Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yudi Wili Tama
Ilustrasi kota hijau (Pexels/Roschetzkylstockphoto)

Dalam era urbanisasi yang melaju pesat, kota-kota di seluruh dunia menghadapi tantangan besar: bagaimana menciptakan lingkungan perkotaan yang sehat, berkelanjutan, dan tangguh terhadap perubahan iklim.

Pidato Inger Andersen pada sesi kedua UN-Habitat Assembly menyoroti pentingnya kemitraan antara UNEP dan UN-Habitat dalam mewujudkan visi tersebut melalui strategi bersama 2026–2029.

Empat pilar utama menjadi fokus: integrasi alam dalam tata kota, pembangunan gedung yang hemat sumber daya, pengurangan limbah (terutama plastik), serta keterlibatan pemerintah daerah dalam kontribusi iklim nasional.

Dengan pendekatan yang cerdas dan kolaboratif, kota masa depan dapat menjadi tempat yang lebih baik bagi semua.

Menyatu dengan Alam: Solusi Berbasis Alam dalam Tata Kota

Integrasi alam dalam perencanaan kota bukanlah konsep baru, namun urgensinya semakin meningkat seiring dengan dampak perubahan iklim yang kian terasa.

Solusi Berbasis Alam (Nature-Based Solutions/NbS) seperti penanaman pohon, taman kota, dan ruang terbuka hijau telah terbukti efektif dalam menurunkan suhu lingkungan dan mengurangi efek pulau panas di perkotaan.

Studi oleh Semeraro et al. (2024) menunjukkan bahwa NbS dapat menurunkan suhu permukaan hingga 2-3°C, memberikan kenyamanan termal bagi penduduk kota.

Selain itu, fitur seperti atap hijau, permukaan berpori, dan penampungan air hujan membantu mencegah banjir dan mendukung pengelolaan air berkelanjutan.

Alves et al. (2024) menyoroti bahwa infrastruktur hijau ini tidak hanya mengurangi limpasan air hujan tetapi juga meningkatkan kualitas air dan keanekaragaman hayati di lingkungan perkotaan.

NbS juga meningkatkan ketahanan kota terhadap perubahan iklim dan pandemi dengan menyediakan ruang publik yang sehat dan adaptif.

Kele Özgenç & Özgenç (2024) menekankan bahwa ruang hijau dapat meningkatkan kesehatan mental dan fisik masyarakat, serta memperkuat kohesi sosial di tengah tantangan global.

Namun, tantangan implementasi NbS masih ada, termasuk keterbatasan lahan, pendanaan, dan koordinasi antar pemangku kepentingan. Diperlukan komitmen politik dan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan kota yang menyatu dengan alam.

Membangun dengan Bijak: Efisiensi Sumber Daya dalam Konstruksi

Sektor konstruksi menyumbang sekitar 39% emisi karbon global, menjadikannya target penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Pendekatan konstruksi yang hemat sumber daya, seperti penggunaan bahan daur ulang dan desain bangunan yang efisien energi, menjadi kunci dalam menciptakan kota berkelanjutan.

Green roofs atau atap hijau tidak hanya mempercantik bangunan tetapi juga berfungsi sebagai isolator termal, mengurangi kebutuhan pendinginan dan pemanasan. Menurut penelitian oleh Bass et al. (2005), atap hijau dapat mengurangi konsumsi energi hingga 25% pada musim panas.

Selain itu, penggunaan material lokal dan ramah lingkungan, serta desain modular yang memungkinkan pembongkaran dan penggunaan kembali komponen bangunan, dapat mengurangi jejak karbon konstruksi. Inisiatif seperti ini telah diterapkan di berbagai kota, termasuk Amsterdam dengan proyek Resilio yang menggabungkan atap hijau dan biru untuk manajemen air hujan.

Namun, adopsi luas praktik konstruksi berkelanjutan masih menghadapi hambatan, termasuk biaya awal yang tinggi dan kurangnya kesadaran di kalangan pengembang. Insentif pemerintah dan regulasi yang mendukung dapat mendorong perubahan menuju pembangunan yang lebih bijak.

Mengelola Limbah: Dari Masalah Menjadi Sumber Daya

Limbah, terutama plastik, menjadi masalah serius di kota-kota modern. Namun, dengan pendekatan yang tepat, limbah dapat diubah menjadi sumber daya berharga. Strategi pengelolaan limbah yang efektif melibatkan pengurangan, penggunaan kembali, dan daur ulang (3R).

Kota Nairobi, misalnya, telah mengimplementasikan sistem pengelolaan limbah yang inovatif dengan membangun fasilitas daur ulang dan mendorong partisipasi masyarakat dalam pemilahan sampah. Langkah ini tidak hanya mengurangi volume limbah yang masuk ke tempat pembuangan akhir tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru.

Selain itu, teknologi seperti biodigester dan komposter skala rumah tangga memungkinkan pengolahan limbah organik menjadi energi dan pupuk, mendukung ekonomi sirkular di tingkat lokal. Inisiatif semacam ini telah diterapkan di berbagai kota di Asia dan Afrika dengan hasil yang menjanjikan.

Namun, tantangan tetap ada, termasuk kurangnya infrastruktur, pendanaan, dan kesadaran masyarakat. Pendidikan lingkungan dan dukungan kebijakan yang kuat diperlukan untuk mengubah paradigma limbah dari beban menjadi aset.

Aksi Iklim Lokal: Peran Strategis Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah memiliki peran strategis dalam aksi iklim, mengingat kedekatannya dengan masyarakat dan pemahaman terhadap konteks lokal. Integrasi aksi iklim ke dalam perencanaan kota dan kebijakan lokal dapat mempercepat pencapaian target nasional dan global.

Contoh sukses dapat dilihat di kota Paris, di mana pemerintah kota telah mengimplementasikan berbagai inisiatif hijau, termasuk perluasan jalur sepeda, penghijauan kota, dan pengurangan emisi kendaraan. Langkah-langkah ini tidak hanya mengurangi emisi karbon tetapi juga meningkatkan kualitas hidup warga.

Selain itu, kolaborasi antar kota melalui jaringan seperti C40 Cities memungkinkan pertukaran pengetahuan dan praktik terbaik dalam aksi iklim. Kerja sama semacam ini memperkuat kapasitas pemerintah daerah dalam menghadapi tantangan iklim.

Namun, untuk memaksimalkan peran pemerintah daerah, diperlukan dukungan dari pemerintah pusat, termasuk pendanaan, pelatihan, dan kerangka regulasi yang mendukung. Dengan sinergi antara berbagai tingkat pemerintahan, aksi iklim dapat menjadi lebih efektif dan inklusif.

Menuju Kota yang Berkelanjutan dan Inklusif

Mewujudkan kota masa depan yang berkelanjutan memerlukan pendekatan holistik yang mencakup integrasi alam, efisiensi sumber daya, pengelolaan limbah yang cerdas, dan aksi iklim yang terkoordinasi. Kemitraan antara UNEP dan UN-Habitat memberikan kerangka kerja yang kuat untuk mencapai tujuan ini.

Namun, keberhasilan implementasi strategi ini sangat bergantung pada komitmen dan partisipasi semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan warga kota. Pendidikan dan kesadaran lingkungan menjadi kunci dalam mendorong perubahan perilaku dan mendukung kebijakan berkelanjutan.

Dengan mengadopsi pendekatan yang inklusif dan berbasis bukti, kota-kota dapat menjadi pusat inovasi dan ketahanan terhadap perubahan iklim. Langkah-langkah kecil yang diambil hari ini akan menentukan kualitas hidup generasi mendatang.

Mari kita bersama-sama menenun masa depan kota yang lebih hijau, bersih, dan berkelanjutan, di mana alam dan manusia hidup berdampingan dalam harmoni.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Yudi Wili Tama