Pagi di pesisir selalu dimulai dengan bunyi yang sama: debur ombak kecil yang memukul lambung perahu kayu, disusul decit tali tambat yang menegang. Di antara cahaya matahari yang baru bangkit, tampak seorang lelaki tua menuruni pasir dengan langkah pelan namun pasti. Wajahnya berkeriput seperti peta waktu, tangannya kasar dan menghitam oleh garam. Orang-orang memanggilnya Pak Tua bukan karena mereka lupa namanya, melainkan karena usia dan laut telah menyatu begitu lama dalam dirinya. Setiap pagi, ia berdiri sejenak menatap cakrawala, seolah membaca kalimat-kalimat tak kasatmata yang ditulis oleh angin di permukaan air.
Pak Tua telah melaut sejak remaja. Perahunya bukan lagi yang paling tegap; papan-papannya telah memudar dan bekas tambalan terlihat di beberapa sisi. Namun, baginya, perahu itu adalah rumah berjalan tempat ia belajar sabar, menimbang risiko, dan menghormati batas. Ia tidak pernah membawa alat canggih. “Laut itu bicara,” katanya suatu ketika sambil menunjuk garis ombak yang tampak tak seragam. “Kalau riaknya patah, angin akan berubah. Kalau burung-burung terbang rendah, jangan memaksa berangkat.” Pengetahuan itu bukan hasil sekolah, melainkan warisan yang disaring oleh puluhan tahun pengalaman.
Perubahan memang terasa. Dulu, pantai itu lebih lebar; anak-anak berlarian tanpa takut air menyentuh fondasi rumah. Kini, abrasi menggigit perlahan, memakan pasir seperti waktu menggerus ingatan. Hasil tangkapan berkurang. Musim yang dulu setia kini sering ingkar. Cuaca datang tanpa janji. Usia Pak Tua menua bersamaan dengan laut yang kian tak menentu. Namun, ia tidak menyebut dirinya korban. Ia menyebut dirinya seorang murid yang terus belajar, meskipun gurunya kerap kali menguji.
Di tengah keterbatasan, Pak Tua bertahan dengan cara-cara sederhana. Ia menyesuaikan jam melaut, memendekkan jarak, dan memilih alat tangkap yang lebih ramah. Ia menolak jaring rapat yang menyapu segalanya. “Kalau kita serakah hari ini, besok laut diam,” ujarnya pelan. Ia ikut menanam mangrove bersama warga bukan karena program, melainkan karena keyakinan. “Akar itu seperti jari-jari yang memeluk tanah,” katanya. Ia tahu, pelukan itu menahan ombak dan memberi tempat bagi ikan kecil untuk berlindung.
Yang paling mengesankan dari Pak Tua bukan hanya ketekunannya, melainkan kemauannya untuk berbagi. Ia duduk di tepi perahu, mengajari anak-anak muda membaca langit, merasakan arus lewat ujung kaki, dan mengenali bau hujan. Ia mengajarkan tentang jeda: kapan harus berangkat dan kapan harus pulang. Dalam dunia yang tergesa-gesa, pelajaran tentang berhenti sering kali lebih menyelamatkan. Ia juga mengajarkan untuk menghitung "cukup": membawa pulang seperlunya dan menyisakan untuk esok. Bagi Pak Tua, keberlanjutan bukanlah istilah besar, melainkan kebiasaan kecil yang diulang dengan setia.
Dari kisahnya, kita belajar bahwa solusi tidak selalu datang dari teknologi tinggi. Ada kearifan lokal yang tumbuh dari kedekatan, dari tubuh yang merasakan dinginnya air, dari mata yang membaca perubahan warna laut. Praktik sederhana seperti memilih alat tangkap yang selektif, menanam mangrove, berbagi pengetahuan lintas generasi, dan menghormati ritme alam adalah langkah nyata yang bisa ditiru. Pesisir mengajarkan kita bahwa bertahan hidup bukan soal menaklukkan, melainkan menyesuaikan diri tanpa kehilangan martabat.
Menjelang siang, Pak Tua menarik perahunya kembali. Tangkapannya tidak banyak, tetapi senyumnya tetap utuh. Ia mengelus papan perahu seolah mengucapkan terima kasih. Di keriput wajahnya, tersimpan cerita tentang kegagalan dan harapan yang berdamai. Pesisir, lewat dirinya, berbicara pelan namun tegas: dengarkan kami. Di sini ada pengetahuan yang lahir dari kesetiaan, ada harapan yang tumbuh dari kesabaran.
Jika kita mau belajar, pesisir bukan hanya garis rapuh di peta. Ia adalah ruang belajar tentang "cukup", tentang jeda, dan tentang merawat agar esok masih ada. Di antara keriput dan gelombang, Pak Tua terus membaca laut, mengajarkan kita untuk membaca diri sendiri.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Mangrove dan Manusia Pelajaran tentang Kesabaran yang Tak Instan
-
Perjuangan Masyarakat Sukomade: Berkawan dengan Alam Meski Minim Perhatian
-
Pesisir: Hidup di Ujung Negeri, Bertahan Tanpa Tepuk Tangan
-
Belajar dari Laut dan Masyarakat Pesisir: Bertahan, Beradaptasi, dan Menjaga Batas
-
Kegigihan Nelayan Pati di Balik Rasa dan Mutu Laut Terbaik
News
-
Kamu Hobi Healing? Jusuf Hamka Ingatkan Pentingnya Menabung untuk Masa Tua
-
Pererat Hubungan Interpersonal, Mahasiswa Psikologi UNJA Gelar Program LINK
-
Jejak Karbon Digital Tersembunyi di Balik Setiap Email yang Anda Kirim
-
Belajar dari Laut dan Masyarakat Pesisir: Bertahan, Beradaptasi, dan Menjaga Batas
-
4 Brightening Serum Rp40 Ribuan Ampuh Cerahkan Wajah Kusam dan Pudarkan PIH
Terkini
-
Paradoks Media Sosial: Semakin Terhubung, Semakin Merasa Kurang, Semakin Tertekan
-
Misteri Aroma Kembang Kantil yang Terus Mengikuti
-
Menjelang Petang, Bocah itu Melambai dan Tertawa ke Area Persawahan Sepi
-
Suara Cekikikan Perempuan dari Dahan Pohon Mahoni
-
Review Novel Companions of the Night: Petualangan Vampir Minus Lovey Dovey