M. Reza Sulaiman | Mareas Antuwikso Pradipto
Ada berbagai permainan yang dilakukan di saat kegiatan KBY berlangsung, termasuk yeye (lompat tali karet) dan Dakon. Berbagai ekspresi tertangkap di saat mereka sedang memainkan permainan tradisional. (foto: Mareas Antuwikso Pradipto)
Mareas Antuwikso Pradipto

Di bawah langit senja Yogyakarta, puluhan anak muda berlarian di lapangan rumput Stadion Maguwoharjo. Ponsel mereka ditumpuk rapi di bawah pohon, sementara teriakan riang pecah saat permainan bentengan berlangsung penuh keringat. Di sudut lain, ada yang asyik melompat karet, memindahkan biji congklak, atau saling menghadang dalam permainan engklek.

Mereka adalah bagian dari Komunitas Bermain Yogyakarta (KBY), sekelompok anak muda yang memilih debu lapangan dan peluh di dahi daripada scroll tanpa akhir di layar gawai. Di tangan mereka, permainan tradisional bukan hanya nostalgia, tetapi ruang hidup yang membuat kenangan lama terasa dekat kembali.

Fenomena ini lahir dari keresahan akan Gen Z yang makin tenggelam di dunia maya. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat bahwa generasi kelahiran 1997–2012 mendominasi 23,49% pengguna internet nasional, angka yang membuat interaksi tatap muka perlahan menghilang.

“Niatnya itu untuk mengajak teman-teman, khususnya Gen Z, yang sekarang fokusnya lebih ke handphone. Seringnya di kamar, kurang relasi. Jadi, tujuan kita itu mengajak teman-teman untuk bermain,” ujar Dinda Alifa Nur Fatimah, Wakil Ketua KBY.

Jeda dari Dunia Digital, Kembali ke Akar Budaya

Komunitas Bermain Yogyakarta (KBY) pada dasarnya merupakan gerakan pelestarian permainan tradisional yang mulai terpinggirkan. Di komunitas ini, engklek, petak umpet, dakon, bentengan, hingga yeye kembali hidup. Setiap Minggu sore hingga malam, lapangan-lapangan terbuka berubah menjadi ruang kebersamaan.

Rotasi permainan mingguan sengaja dibuat agar peserta tidak pernah merasa jenuh, mulai dari permainan yang menguras tenaga seperti bentengan, hingga yang lebih santai seperti congklak. Ritme ini menjadi jeda yang dibutuhkan Gen Z dari rutinitas Senin–Jumat yang penuh layar dan notifikasi. Dari yang awalnya hanya diikuti 10–15 orang, jumlah peserta pernah mencapai 150 orang setelah salah satu konten TikTok mereka viral.

Deandra Fajri Danar Putra, sang ketua, bersama Dinda Alifa Nurfatimah menjadi tulang punggung berjalannya KBY. Anggotanya pun beragam, mulai dari Arofi, seorang penjual ikan, hingga mahasiswa dan pekerja muda yang mencari ruang untuk berinteraksi tanpa tekanan dunia digital.

“Tanggapannya, saya melihat komunitas bermain itu menarik banget karena bisa menambah wawasan, teman, dan jadi wadah nostalgia masa kecil juga,” ujar Dinda.

Obat untuk Isolasi Sosial di Era Layar

Di balik tawa dan peluh, KBY sebenarnya lahir dari kegelisahan atas kondisi sosial Gen Z saat ini: terlalu lama terkurung di kamar, dibanjiri notifikasi tanpa henti, dan relasi yang makin renggang.

Nostalgia menjadi senjata utamanya. Permainan tradisional bukan hanya hiburan, tetapi semacam kapsul waktu yang mengembalikan rasa bangga terhadap warisan budaya. Gobak sodor yang mengasah kelincahan atau congklak yang menuntut strategi menjadi pengalaman penting bagi generasi yang tumbuh di tengah algoritma serba cepat.

Bagi Gen Z, KBY mengisi ruang emosional yang sering kali kosong. “Penting, sih, kalau menurutku. Di KBY itu kan banyak orang. Bisa menambah relasi, pengalaman, dan cerita,” ujar Arofi. Ia menegaskan bahwa relasi yang lahir dari tatap muka punya nilai yang tidak bisa digantikan oleh swipe Tinder atau like di Instagram.

Dampaknya terasa nyata pada kemampuan bersosialisasi. Arofi mengaku mengalami perubahan besar. “Jadi lebih tidak terlalu kaku. Mau mengobrol dengan siapa saja jadi lebih leluasa,” tuturnya.

Pengurangan penggunaan gawai juga terlihat jelas. Retno Kumala, ibu dari Arofi, mengizinkan anaknya ikut KBY “biar tidak sering main HP dan bisa punya banyak teman.” Ia bercerita bahwa durasi main ponsel anaknya yang sebelumnya bisa 5–6 jam kini “berkurang banyak.”

Di ujung lapangan yang mulai berdebu, KBY bukan sekadar nostalgia yang diam di tempat, tetapi gerakan hidup yang mengajak Gen Z Yogyakarta menurunkan gawai, merengkuh kembali lompat karet, dan menjaga congklak sebagai warisan untuk anak cucu. Di tengah derasnya dunia digital, komunitas ini membangun kebersamaan yang terasa lebih abadi dan manusiawi.

Baca Juga