Tren fast-fashion berkembang dengan pesat dan menghasilkan pakaian trendi dengan harga sangat murah. Tetapi pakaian lucu dan penuh warna tersebut menyimpan sisi gelap yang berbahaya bagi lingkungan karena berbahan dasar sintetis, menggunakan minyak bumi dan melepaskan mikroplastik ke lautan hampir 35 persen.
Fragmen-fragmen plastik kecil ini membahayakan kehidupan laut dan membutuhkan waktu berabad-abad untuk terurai. Di tengah keprihatinan ini, tren membeli barang fashion bekas atau thrifting menjadi solusi populer, khususnya di kalangan generasi muda yang sadar akan isu lingkungan.
Membeli pakaian bekas dinilai dapat memperpanjang usia pakai barang dan mengurangi konsumsi produk baru. Tak heran, penjual fashion bekas menjamur di media sosial seperti Tiktok dan Facebook, serta e-commerce seperti Tokopedia dan Shopee.
Tapi, benarkah thrifting mampu menyelamatkan bumi? Mari kita telusuri lebih dalam sisi lain dari tren ini, sekaligus menemukan solusi nyata atas dampak yang ditimbulkan.
Meskipun tren thrifting tampak menawarkan solusi, realitanya, baik fast fashion maupun bisnis pakaian bekas sama-sama membawa dampak buruk bagi lingkungan.
Di satu sisi, fast fashion terkenal dengan produksi berlebihan yang menghasilkan banyak limbah tekstil. Sementara bisnis thrifting, terutama yang menjual pakaian bekas berkualitas rendah dari fast fashion, justru mendorong konsumsi berlebihan.
Pakaian-pakaian murah ini cenderung memiliki usia pakai singkat dan akan cepat berakhir di tempat pembuangan sampah. Mentalitas "sekali pakai" yang dipicu oleh bisnis thrifting inilah yang tidak jauh berbeda dengan fast fashion.
Bukankah dorongan untuk "memiliki lebih" yang dipicu oleh tren thrifting justru bertentangan dengan inti dari gerakan ramah lingkungan? Alih-alih mengurangi konsumsi, para konsumen malah terjebak dalam siklus "beli murah, buang cepat".
Bayangkan saja bagaimana kondisi pembuangan sampah dalam beberapa tahun ke depan apabila jumlah penjual dan peminat fashion bekas terus meningkat. Tentunya akan sesak dengan pakaian murah, tipis dan butuh bertahun-tahun agar bisa terurai oleh alam.
Indonesia sendiri sudah menampung limbah garmen dengan angka yang cukup besar. Berdasarkan laporan Data Indonesia, lonjakan impor pakaian bekas di Indonesia pada tahun 2022 saja mencapai 227,75% dibandingkan tahun sebelumnya source.
Masalah ini diperparah dengan menumpuknya pakaian bekas impor tidak layak pakai hingga mencapai 10% dari total impor. Hal ini pada akhirnya menghasilkan sampah garmen yang signifikan, seperti 2,7 ribu ton di tahun 2022 dan diperkirakan sekitar 21,7 ribu ton di Bandung pada tahun 2030.
Sementara di sisi lain, pengelolaan sampah tekstil di Indonesia masih terbilang belum optimal karena hanya 33,38% yang didonasikan dan 28,46% digunakan kembali, sedangkan 30,73% dibuang dan mencemari lingkungan.
Kebiasaan membuang sampah tekstil yang kurang tepat, misalnya seperti di tempat sampah campur (62,38%) dan dibakar (13,99%), ke depannya dapat memperparah pencemaran lingkungan.
Meningkatnya impor pakaian bekas dan pengelolaan limbah garmen yang tidak optimal ini pada akhirnya akan menjadi bom waktu yang dapat mengancam kelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat Indonesia.
Terdapat beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh penjual dan pembeli fashion bekas agar lebih ramah lingkungan.
Pertama, toko fashion bekas yang mengkurasi produk lokal berdasarkan kualitas dan ketahanannya, bukan hanya karena tren. Memilih pakaian yang terbuat dari serat alami seperti katun, linen, dan wol cenderung akan lebih awet usia pakainya dibanding yang berbahan dasar sintetis.
Kedua, hindari mentalitas memborong pakaian yang kurang multifungsi dan susah dipadupadankan, sehingga tidak terjadi penumpukan koleksi yang jarang dipakai.
Ketiga, utamakan toko yang tidak hanya mengejar keuntungan belaka, tetapi juga mempertimbangkan proses daur ulang untuk memperpanjang usia pakai barang.
Terakhir, sampaikan kepada komunitas atau orang-orang terdekat tentang bahaya fast fashion dan pembelian fashion bekas yang tidak bertanggung jawab. Misalnya dengan membuat postingan campaign di media sosial ataupun berupa artikel menarik agar mudah dipahami oleh peminat fashion.
Pendekatan top-down ini diharapkan mampu melahirkan penjual dan pembeli yang lebih beretika dan bertanggung jawab dalam memilih produk fashion. Tujuannya bukan hanya melariskan dagangan, tetapi juga mewujudkan prinsip keberlanjutan yang sesungguhnya.
Jadi, apakah penghematan melalui thrifting adalah jawaban yang tepat atas kerusakan lingkungan akibat limbah garmen? Mungkin tidak sepenuhnya. Namun, hal ini bisa menjadi senjata yang ampuh untuk menjalankan prinsip berkelanjutan kita.
Kuncinya terletak pada pendekatan yang dilakukan secara sadar (mindful). Apakah Anda siap untuk bertransformasi dari konsumen pasif menjadi peserta aktif dalam revolusi mode?
Mari rayakan Hari Bumi dengan mempromosikan tren thrifting yang bertanggung jawab dan mengadvokasi bisnis yang memprioritaskan kualitas, umur panjang, dan praktik-praktik etis dalam pasar pakaian bekas.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Koleksi Modest Wear Greisy "Sweet Ribbon Flowers" Mengusung Keindahan Taman Bunga dan Elegansi Pita di JMFW 2024
-
IIF Bahas Tantangan dan Peluang Investasi Transportasi Ramah Lingkungan dalam Seminar Infrastruktur Berkelanjutan
-
Lebih dari Sekadar Fashion, Desain Ceria Ala Anya Hindmarch Kini Hadir di Uniqlo
-
Berantas Penyakit, Tingkatkan Ekonomi: Manfaat Jangka Panjang Wakaf Air Bersih
-
Jadi Ajang Lari Ramah Lingkungan, Pertamina Eco RunFest 2024 Bakal Diikuti 21 Ribu Peserta
Rona
-
Fesyen Adaptif: Inovasi Inklusif di Dunia Mode untuk Penyandang Disabilitas
-
KILAS dan Edukasi G-3R di Cimenyan: Membangun Kesadaran Pengelolaan Sampah
-
Vera Utami: Pionir Inklusivitas Pakaian Adaptif bagi Penyandang Disabilitas
-
Ekoregion Pembangunan Wilayah di Papua sebagai Solusi Pembangunan Berkelanjutan
-
Rahma dan Segudang Prestasinya, Kisah Inspiratif Dalang Perempuan Melestarikan Budaya
Terkini
-
Sinopsis Citadel: Honey Bunny, Series Terbaru Varun Dhawan di Prime Video
-
4 Rekomendasi Film yang Dibintangi Dakota Fanning, Terbaru Ada The Watchers
-
Sukses! Mahasiswa Amikom Yogyakarta Adakan Sosialisasi Pelatihan Desain Grafis
-
EXO 'Monster': Pemberontakan dari Psikis Babak Belur yang Diselamatkan Cinta
-
Tayang 22 November, Ini 4 Pemain Utama Drama Korea When The Phone Rings