Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Oktavia Ningrum
Ilustrasi diversity (Pexels.com)

Tepatnya di salah satu wilayah kecil Kabupaten Malang, tiga belas tahun yang lalu. Saat itu tahun 2009, saya baru menginjak bangku kelas 3 di sekolah dasar negeri yang terdekat dari rumah.

Di sebuah dusun RW/5, pertama kali saya melihat seorang teman yang berbeda, rambutnya keriting dan pendek, kulitnya eksotis, dan tidak bisa berbahasa Jawa. Dua anak perempuan bernama Fina dan Sandra.

Fina yang satu kelas dengan saya, saat itu dipandang asing oleh mayoritas teman sekelas. Saat salat jemaah zuhur, dia pun satu-satunya yang tak mengikuti di kelas itu.

Beberapa anak menyebutnya 'kafir' dalam niat bercanda. Tapi, bagi anak SD yang berusia 9 tahun, gampang sekali dibuat menangis. Fina menangis sesenggukan saat pulang ke rumah. Dan saat itu baru saya sadari rumahnya hanya sekitar 10 meter dari rumah saya. 

Selama beberapa bulan, saya hanya mengamati anak itu tanpa berani mendekat. Hingga suatu hari, ketika saya berjalan sendiri saat pulang sekolah, Fina mendekati saya dan mengajak pulang bersama.

Saya yang memang asli dari kampung tersebut tentulah mengetahui jalan pintas menuju ke rumah. Saat itu, kami bertiga pun berkenalan. Fina yang lebih tua setahun dari Sandra, juga ternyata masih ada satu anak lelaki yang duduk di bangku TK bernama Soni. 

Cukup aneh berbincang dalam Bahasa Indonesia yang biasanya hanya digunakan saat pelajaran. Baru saya ketahui saat itu, bahwa Fina adalah warga negara asing. Dia merupakan warga negara Timor Leste, yang pada saat itu saya kira masih menjadi bagian wilayah Papua. 

Saat itu, saya tidak tahu ada anjing besar yang menunggu di gudang kosong sebelah jembatan. Saya yang biasanya lari karena melihat anjing itu pun otomatis lari sekencang yang saya bisa sambil disoraki oleh gonggongan anjing hitam setinggi pinggang, namun dua anak itu malah berjalan santai seolah tak melihat apapun.

Saya yang menunggu di depan gang menatap dua anak yang cekikikan itu dengan tatapan kesal. Lalu mereka berdua memberi tips pada saya ketika melewati anjing. 

Dari sana, kami berteman lebih dekat. Setiap pulang sekolah, saya pergi ke rumah Fina dan Sandra untuk bermain. Kami sering kali membicarakan tentang perbedaan yang kentara di antara kami.

Tentang Fina yang beragama Katolik, yang ternyata berbeda dengan Kristen Protestan. Tentang ibadah mereka yang dilakukan di gereja, dan banyak hal lain yang kami bagi satu sama lain. 

Di hari Sabtu dan Minggu, terkadang saya harus menunggu di depan rumah Fina karena mereka sekeluarga pergi ke gereja. Sejak itu, saya merasakan sendiri bahwa punya teman yang beragam bukanlah sesuatu yang salah apalagi buruk.

Mereka orang yang baik, mau membagi makanan dan waktu mereka, dan tentunya tetap menghargai kepercayaan yang saya anut. Seiring waktu, teman Fina menjadi lebih banyak. Tidak ada lagi yang menyebutnya 'kembang kol' hanya karena rambut ikalnya.

Terkadang seorang anak merasa takut melihat sesuatu yang asing atau terlihat berbeda dari biasanya, namun ketika mau membuka diri, ketakutan akan perbedaan juga ikut lenyap seiring dari pemahaman yang masuk di otak seorang anak.

Ada kalanya kami saling mengejek, namun itu didominasi karena ketidaktahuan tentang suatu hal. Pada akhirnya, kami tetap bisa saling memahami satu sama lain tanpa merusak keyakinan yang kami anut masing-masing. 

Oktavia Ningrum