Ungkapan sopan seperti “tolong” dan “terima kasih” yang selama ini dianggap sebagai bentuk etika dalam komunikasi, ternyata dapat menimbulkan dampak ekonomi yang signifikan dalam interaksi manusia dengan kecerdasan buatan (AI). Hal ini diungkap langsung oleh CEO OpenAI, Sam Altman, dalam wawancara yang menghebohkan media teknologi global.
Menurut Altman, banyaknya pengguna ChatGPT yang menyisipkan kata-kata sopan dalam setiap prompt atau perintah mereka menyebabkan beban operasional OpenAI meningkat secara drastis. Ia menyebut bahwa frasa-frasa seperti "tolong bantu saya" atau "terima kasih sebelumnya" menambah panjang input yang harus diproses oleh model bahasa, dan ini berdampak langsung pada konsumsi daya komputasi serta energi.
“Orang-orang mengatakan ‘tolong’, ‘terima kasih’, dan ‘selamat pagi’. Hal-hal itu memperbesar dana GPT kami secara signifikan,” kata Altman dalam kutipan yang dilansir Hypeabis.id, Selasa (23/4/2025).
Masalah ini berkaitan dengan cara kerja sistem AI berbasis large language model (LLM). Setiap kata atau frasa yang diketik pengguna akan diuraikan menjadi unit kecil bernama token, dan setiap token tersebut harus dianalisis oleh sistem. Semakin banyak token, semakin besar daya komputasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan respons. Dalam skala kecil, perbedaan tersebut mungkin terasa tidak berarti. Namun, dalam skala jutaan pengguna harian, akumulasi token dari tambahan kata sopan itu bisa sangat besar.
Bahkan, laporan Katadata.co.id menyebutkan bahwa dalam satu kali penggunaan ChatGPT, konsumsi energinya bisa mencapai 10 kali lebih besar daripada pencarian biasa di Google. Jika sebagian besar pengguna menggunakan gaya bahasa sopan secara konsisten, maka konsumsi energi dan air pendingin server akan meningkat secara eksponensial.
Dampak lingkungan juga menjadi perhatian. Data dari The New York Times yang dikutip IEEE Spectrum mencatat bahwa satu interaksi sederhana dengan sistem AI dapat menggunakan air dalam jumlah signifikan untuk mendinginkan pusat data. Dengan tren penggunaan AI yang terus meningkat, isu efisiensi energi menjadi semakin relevan, terutama di tengah krisis iklim global.
Pernyataan Altman memicu perdebatan di media sosial. Di satu sisi, banyak pengguna yang merasa tidak nyaman dengan imbauan untuk "mengurangi sopan santun" demi efisiensi. Di sisi lain, ada pula yang menyadari bahwa kebiasaan kecil itu bisa berdampak besar jika dilakukan oleh jutaan orang setiap hari.
“Saya kaget mendengarnya. Tapi di sisi lain, kita juga harus realistis. Teknologi seperti ini memang butuh sumber daya besar. Mungkin kita memang perlu berkomunikasi lebih singkat dan jelas,” tulis seorang pengguna di X (dulu Twitter).
Menanggapi isu ini, beberapa pakar menyarankan agar pengguna tidak sepenuhnya menghapus etika dari komunikasi digital, tetapi lebih sadar dalam menyusun input agar tetap efektif. “AI tidak tersinggung jika kita tidak menyapa atau mengucapkan terima kasih. Tapi sebagai manusia, kita terbiasa dengan nilai-nilai tersebut,” kata seorang pakar komunikasi digital.
Di sisi teknis, OpenAI sendiri diharapkan dapat mengembangkan sistem pemrosesan yang lebih efisien sehingga tidak terlalu terbebani oleh panjangnya teks input. Optimalisasi sistem dalam memahami konteks tanpa mengandalkan banyak token menjadi tantangan tersendiri bagi pengembang AI saat ini.
Sementara itu, bagi pengguna awam, isu ini bisa menjadi titik refleksi tentang bagaimana kita beradaptasi dalam komunikasi dengan entitas non-manusia. Etika dan efisiensi memang perlu berjalan seimbang. Jika sebelumnya kita berpikir bahwa etika hanya berlaku antar-manusia, kini perbincangan tersebut melebar ke ranah interaksi manusia dan mesin.
Dengan pertumbuhan penggunaan AI yang makin masif, perdebatan ini diprediksi akan terus berkembang. Terlebih, di masa depan kemungkinan besar komunikasi manusia dengan AI akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, tidak hanya untuk hiburan atau informasi, tetapi juga dalam pekerjaan, pendidikan, bahkan pelayanan publik.
Baca Juga
-
Di Balik Kebaya dan Upacara Seremonial: Apa yang Sebenarnya Kita Rayakan?
-
Ekonomi Bukan Cuma Soal Dapur: Menggugat Narasi Populis Elitis
-
Pengepungan di Bukit Duri: Potret Luka Sosial di Balik Layar Sinema
-
Emansipasi Tanpa Harus Menyerupai Laki-Laki
-
Perempuan dalam Politik: Setengah Populasi, Setengah Potensi yang Terpendam
Artikel Terkait
-
Peran Vital Teknologi AI dalam Ultrasound untuk Deteksi Dini dan Diagnostik Penyakit
-
Tersandung Kasus Monopoli, OpenAI Siap Beli Google Chrome Jika Dijual
-
Mengintip Kecanggihan Pabrik LG di Busan, Dilengkapi Otomatisasi dan Teknologi AI
-
Bosan? Ini 3 Rekomendasi Chatbot AI yang Bisa Dijadikan Teman Hiburanmu
-
Smart Living Bukan Sekadar Tren: Ini Gaya Hidup Masa Depan
News
-
Rahasia Demokrasi Sehat: Bukan Cuma Pemilu, tapi Literasi Politik!
-
Nadiem Makarim Jadi Menteri Ke-7 Era Jokowi yang Jadi Tersangka Korupsi, Siapa Aja Pendahulunya?
-
Jangan Sampai Kelewatan! Langit Indonesia Bakal Dihiasi Gerhana Bulan 'Berdarah' Akhir Pekan Ini
-
Sidang Gibran 8 September 2025: Mungkinkah Wapres Bayar Ganti Rugi Rp125 Triliun?
-
Bripka Rohmat Demosi 7 Tahun, Terungkap Perintah Kompol Cosmas di Ricuh
Terkini
-
Inside Out oleh Day6: Pengakuan Cinta yang Tak Bisa Lagi Ditunda
-
Ulasan Novel Tanah Para Bandit: Ketika Hukum Tak Lagi Memihak Kebenaran
-
Shotty oleh Hyolyn: Melepaskan Diri dari Seseorang yang Tak Menghargaimu
-
5 Drama Korea Psikologis Thriller Tayang di Netflix, Terbaru Queen Mantis
-
Momen Langka! Rhoma Irama Jadi Khatib Salat Jumat di Pestapora, Intip Lagi Yuk Rukun dan Sunnahnya