Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ais Jauhara Fahira
Workshop Bermedia untuk Meneguhkan Keberagaman (Dokumentasi SEJUK 2021)

Aku dibesarkan dalam keluarga yang agamis dan pernah mengenyam pendidikan di sekolah berbasis Islam. Tapi tak satupun dari mereka mengajariku bagaimana menghargai perbedaan, "Pokoknya yang beda keyakinan sama kita itu masuk neraka! Segala perbuatan baik mereka itu sia-sia," adalah kalimat yang kerap aku dengar.

Ajaran tersebut mempengaruhi diriku dalam menyikapi perbedaan. Aku cenderung intoleran, bahkan tokoh publik berprestasi saja aku kutuk karena tak seiman. Bahkan, dahulu aku juga memandang buruk orang dengan homoseksual dan transgender. 

Empati kecilku bagai bayi baru lahir, kurawat dengan pengetahuan tentang keberagaman. Bermula dari keberagaman gender dan orientasi seksual hingga keberagaman kepercayaan. Kutemukan fakta, ternyata banyak agama minoritas mengalami diskriminasi terutama dalam membangun rumah ibadah.

Ditilik dari sejarahnya, banyak penganut kepercayaan dianggap tak memeluk agama yang diakui, lantas dipaksa pindah agama yang katanya sih diakui.

Kutemukan Ruang Aman untuk Keberagaman di SEJUK

Mulanya aku hanya membaca berbagai berita tentang rintangan menjadi kepercayaan minoritas. Hingga pada September 2021, aku benar-benar bertemu dengan mereka yang termarjinalkan.

Beruntung aku terpilih sebagai salah satu peserta workshop Bermedia untuk meneguhkan Keberagaman yang diadakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), yang diadakan di Padang.

Di sana saya mendengar cerita-cerita dari kawan yang terpaksa mengenakan jilbab, kesusahan membangun rumah ibadah, hingga dijauhi kawan sebab dianggap sesat. Mereka terdiri dari anggota pers mahasiswa, serta teman-teman komunitas Pemuda Lintas Agama Padang (Pelita Padang).

Keyakinan

Melihat kondisi yang damai nan sejuk meskipun kami berasal dari warna yang berbeda. Akhirnya aku ikut ambil suara dalam menyuarakan warnaku, bahwa diriku yang memiliki latar belakang keluarga agamis ini, memilih menjadi orang yang meragukan keyakinan (agnostik).

Tapi, jangan mengajak massa untuk menghajarku dulu, aku bukan tipe nabi yang mengajak orang menjadi tak memiliki keyakinan. Aku juga bukan orang yang menjelek-jelekkan agama orang lain di Twitter. Aku sedikit terkejut karena bisa diterima di sini, tak ada yang mempermasalahkan pilihanku. 

Etnis

Selain keyakinan, kami juga mendiskusikan masalah intoleransi terhadap etnis dan gender. Salah satu cerita yang kuingat adalah, bagaimana etnis Tionghoa dilabeli sebagai pendatang, sehingga kepentingannya cenderung dinomorduakan ketimbang orang asli daerah sini. Ini jadi mengingatkan pengalamanku semasa sekolah.

Aku gadis Jawa yang lahir di bumi Minang, di sekolah, orang Jawa di angkatanku hanya berdua orang. Aku ingin sekali akrab berbaur dengan teman-teman, tapi selalu diolok-olok saat mencoba menggunakan bahasa mereka. Akhirnya saya malas dan enggan menggunakan bahasa tersebut.

Gender

Terakhir, keberagaman gender. Bisa dibilang cukup mengecewakan, karena tak hanya didiskriminasi secara sosial. Secara tertulis beberapa perguruan tinggi di sini, melarang mahasiswanya terlibat atau menjadi kelompok LGBT (lesbian, gay, bisexual, transgender). Jika melanggar surat perjanjian, konsekuensinya adalah drop out.

Aku bingung, bagaimana pula caranya mengidentifikasi orientasi seksual seseorang? Dan mendiskriminasi hanya gara-gara tak mengikuti orientasi seksual mayoritas orang?

Beberapa orang yang saya kenali, menentang keras kelompok ini disebabkan, pembawa bencana, menyimpang dan pembawa penyakit menular seksual. Kalau benar pembawa bencana itu mereka, mana dong risetnya? Menyimpang? Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) saja sudah menghapus homoseksual dari gangguan jiwa.

Memang benar, risiko tinggi penyakit menular seksual itu ada pada salah satu orientasi seksual yang kalian anggap menyimpang. Justru itu, butuh edukasi seksual yang menjangkau kelompok ini untuk meminimalisir penyakit.

Karena penyakit menular seksual tak hanya menyerang orang homoseksual saja, orang heteroseksual yang kerap berganti pasangan tanpa kondom juga berisiko.

Refleksi

Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, yang saya simak dari sekolah dasar katanya disuruh menghormati perbedaan. Padahal, cuma sebatas mengetahui agama yang diakui, cuma sebatas mengenai beberapa suku, tanpa tahu apa akar masalah pertentangan identitas.

Tanpa tahu sulitnya memiliki identitas berbeda di tengah populasi dengan identitas yang sama. Menghormati dan toleransi cuma sebatas buku teks, malahan di rumah aku diajari membeda-bedakan, seakan identitasku paling istimewa, ironis.

Sekarang, bagaimana? Siapa bilang kita sudah berbeda-beda tapi tetap satu? Kita masih suka mengutuk yang tak seiman, mengabaikan yang tak sewarna, mengolok-olok yang dianggap berbeda, padahal mereka juga manusia yang memiliki hak dasar sebagai manusia.

"Kalau kita lihat kebun bunga, kebun bunga yang terdiri dari beragam warna tentu lebih indah daripada yang hanya satu warna," ujar Bante. Kalimat itulah yang selalu kuingat dari Bante Virya Paloh, salah satu biksu di Kota Padang yang saat itu aku wawancarai dalam rangkaian acara workshop tersebut.

Metafora kebun bunga itu yang selalu kuingat. Alangkah indahnya kebun bunga warna-warni kalau kita rawat bersama. Perbedaan warna bukan halangan untuk bersatu, Indonesia saja merdeka karena bersatu bukan bercerai. Sudahlah cukup bikin gaduh gara-gara perbedaan yang tak merugikan siapapun, mari curahkan energi kita untuk bersatu.

Ais Jauhara Fahira