Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Lena Weni
Mengayam Purun (Instagram/purunrudegeboldjuai)

Makin dekat dengan hari raya, nih! Artinya musim mudiknya kaum perantau udah di depan mata, ya! Mudik alias pulang ke kampung halaman adalah suatu momen yang selalu dinanti-nantikan oleh kaum perantau. Bagi sebagian kaum perantau yang punya keluarga besar, mudik adalah momen yang tak bisa tergantikan, lagi mengundang kerinduan. 

Satu momen yang kerap kali dirindukan oleh sebagian kaum perantau adalah bercengkrama bahkan tidur beralaskan tikar di satu ruang bersama sanak-saudara. Ngomong-ngomong soal tikar, ada satu daerah di Sumatera Selatan yang terkenal akan produksi tikarnya, lho.

BACA JUGA: Tayang Hari Ini di Bioskop, Ini 3 Alasan Film Buya Hamka Wajib Kamu Tonton

Ya, apalagi kalau bukan Desa Pedamaran, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Daerah yang dijuluki sebagai Kota Tikar ini adalah sentral produksi tikar purun. Tak hanya tikar, Pedamaran pun menghasilkan produk cinderamata seperti tas, dompet, sandal, topi, hingga tempat tisu berbahan baku purun, yakni sejenis rerumputan yang hidup di daerah rawa. 

Melansir laman parawisataindonesia.id (01/02/2023), mengayam tikar purun sudah menjadi kerajinan tangan masyarakat Pedamaran sejak masa kolonial Belanda atau tepatnya sekitar tahun 1870. Bahkan sebagian masyarakat menyakini kerajinan tikar purun sudah ada sejak jaman kerajaan. Dan hingga kini kerajinan tikar purun masih menjadi tradisi yang diwariskan turun temurun dari satu generasi ke generasi. 

Dalam pembuatannya dibutuhkan waktu selama beberapa hari. Proses penjemuran tumbuhan purun saja bisa selama 3 hingga 4 hari bila cuaca terik. Bila cuaca mendung, proses penjemuran bisa mencapai satu minggu. Setelah purun dijemur, purun harus dilemaskan dengan cara khusus. Yakni secara diinjak dengan posisi langkah kaki berjalan ke samping kiri dan kanan layaknya cara jalan kepiting.

Supaya purun lebih pipih dan lentur, proses penginjakan tadi dilanjutkan dengan proses penumbukkan menggunakan alat bantu yang disebut dengan antan atau alu, sejenis tongkat kayu memanjang yang beratnya bisa mencapai 5 kilogram lebih. 

Setelah purun lentur, para pengrajin akan lanjut ke proses pewarnaan, yang nantinya dari warna yang dihasilkan akan dijadikan pola indah sehingga meningkatkan nilai jual dari tikar purun itu sendiri. Proses pewarnaan ini dilakukan dengan cara merendam purun ke dalam air mendidih yang sebelumnya telah diberi pewarna pakaian atau tekstil. Proses perendaman tidak berlangsung lama, supaya purun tidak layu dan gampang rusak. 

Selanjutnya, purun akan diangin-anginkan di tempat yang tidak terpapar sinar matahari langsung. Setelah purun kembali kering, tibalah ke proses pengayaman. Proses ini dilakukan beramai oleh kaum perempuan di halaman rumah sambil melantunkan incang-incang, yakni sastra tutur pantun khas masyarakat Pedamaran. 

BACA JUGA: 4 Wisata Edukasi di Gedung Sate Bandung, Jangan Terlewat!

Menariknya, meski proses pembuatan tikar terbilang rumit. Masyarakat Pedamaran menjadikan kegiatan mengayam sebagai keahlian yang dikenalkan sejak usia dini, dan sampai sekarang tradisi ini tetap terjaga dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Rasanya bukan tanpa alasan ya, tradisi satu ini masih terjaga sampai kini. Sebab, selain mampu mencukupi kebutuhan alas di rumah. Dengan mengayam tikar purun, kaum perempuan mampu menghasilkan produk bernilai jual sehingga mampu menambah penghasilan untuk mencukupi kebutuhan. Gimana salut ya sama masyarakat Pedamaran! 

Lena Weni