Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Hafsah Azzahra
Ilustrasi keberagaman suku, bahasa, dan agama (Pexels/Anastasia Shuraeva)

Keberagaman memang bukan hal baru yang terjadi di sekitar saya. Tidak hanya dalam keluarga, di tempat saya bekerja juga memiliki banyak perbedaan. Mulai dari perbedaan agama, hingga bahasa.

Selama ini, saya tidak pernah mempermasalahkan kedua hal ini, dan segala bentuk perbedaan yang ada di sekitar saya. Namun, ketika saya mulai masuk ke dunia kerja, keberagaman ini betul-betul terasa.

Di kantor, saya berada dalam lingkungan minoritas. Meski tinggal di Lombok, tetapi saya memiliki latar belakang keluarga yang berasal dari Jawa. Sehingga dalam keseharian, saya lebih akrab dengan Bahasa Jawa sebagai bahasa daerah, serta Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.

Sehingga, ketika mayoritas teman, bahkan bos dan menejer saya di kantor bercakap-cakap dengan Bahasa Bali, membuat saya benar-benar kewalahan untuk berbaur, beradaptasi, dan ikut berkomunikasi dengan mereka.

Meskipun, ketika mereka berbicara personal dengan saya, mereka tetap menggunakan Bahasa Indonesia, tetapi saya tetap terasa berbeda karena mayoritas bahasa yang digunakan di lingkungan kerja adalah Bahasa Bali.

Hal ini bukan tanpa alasan. Suku dan agama mayoritas di Lombok memang Sasak dan Bali. Sasak sebagai suku asli Pulau Lombok yang mayoritas beragama Islam. Sedangkan, pendatang dari pulau tetangga, yaitu Bali yang menetap di Lombok untuk bekerja maupun menikah, beragama Hindu.

Sehingga, bekerja di lingkungan dengan mayoritas masyarakatnya beragama Hindu dan Suku Bali, membuat saya berada dalam minoritas tidak hanya ketika berkomunikasi, tetapi juga dalam hal beragama.

Karena bos saya di kantor menganut Agama Hindu, di tempat tersebut tidak difasilitasi dengan mushola atau ruang khusus untuk shalat. Awalnya, saya menjadi was-was dan ragu akan hal ini.

Namun, karena saat wawancara beliau menunjukkan toleransi dan saling menghargai untuk kegiatan beribadah, saya menjadi tidak ragu untuk tetap bekerja. Hal ini terbukti ketika waktu shalat tiba, baik bos maupun manajer saya dengan leluasa mempersilakan para karyawannya yang muslim untuk beribadah.

Kebetulan, di dekat kantor juga ada masjid. Sehingga, kantor saya diapit oleh dua rumah ibadah agama besar yang ada di Indonesia, yaitu pura dan masjid. Melihat hal ini, saya merasa takjub akan indahnya keberagaman ini.

Meski berada dalam lingkungan minoritas, tetapi tidak ada perpecahan dan permusuhan di antara kami. Selama masih ada rasa saling menghargai dan tidak saling mengusik, kerukunan akan tetap terjaga.

Hafsah Azzahra