Menengok masa lalu Indonesia, tentang perjuangan seorang perempuan tangguh agar tercipta keadilan dan kesetaraan seluruh perempuan di Indonesia dengan laki-laki. “Ketidaksetaraan perempuan ini akibat dari dibatasinya akses perempuan untuk memperoleh pengetahuan, sehingga perempuan menjadi bodoh. Sehingga, satu-satunya cara adalah perempuan harus sekolah (R.A. Kartini, 1902).
Budaya patriarki tertanam dengan alasan klasik di mana laki-laki adalah superior dan perempuan adalah inferior harus segera dihapuskan. Untuk itulah, kesetaraan gender berhak didapatkan oleh setiap orang tanpa melihat golonganya, jenis kelaminnya dan setiap orang berhak memperoleh kesetaraan di setiap bidang kehidupan atas hidupnya.
Kesetaraan gender menjadi salah satu tujuan utama yang dicanangkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dengan persetujuan negara-negara yang tergabung dalam PBB dalam program Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2015.
Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki masih menjadi perhatian yang serius. Apabila dibandingkan dengan laki-laki, perempuan lebih sedikit memperoleh haknya secara penuh, belum lagi perempuan di Indonesia yang sangat rentang akan kasus kekerasan.
Berdasarkan catatan tahunan periode 2022 menyebutkan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGTP) tahun 2021 sebanyak 338.496 kasus (Komnas Perempuan, 2022a,2022b).
Mirisnya dari hasil survei Lentera Sintas Indonesia dan Magdalena menyatakan 93% penyintas kekerasan seksual tidak pernah melaporkan kasus mereka ke aparat penegak hukum (APH) karena alasan malu, takut disalahkan, tidak cukup bukti, tidak didukung keluarga, dan intimidasi dari pelaku (Asmarani, 2016).
Dalam sebuah penelitian dari dari 14 negara Asia Pasifik yang menganalisa terkait keamanan, kesehatan dan kesempatan untuk perempuan, mendapatkan hasil bahwa negara Indonesia dan negara Filipina sebagai negara dengan tingkat tinggi terkait bahaya keselamatan terhadap perempuan yang disebabkan budaya patriarki yang tertanam yang diperkuat dengan nilai budaya dan agama (Dedees, 2016).
Hal ini menggambarkan adanya ketimpangan kekuatan atau kuasa antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan nilai di masyarakat baik budaya, adat istiadat maupun agama.
Fenomena kekerasan pada perempuan akhir-akhir ini menjadi masalah yang menonjol. Pada dasarnya pemerintah Indonesia dan dunia Internasional sudah memiliki tingkat kesadaran tinggi atas isu ini.
Dalam UUD 1945 Pasal 28B ayat (1) sudah sangat jelas mengatakan perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Selain itu, kesetaraan gender menjadi tujuan kelima dalam momentum Sustainable Development Goals (SDGs) dengan target mengakhiri segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Tentunya dalam mewujudkan hal itu diperlukan sinergitas seluruh pihak dalam menentukan kebijakan.
Permasalahan kesetaraan gender khususnya bagi perempuan harus disikapi dengan serius. Permasalahan ini bisa diatas dengan prasyarat adanya peningkatan dan penguatan kesadaran masyarakat atas kesetaraan hak, penyebarluasan informasi tentang pemahaman kesetaraan hak dan kekerasan terhadap perempuan dalam segala bidang kehidupan dan yang terpenting adalah penguatan payung hukum serta regulasi tentang kesetaraan hak maupun kekerasan terhadap perempuan.
Permasalahan akan isu kesetaraan gender dapat direalisasikan dengan sinergitas seluruh pihak baik pemerintah sebagai regulator sekaligus eksekutor, lembaga pendidikan sebagai institusi yang memberikan informasi secara formal atau informal, mahasiswa sebagai agent of change dengan berbagai pemikiran yang kritis dan objektif harus mampu menyuarakan dan menggemakan isu kesetaraan gender pada masyarakat luas. Tak lupa tentunya peranan seluruh masyarakat Indonesia untuk semakin awareness atas isu kesetaraan gender.
Karena pada hakikatnya setiap makhluk memiliki hak yang sama, keadilan harus tercipta dalam seluruh tatanan kehidupan sosial masyarakat tanpa melihat jenis kelamin, adat istiadat, budaya dan lainnya. Negara kita adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi terlaksananya HAM (Hak Asasi Manusia) jangan biarkan suara dan partisipasi kita terbelenggu oleh budaya patriarki yang pada dasarnya harus segera dihapuskan.
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel 'Tari Bumi', Kehidupan Perempuan Bali di Tengah Tekanan Kasta
-
Psikologi Feminisme di Buku Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan
-
Review Buku 'Waktu untuk Tidak Menikah', Alasan Perempuan Harus Pilih Jalannya Sendiri
-
Beda Pendidikan Ridwan Kamil vs Suswono: Sama-sama Seksis Lewat Ucapan Janda, Panen Kritik Keras
-
Celetukan Ridwan Kamil Soal Janda Tuai Kecaman: Dinilai Lecehkan Perempuan
Rona
-
Tantangan Pandam Adiwastra Janaloka dalam Memasarkan Batik Nitik Yogyakarta
-
Mengenal Pegon, Kendaraan Tradisional Mirip Pedati yang Ada di Ambulu Jember
-
Fesyen Adaptif: Inovasi Inklusif di Dunia Mode untuk Penyandang Disabilitas
-
KILAS dan Edukasi G-3R di Cimenyan: Membangun Kesadaran Pengelolaan Sampah
-
Vera Utami: Pionir Inklusivitas Pakaian Adaptif bagi Penyandang Disabilitas
Terkini
-
3 Drama Korea yang Dibintangi Lim Ji Yeon di Netflix, Terbaru Ada The Tale of Lady Ok
-
Review Ticket to Paradise: Film Hollywood yang Syuting di Bali
-
Ulasan Novel Under the Influence Karya Kimberly Brown, Kisah Cinta dan Kesempatan Kedua
-
Ulasan Novel Binding 13, Kisah Cinta yang Perlahan Terungkap
-
Shin Tae-yong Panggil Trio Belanda ke AFF Cup 2024, Akankah Klub Pemain Berikan Izin?