"Karena wanita tidak diberi pendidikan, ia tidak mengerti apa-apa; maka ia tidak bisa memajukan dirinya, dan tidak bisa membantu memajukan bangsanya."
Kutipan legendaris Raden Ajeng Kartini ini telah melampaui zamannya. Kartini bukan hanya menginginkan perempuan untuk bisa membaca dan menulis, tetapi juga agar perempuan memiliki kebebasan untuk berpikir dan mengambil keputusan dalam hidupnya. Ia memperjuangkan kesetaraan di masa ketika suara perempuan masih nyaris tidak terdengar di ruang publik.
Namun, dalam perkembangan zaman, makna emansipasi yang ia perjuangkan mulai mengalami penyempitan pemahaman. Emansipasi seringkali dipersepsikan sebagai upaya perempuan untuk melakukan hal-hal yang lazimnya dilakukan laki-laki, bahkan terkadang dianggap sebagai proses "penyerupaan".
Padahal, esensi dari emansipasi bukanlah menyeragamkan perempuan menjadi seperti laki-laki, melainkan memberi ruang kebebasan untuk menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Emansipasi adalah tentang pilihan. Pilihan untuk menjadi pemimpin, guru, pengusaha, atau ibu rumah tangga. Pilihan untuk bersuara atau diam, tampil percaya diri atau bersahaja. Semua pilihan itu valid selama datang dari keinginan diri, bukan karena tekanan sosial.
Sayangnya, narasi umum tentang "perempuan modern" kerap didominasi oleh gambaran perempuan yang aktif di ruang publik, memiliki karier cemerlang, tegas, rasional, dan independen secara ekonomi. Gambaran ini tidak salah, tetapi menjadi sempit jika dijadikan satu-satunya tolok ukur perempuan yang dianggap maju. Di sisi lain, perempuan yang memilih untuk tinggal di rumah dan fokus pada keluarga, atau mereka yang menunjukkan sisi lembut dan emosionalnya, sering kali dianggap sebagai “perempuan tradisional” yang belum melek emansipasi.
Pandangan sempit semacam ini justru berbahaya, karena menggiring perempuan masuk ke dalam standar baru yang tak kalah menekan dari patriarki lama. Dulu, perempuan ditekan untuk patuh dan tidak bersuara. Kini, perempuan dituntut untuk tangguh dan dominan agar dianggap setara. Di manakah ruang bagi perempuan untuk menjadi dirinya sendiri
Semangat Kartini seharusnya tidak membuat kita meniru peran laki-laki, melainkan memperjuangkan ruang aktualisasi yang setara. Kesetaraan bukan berarti serupa. Seorang perempuan tidak harus menjadi seperti laki-laki untuk dihormati. Ia cukup menjadi dirinya sendiri, dan itulah kekuatan sejatinya. Kesetaraan sejati adalah ketika perempuan bebas menentukan jalan hidupnya tanpa stigma, tanpa dikotomi mana yang modern dan mana yang kolot.
Hari Kartini adalah momen reflektif untuk bertanya: sudahkah kita memberi ruang aman dan merdeka bagi perempuan untuk mengekspresikan diri mereka sepenuhnya? Sudahkah masyarakat kita menghargai pilihan perempuan, apa pun bentuknya?
Dalam konteks modern, peran perempuan memang telah meluas. Banyak perempuan yang menjadi pemimpin, ilmuwan, penulis, pengusaha, dan pejabat publik. Namun kita tidak boleh lupa bahwa perjuangan belum selesai. Masih banyak perempuan yang menghadapi tekanan untuk menyesuaikan diri dengan norma yang timpang, baik dari keluarga, lingkungan, maupun media sosial. Bahkan menurut data GoodStats, meskipun Indeks Ketimpangan Gender Indonesia membaik, kesenjangan masih nyata di sektor politik dan ekonomi, di mana keterwakilan perempuan masih jauh dari ideal.
Yang juga penting adalah menyadari bahwa perjuangan emansipasi bukan hanya tugas perempuan. Laki-laki pun memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan ruang kesetaraan, dengan menjadi pendengar yang baik, memberi dukungan setara di ruang kerja dan rumah tangga, serta tidak mengukur nilai perempuan dari standar gender sempit.
Kartini bukan hanya milik perempuan. Ia adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan keterbatasan, simbol harapan bahwa masyarakat bisa berubah menjadi lebih adil dan manusiawi bagi semua, tanpa kecuali. Maka, memperingati Hari Kartini bukan sekadar mengenakan kebaya atau menggelar lomba memasak, tetapi dengan meneruskan semangatnya: mendobrak batas, memperluas pilihan, dan menghargai keberagaman jalan hidup perempuan.
Kita semua memiliki peran dalam memastikan bahwa perempuan Indonesia hari ini tidak hanya “boleh sekolah”, tetapi juga dihargai pikirannya, dihormati pilihannya, dan dicintai sebagai manusia utuh, dengan segala kekuatan dan kelembutannya.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel Perempuan di Titik Nol: Membongkar Dunia Patriarki bagi Wanita
-
Berkat Program Klasterkuhidupku BRI, Klaster Usaha Tenun Ulos Ini Sukses Berdayakan Perempuan
-
Kepingan Mosaik Keadilan Reproduksi bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual
-
Apakah Hari Kartini Libur Tanggal Merah? Jangan Keliru, Ini Aturan Resmi Pemerintah
-
All Girls All Around: Ketika Lari Menyatukan dan Menguatkan Perempuan
Rona
-
Apakah Hari Kartini Menjadi Tameng Emansipasi oleh Kaum Wanita?
-
Perkuat Nilai Komoditas dan Pemasaran Berkualitas, GEF SGP Indonesia dan Supa Surya Niaga Teken MoU
-
Kopicek: Ketika Komunitas Mata Hati Mengubah Stigma Tunanetra Melalui Kopi
-
Lakukan Penanaman Pohon, Suara.com Luncurkan Suara Hijau dan Green Media Network
-
Membincang Pertolongan Pertama pada Psikologis
Terkini
-
Stray Kids Raih Sertifikasi Gold Keempat di Prancis Lewat Album HOP
-
Ulasan Novel 1984: Distopia yang Semakin Relevan di Dunia Modern
-
Ulasan Novel Harga Teman: Ketika Hasil Kerja Tidak di Hargai oleh Klien
-
ASTRO & Friends 'Moon' Ungkapan Cinta dan Kerinduan untuk Mendiang Moonbin
-
Baru Tayang Raih Rating Tinggi, 5 Alasan The Haunted Palace Wajib Ditonton!