ungkap Rahmi.

Kehadiran Komunitas Bermain Yogyakarta menunjukkan bahwa kebutuhan untuk "rehat" dari tekanan dunia digital adalah sesuatu yang nyata dirasakan oleh generasi muda. Permainan tradisional bukan sekadar nostalgia, melainkan jembatan untuk menghadirkan jeda dan kebersamaan di tengah kehidupan yang serba digital.

Baca Juga