Berdasarkan data dari Wikipedia pada bulan Juli 2023 lalu, Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia. Karena hal ini, Indonesia mulai dipadati dengan kegiatan pembangunan di berbagai daerah. Salah satu pembangunan yang dilakukan yakni beralih dari sistem tradisional ke industrialisasi. Industrialisasi sangat penting dilakukan di zaman yang semakin maju kini. Namun, dalam membangun sistem Industrialisasi harus melalui proses yang bijak agar tidak menimbulkan dampak negatif seperti pencemaran lingkungan.
Ada banyak jenis pencemaran lingkungan. Salah satu yang sangat mendominasi yakni pencemaran dari limbah. Baik limbah cair, limbah padat, limbah daur ulang, limbah organik, atau limbah bahan berbahaya, sebaiknya melalui proses reduce, reuse, recycle (3R) sebelum melalui proses pembuangan akhir. Terlebih jika jumlahnya banyak dan tidak dibatasi dalam setiap industri, maka akan merusak keasrian bumi. Perlu kita ketahui bahwa pencemaran lingkungan merupakan faktor penghambat dalam membentuk ekosistem yang sempurna.
Sumber daya alam yang kaya di Indonesia ini tidak tumbuh begitu saja tanpa peran ekosistem lingkungan. Sebagai contoh sumber daya alam hutan, terdapat komponen biotik, abiotik, autotrof, dan heterotrof yang saling berkesinambungan sehingga menjadi penyusun ekosistem hutan. Contoh lainnya yakni sumber daya alam sungai terdiri dari komponen biotik berupa tumbuhan, dan abiotik berupa batu, tanah, pasir, atau kelembaban udara yang saling berkaitan sehingga membentuk ekosistem. Sungai dan hutan, kedua sumber daya alam tersebut sangat berkaitan.
Seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan dan pola tata guna lahan di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS), maka akan terjadi juga kemunduran kualitas beberapa sungai. Sangat disayangkan bukan? Padahal, sungai dapat memberikan berbagai manfaat untuk kehidupan manusia. Maka itu, kita harus menjaga seluruh sumber daya alam yang masih ada hingga kini, termasuk menjaga ekosistem di dalamnya.
Selain proses industrialisasi, kepadatan penduduk juga berpengaruh pada kegiatan konsumsi. Apa pengaruhnya? Yakni konsumsi barang dan jasa akan meningkat. Hal ini terjadi karena proses distribusi sandang, pangan, papan, serta kebutuhan jasa akan semakin meluas. Jumlah permintaan pun akan semakin besar mengingat bahwa hasrat mengonsumsi bagi manusia tidak terbatas. Kemudian, apa dampaknya terhadap lingkungan? Jawabannya, gaya hidup konsumtif inilah yang kedepannya dapat memberikan dampak buruk terhadap keberlangsungan ekosistem.
Dengan gaya hidup yang konsumtif, dikhawatirkan akan berpengaruh pada kualitas lingkungan karena menimbulkan semakin banyak limbah. Khususnya limbah dari plastik, dan kain. Ingatkah bahwa pada tahun 2015 Indonesia pernah menjadi penyumbang sampah plastik terbesar posisi kedua di dunia? Kemudian, sampah pakaian menjadi penyumbang polusi terbesar kedua di dunia. Limbah-limbah tersebut tentu sangat mengganggu keseimbangan ekosistem lingkungan.
Untuk menghindari pencemaran lingkungan di Indonesia, mari kita mulai sejak dini. Terdapat beberapa langkah preventif yang dapat dilakukan dengan saling bekerja sama. Di antaranya bijak dalam proses industrialisasi dan konsumsi, berikut pemaparannya:
1. Membatasi Penggunaan Microbeads
Saat ini, masih banyak industri yang memproduksi produk perawatan tubuh dengan kandungan microbeads sebagai bahan utamanya. Mengutip dari journal.sociolla, microbeads adalah butiran-butiran halus yang terbuat dari partikel kecil plastik dengan diameter kurang dari 5 mm. Meskipun ukuran microbeads sangat kecil, dampaknya cukup signifikan terhadap ekosistem lingkungan. Bayangkan jika produk berbahan ini digunakan oleh jutaan penduduk di Indonesia, tentu berpotensi merusak ekosistem. Terutama ekosistem laut dan sungai, akan menerima dampak dari pencemaran limbah plastik berupa microbeads.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Berikut sebagai contoh, saat kita membasuh wajah maka partikel-partikel plastik yang tidak kasatmata itu akan menumpuk, terbawa aliran air hingga mencemari lingkungan di sekitarnya. Apalagi jika pipa-pipa yang terpasang dalam rumah warga langsung mengalirkan limbah hasil kegiatan rumah tangga ke laut atau ke sungai. Akibatnya, komponen biotik dan abiotik mengalami kerusakan. Sebagai produsen yang bijak, kita harus memulai proses industrialisasi dengan cara yang baik. Sebaiknya, hindari microbeads dalam produk yang hendak dibuat. Selain itu, diperlukan sinergi antara para pelaku usaha dengan pemerintah yang sama-sama menerapkan ambang batas penggunaan microbeads sebagai salah satu bahan pendukung produk.
Selain itu, pengusaha bisa lebih mengedepankan pengelolaan bahan-bahan alami seperti mengolah buah-buahan dan mengambil sarinya sebagai bahan utama pembuatan produk perawatan tubuh. Di sinilah peran teknologi, dan pemerintah kembali dibutuhkan. Untuk menciptakan produk yang ramah lingkungan, serta berkualitas diperlukan kerjasama dari berbagai elemen. Pembekalan berupa bimbingan dan teknis produksi tentu sangat membantu dalam mewujudkan industri yang sehat. Namun, dalam penggunaan hasil alam seperti buah-buahan pun harus dengan cara yang bijak.
Kebijakan dalam pengolahan sumber daya alam untuk industri sangat diperlukan, harus adil serta menggunakan prinsip kehati-hatian agar sumber daya yang ada masih berkelanjutan untuk kehidupan generasi selanjutnya. Sedangkan dari sisi konsumen dapat mengurangi konsumsi terhadap produk perawatan tubuh yang berbahan microbeads dengan cara bijak dalam memilih produk. Diharapkan, konsumen membaca terlebih dahulu komposisi atau ingredient yang ada dalam sebuah produk perawatan tubuh.
2. Memperluas Pangsa Pasar Untuk Industri Maggot
Siapa yang belum mengetahui maggot? Ya, maggot merupakan larva dari lalat Black Soldier Fly (BSF). Jujur, saya pun baru teringat kembali terkait kegunaan maggot. Ketika itu, keadaan halaman depan kantor saya dipenuhi tumpukan sampah. Sudah dua minggu tidak diambil juga. Saya memerhatikan lalat-lalat mengerubungi area pembuangan namun tidak berdiam diatas sampahnya, mereka ternyata sedang bertelur di atas plastik-plastik basah. Kemudian, saya membalik sebuah plastik kecil dan menemukan banyak belatung yang berkerumun di atas sisa makanan. Saya pun teringat bahwa beberapa jenis serangga memang berfungsi untuk mengolah limbah. Bahkan, beberapa memang sengaja dibudidayakan sebagai organisme dekomposer.
Salah satunya maggot. Mungkin beberapa orang mengetahuinya, namun mari kita bahas lagi. Maggot bisa menjadi industri yang sangat membantu dalam mengurangi limbah dapur. Untuk memperluas pangsa pasar maggot dapat melalui sebuah survei langsung ke beberapa lembaga kesehatan, kawasan peternakan, industri pangan, hingga yang tidak kalah mengejutkan yakni industri kecantikan. Apakah bisa memperluas pangsa pasar maggot ke industri kecantikan? Jika Iya, apakah produk yang ditawarkan berupa maggot utuh? Dalam artikel klikdokter yang berjudul Maggot Therapy, Perawatan Luka Diabetes Pakai Belatung, memaparkan bahwa terapi maggot mampu membersihkan luka dari jaringan nekrotik (jaringan mati) serta bakteri. Walau banyak kegunaan dari maggot, sayangnya tidak banyak orang tertarik menekuni bisnis ini.
Melihat hal tersebut, maka seminar, terkait budidaya maggot juga merupakan hal yang perlu diagendakan oleh pemerintah. Dengan begitu, secara langsung industri maggot akan mendapatkan target dari berbagai sektor. Jika sudah demikian, tentu pangsa pasarnya semakin luas. Selain itu, dengan memberikan fasilitas berupa bimbingan, modal awal, dan peralatan yang memadai untuk para calon pengusaha muda merupakan sebuah langkah yang baik dengan tetap menerapkan analisis sektor industri, sehingga perlu diperhatikan dalam memilih tempat untuk mendirikan industri maggot.
3. Mengikis Perilaku Konsumtif
Cara selanjutnya yang akan dibahas yakni terkait perilaku manusia sebagai makhluk ekonomi. Manusia sebagai makhluk memiliki hasrat mengonsumsi sangat tinggi. Mengapa demikian? Biasanya, hal ini merupakan pengaruh dari budaya di masyarakat tersebut. Entah berupa keinginan, atau pengambilan keputusan. Sebagai contoh, ketika ada restauran cepat saji yang baru saja dibuka dengan mengadopsi menu dari luar negeri sudah banyak sekali pengunjungnya. Padahal, mungkin beberapa dari mereka tidak menyukai menu tersebut, namun karena budaya yang semakin berkembang, dan mendorong gaya hidup praktis membuat para konsumen tidak bosan mengunjunginya. Kemudian, apa masalahnya? Yakni, ketika banyak persediaan bahan masakan di rumah, namun cenderung konsumtif mengunjungi tempat makan di luar.
Terlebih jika tempat yang dikunjungi seperti mal, di sana tidak hanya menawarkan hidangan saja, melainkan berbagai kebutuhan. Akan semakin besar dorongan untuk berbelanja berbagai produk sehingga lupa bahwa beberapa kebutuhan mungkin sudah tersedia di rumah. Perlu kita sadari bahwa kebutuhan tidak selalu sesuatu yang kita inginkan. Sebagai contoh, dalam kondisi tertentu karena melihat rekan-rekan membeli sesuatu yang mereka inginkan kemudian menawarkan kepada Anda apakah tertarik membeli juga? Anda yang bingung dan masih memiliki cukup dana pun tidak segan untuk mengiyakan. Perilaku tersebut sebenarnya kita sadari namun sering diabaikan begitu saja.
Mari kita merubah perilaku konsumtif ini menjadi gaya hidup yang berkecukupan. Mengapa berkecukupan? Yakni, kita akan merasa mampu mengolah penggunaan barang sesuai dengan waktu yang diharapkan. Selain itu, ketika kita menjauhi gaya hidup konsumtif seiring berjalannya waktu akan menciptakan keseimbangan permintaan dan penawaran atas produk di masyarakat. Dengan begitu, tidak akan terjadi kelangkaan, produk tertimbun di rumah hingga membusuk dan menambah limbah. Itu baru satu contoh gaya hidup konsumtif terhadap kebutuhan pangan. Sedangkan kebutuhan manusia sebagai makhluk ekonomi sangat beragam.
Ada banyak cara sederhana yang dapat dilakukan dalam menghindari gaya hidup konsumtif. Dari sisi kebutuhan pangan, kita dapat mencegah perilaku konsumtif dengan melakukan pendataan terhadap barang-barang kebutuhan pangan. Seperti bekerja di sebuah toko, lakukan stock opname setiap akhir bulan terhadap barang. Bedanya yakni, stock opname dilakukan dengan menghitung persediaan sebelum barang dijual. Sedangkan sebagai konsumen, kita melakukan stock opname untuk mengetahui persediaan yang tersisa sebelum melakukan pembelian.
Sedangkan dari sisi kebutuhan sandang, gaya hidup yang mengikuti arus tren cenderung membuat masyarakat impulsif dalam membeli. Sebagai contoh, remaja yang sering mengunjungi kafetaria untuk sekadar nongkrong, sebagian besar memiliki selera berpakaian yang modern. Bahkan beberapa di antara mereka membeli bukan karena kebutuhan melainkan hanya sekadar mengoleksi outfit. Ya, outfit atau kombinasi busana beserta beberapa item yang biasanya senada termasuk aksesorinya merupakan hasil dari perkembangan industri mode. Namun, sayangnya jika berlebihan hal ini akan berdampak negatif pada lingkungan melalui limbah pakaian yang terus bertambah. Ditambah, saat ini semakin meningkat permintaan terhadap produk thrift.
Thrifting atau berburu barang bekas impor dan lokal memang sedang digandrungi oleh berbagai kalangan. Khususnya kalangan usia produktif. Terlebih, saat ini sebagian produk thrift yang digemari ialah hasil impor. Dengan harga yang murah, serta beragamnya produk thrift impor, tenti akan sangat memacu hasrat konsumtif. Padahal, tidak semua produk dibutuhkan dan dipakai oleh para konsumen. Kualitas pakaian bekas tentu berbeda dengan produk baru.
Biasanya, yang menarik minat masyarakat ketika membeli produk thrift yaitu harga yang terjangkau, bukan kualitas kain. Maka, tidak jarang produk yang dibeli hanya dipakai selama beberapa hari saja hingga menumpuk dan menjadi limbah. Mengingat bahwa usia bumi sudah tua, dan sumber daya alam yang ada di Indonesia harus dilestarikan, maka kita waji b mengurangi berbagai aktivitas yang menyumbang banyak limbah sehingga berdampak pada pencemaran lingkungan. Salah satunya mengurangi budaya thrifting barang impor. Bagaimana caranya? Salah satu yang utama yakni dari regulasi yang diberlakukan di Indonesia. Dengan memperkuat kembali penerapan dari Pasal 46 angka 15 Perppu Ciptaker yang mengubah Pasal 47 UU 7/2014 ayat 1. Berbunyi "Setiap Importir wajib mengimpor Barang dalam keadaan baru."
Selain itu, larangan impor pakaian bekas juga telah diperkuat dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Maka, sebagai warga negara Indonesia yang baik mari kita tati regulasi yang ada agar sama-sama mendorong kemajuan industrialisasi bagi UMKM sehingga dapat mengolah sumber daya alam menjadi produk dengan peminat yang tinggi dan terdistribusi ke seluruh pelosok negeri. Dengan begitu, pemanfaatan sumber daya alam akan saling berkelanjutan.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Kolaborasi Riset Indonesia-Australia, Wujudkan Swakelola Limbah dan Ekonomi Sirkular di Citarum
-
Aksi Tumpuk Sampah di Praha Bikin Heboh, Ajak Warga Peduli Limbah Tekstil
-
Kurangi Limbah Plastik, BOLD Terapkan Program Trade-In
-
Kurangi Beban Bumi, Ini Panduan Mengurangi Limbah Rumah Tangga
-
Kayt Studio Kampanyekan Sustainable Fashion di Ajang Cerita Nusantara
Rona
-
Mengenal Pegon, Kendaraan Tradisional Mirip Pedati yang Ada di Ambulu Jember
-
Fesyen Adaptif: Inovasi Inklusif di Dunia Mode untuk Penyandang Disabilitas
-
KILAS dan Edukasi G-3R di Cimenyan: Membangun Kesadaran Pengelolaan Sampah
-
Vera Utami: Pionir Inklusivitas Pakaian Adaptif bagi Penyandang Disabilitas
-
Ekoregion Pembangunan Wilayah di Papua sebagai Solusi Pembangunan Berkelanjutan
Terkini
-
Ulasan Novel Yang Telah Lama Pergi: Kisah Pengkhianatan Masa Lalu
-
Taeyeon Tulis Pesan Hangat untuk Diri Sendiri di Lagu 'Letter To Myself'
-
Penuh Chemistry! 4 Film dan Serial yang Dibintangi Dion Wiyoko bersama Sheila Dara
-
Fans Tak Perlu Banyak Menuntut, STY Pasti Miliki Alasan Tersendiri Tak Mainkan Eliano Reijnders
-
Rating Melejit! Akhir Drama Korea Jeongnyeon Pecahkan Rekor, Happy Ending?