Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh pernyataan seorang tokoh penting negeri ini yang menyatakan bahwa penurunan harga saham tidak berdampak besar terhadap ekonomi rakyat. Pernyataan tersebut disampaikan dengan gaya meyakinkan, seolah ingin menunjukkan bahwa selama rakyat bisa membeli bahan pokok dan tetap makan tiga kali sehari, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Pernyataan tersebut terdengar sederhana, bahkan “membela rakyat”. Namun di balik kepolosannya, tersembunyi persoalan serius: penyederhanaan makna ekonomi. Seakan-akan seluruh dinamika ekonomi nasional hanya bisa diukur dari harga cabai, beras, dan minyak goreng. Tak salah jika kebutuhan pokok menjadi fokus, tetapi menyempitkan diskursus ekonomi hanya pada urusan dapur rakyat kecil adalah bentuk pengaburan sistem yang jauh lebih kompleks.
Ekonomi tidak hidup dalam ruang kosong. Ia adalah jaring-jaring yang saling terhubung, antara pasar keuangan, dunia usaha, kebijakan fiskal, hingga daya beli masyarakat. Maka ketika harga saham jatuh, yang terdampak bukan hanya para pemilik modal, tapi juga para pekerja, pensiunan, calon investor lokal, hingga masyarakat biasa yang mungkin tak pernah membeli satu lot saham pun.
Pasar saham adalah cermin dari sentimen dan harapan investor terhadap perekonomian sebuah negara. Greenwald, Lettau, dan Ludvigson (2020) menegaskan, fluktuasi harga saham bukan hanya urusan lantai bursa, tetapi berdampak langsung pada konsumsi rumah tangga dan penciptaan lapangan kerja.
Jika indeks saham anjlok, itu bisa menandakan menurunnya kepercayaan terhadap stabilitas ekonomi dan arah kebijakan pemerintah. Penurunan tersebut dapat memicu arus keluar modal asing, melemahkan nilai tukar rupiah, dan pada akhirnya berdampak pada inflasi. Borteye dan Peprah (2022) mencatat bahwa pasar saham yang terpuruk bisa mengganggu keseluruhan mekanisme ekonomi nasional.
Banyak perusahaan besar yang menjadi tulang punggung lapangan kerja di negeri ini adalah perusahaan terbuka. Jika harga saham mereka terus menurun, kemampuan mereka untuk ekspansi, membayar dividen, bahkan menggaji karyawan bisa terancam.
Yang lebih mengkhawatirkan dari pernyataan semacam itu bukan hanya kesalahan logikanya, tapi implikasi jangka panjangnya: publik dibiasakan berpikir bahwa indikator ekonomi tidak penting selama pasar tradisional tetap ramai. Literasi ekonomi publik yang sudah minim menjadi semakin lemah ketika mereka disodori narasi-narasi populis yang tak berpijak pada realitas sistemik.
Kita tidak sedang berkata bahwa IHSG adalah satu-satunya indikator ekonomi. Tapi menihilkan dampaknya, apalagi dari posisi pengambil kebijakan adalah bentuk pengabaian terhadap realitas yang tak bisa ditutupi dengan pidato. Sebab ujung dari retorika yang menyesatkan adalah kebijakan yang menyesatkan pula.
Ketika ekonomi direduksi menjadi sekadar harga cabai dan minyak goreng, maka kita sedang berhadapan dengan pandangan yang elitis dalam bentuk paling halus. Ia menempatkan rakyat dalam posisi pasif, seolah-olah tidak perlu tahu soal indikator ekonomi lain, tidak perlu ikut pusing memikirkan pasar saham atau investasi, karena toh “rakyat hanya butuh makan”.
Padahal rakyat berhak tahu. Rakyat berhak paham. Masoud (2013) menjelaskan bahwa semakin masyarakat mengerti bagaimana sistem ekonomi bekerja, semakin besar peluang mereka untuk berkembang dan mandiri secara finansial. Dan tugas pemimpin adalah mendorong kesadaran itu, bukan memupusnya dengan narasi simplistis.
Mungkin benar bahwa harga saham tidak bisa dimakan. Tapi menurunnya nilai saham bisa membuat banyak orang kehilangan pekerjaan, perusahaan menunda ekspansi, dan pemerintah kesulitan menarik investasi. Semua itu bermuara pada satu hal: kesejahteraan rakyat. Jadi, jangan pernah bilang bahwa pasar saham tak berdampak bagi ekonomi rakyat. Rakyat mungkin tak makan saham, tapi mereka bisa lapar karenanya.
Baca Juga
-
Ucapan Tolong ke ChatGPT Bikin OpenAI Merugi, Kok Bisa?
-
Di Balik Kebaya dan Upacara Seremonial: Apa yang Sebenarnya Kita Rayakan?
-
Pengepungan di Bukit Duri: Potret Luka Sosial di Balik Layar Sinema
-
Emansipasi Tanpa Harus Menyerupai Laki-Laki
-
Perempuan dalam Politik: Setengah Populasi, Setengah Potensi yang Terpendam
Artikel Terkait
-
IHSG Dibuka Masih Nyaman di Zona Hijau Pada Senin Pagi
-
IHSG Diproyeksikan Masuk Fase Konsolidasi Pada Perdagangan Senin Ini
-
Ekonomi Kreatif Suporter: Dari Kecintaan kepada Persib hingga Tembus Pasar Asia
-
Investor Wait and See, Reksa Dana Pasar Uang Bisa Menjanjikan?
-
Alarm Trump, Barang Impor Makin Banyak Masuk Indonesia hingga PHK
Kolom
-
Menembus Batas Budaya, Strategi Psikologis Mahasiswa Rantau
-
Antara Keringat dan Ketakutan: Saat Catcalling Membayangi Langkah Perempuan
-
Anggaran Perpustakaan dan Literasi Menyusut: Ketika Buku Bukan Lagi Prioritas
-
Detak di Pergelangan! Bagaimana Smartwatch Merawat Jiwa Kita?
-
Citra Gender dalam Makanan: Dekonstruksi Stereotip antara Seblak dan Kopi
Terkini
-
Ulasan Buku Abundance: Mengulik Politik Pembangunan di Amerika
-
Indonesia Open 2025: Hanya Lima Wakil Indonesia yang Lolos ke Perempat Final
-
Indonesia vs China: Saat Tim Haus Kemenangan Menjamu Tim Paling Mengenaskan
-
Review Film Ballerina: Spin-off John Wick yang Kurang Nampol?
-
Vivo X Fold 5 Rilis Juli Mendatang, Diyakini Bakal Jadi HP Lipat Paling Ringan di Dunia