Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fitri Widyaningrum
Poster Film Pengepungan di Bukit Duri (Instagram/Joko Anwar)

Film bukan semata-mata produk hiburan. Dalam tangan yang tepat, ia bisa menjadi alat kritik sosial, ruang kontemplasi, bahkan bentuk perlawanan.

Joko Anwar, salah satu sutradara paling progresif di perfilman Indonesia, kembali membuktikan hal ini lewat film terbarunya, Pengepungan di Bukit Duri.

Film yang tayang perdana pada 17 April 2025 ini tidak hanya menyajikan ketegangan khas thriller, tetapi juga menguliti realitas sosial yang kerap terpinggirkan: penggusuran, ketimpangan, dan trauma urban yang menjadi luka kolektif masyarakat kota.

Secara naratif, Pengepungan di Bukit Duri berlatar tahun 2027 dan mengikuti perjalanan Edwin (Morgan Oey), seorang pria yang menyamar sebagai guru di SMA Bukit Duri untuk mencari keponakannya yang hilang.

SMA ini bukan sekolah biasa, ia menjadi tempat bagi siswa-siswa yang dianggap "bermasalah", sehingga atmosfernya pun penuh tekanan dan kekerasan.

Ketika kerusuhan pecah di seluruh kota, Edwin dan keponakannya terperangkap di dalam sekolah, menghadapi kekacauan yang menggambarkan betapa rapuhnya konstruksi sosial di tengah kota yang katanya “maju”.

Namun, yang menarik dari film ini bukan sekadar konflik di layar, melainkan konteks yang melatarbelakanginya. Bukit Duri adalah kawasan padat penduduk di Jakarta yang pernah menjadi sorotan publik akibat penggusuran paksa oleh pemerintah pada tahun 2016.

Dalihnya adalah normalisasi sungai dan pembangunan kota, tetapi nyatanya, ribuan warga kehilangan tempat tinggal tanpa solusi yang manusiawi. Kisah ini menjadi semacam hantu sosial yang terus menghantui ingatan kolektif masyarakat urban dan kini, lewat film, Joko Anwar menghidupkannya kembali dengan cara yang menggugah.

Film ini merepresentasikan hubungan timpang antara rakyat kecil dan kekuasaan. Kata "pengepungan" di judulnya tidak hanya bermakna literal, tetapi juga metaforis.

Warga Bukit Duri, dan mereka yang senasib di tempat lain, telah lama "dikepung" oleh sistem yang tidak memihak: pembangunan yang tidak inklusif, hukum yang berat sebelah, serta narasi media yang sering mengabaikan suara mereka.

Dalam film, kekerasan bukan hanya berbentuk fisik, tapi juga struktural dan itulah yang menjadikannya relevan sebagai kritik sosial.

Luka Kolektif yang Tak Pernah Sembuh

Tak hanya itu, Pengepungan di Bukit Duri juga menyingkap bagaimana trauma bisa diwariskan, bukan hanya oleh individu, tetapi oleh kota itu sendiri. Ruang-ruang yang dulu penuh kehidupan, perlahan berubah menjadi simbol kehilangan dan ketidakadilan.

Ketika Edwin menelusuri lorong-lorong sekolah dalam film, penonton juga diajak menyusuri jejak-jejak luka yang ditinggalkan oleh kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka yang paling rentan.

Narasi pembangunan yang selama ini didengungkan pemerintah sering kali terjebak dalam glorifikasi. Jalan-jalan diperluas, gedung-gedung ditinggikan, namun siapa yang sebenarnya menikmati hasilnya?

Film ini secara halus namun tajam mempertanyakan: apakah kemajuan kota selalu sejalan dengan keadilan sosial? Atau jangan-jangan, kemajuan itu justru dibangun di atas reruntuhan harapan rakyat kecil?

Keberpihakan yang Tak Disembunyikan

Keberanian Joko Anwar untuk mengangkat isu yang sensitif ini patut diapresiasi. Dalam lanskap sinema Indonesia yang masih didominasi genre drama percintaan dan komedi ringan, kehadiran Pengepungan di Bukit Duri bagaikan tamparan yang membangunkan.

Joko tidak menggurui, tetapi juga tidak netral. Ia memilih berpihak, dan keberpihakan itu terasa lewat atmosfer film, konflik batin tokoh, hingga simbol-simbol visual yang disematkan di sepanjang cerita.

Sebagai bentuk seni, film memang tidak harus selalu eksplisit dalam menyampaikan pesan. Namun kekuatan Pengepungan di Bukit Duri justru terletak pada kemampuannya memadukan estetika dengan etika.

Ia memaksa penonton untuk merasa, lalu berpikir. Tentang siapa yang kita abaikan selama ini, dan mengapa. Tentang siapa yang mendapat ruang di kota ini, dan siapa yang terus-menerus digusur, baik secara harfiah maupun dalam wacana publik.

Di tengah era ketika kritik sosial semakin sulit disuarakan karena berbagai tekanan, film ini menjadi suara alternatif yang lantang.

Ia tidak hanya mempersoalkan satu peristiwa di satu tempat, tapi juga memotret pola yang berulang, di Jakarta, di kota-kota lain, dan mungkin, di masa depan. Dan selama luka itu belum disembuhkan, selama keadilan belum ditegakkan, maka film seperti Pengepungan di Bukit Duri akan selalu relevan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Fitri Widyaningrum