Tak bisa dipungkiri, pola konsumsi masyarakat kini kian meningkat. Dari kebutuhan rumah tangga, gaya hidup, hingga tren media sosial yang mendongkrak permintaan pasar. Akibatnya, laju produksi kian tak terbendung dan dampaknya terasa pada iklim yang semakin tak menentu.
Kenaikan jumlah konsumsi dan produksi tentunya didorong oleh kemudahan belanja online atau perubahan gaya hidup yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Dalam hitungan menit, barang berpindah dari aplikasi belanja ke rumah. Secara eksplisit tentunya hal ini memicu produksi yang semakin masif, logistik yang semakin padat, dan energi yang kian meningkat. Hasilnya? emisi melonjak dan cuaca yang sulit ditebak.
Pakaian Baru, Sampah Baru
Industri fast fashion menjadi contoh nyata mengenai bagaimana pola konsumsi memperparah iklim dan lingkungan. Produksi cepat dan massal tentunya menghasilkan pakaian dengan harga yang cenderung murah dan didesain untuk cepat usang. Hingga pada akhirnya, banyak orang kembali membeli pakaian baru meski sebenarnya masih memiliki pakaian yang layak pakai. Sementara pakaian lama sudah pasti berakhir menjadi sampah.
Selain volume sampah yang meningkat, pola produksi fast fashion juga mendorong penggunaan energi dan bahan yang mengandung berbagai zat kimia. Proses pewarnaan tekstil sering kali menggunakan air dalam jumlah yang besar dan menghasilkan limbah cair yang mencemari sumber air. Limbah industri tekstil yang langsung dibuang ke sumber air tentunya dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Hal ini disebabkan karena limbah tekstil merupakan limbah anorganik yang mengandung zat kimia. Ditambah penggunaan bahan baku sintetis yang sulit terurai, sehingga menambah emisi sekaligus memperparah masalah limbah.
Beli Karena Promo dan Diskon
Promosi yang semakin masif, flash sale, cashback, dan bundling tanpa disadari membentuk kebiasaan membeli barang yang cenderung reaktif. Banyak orang membeli barang bukan karena butuh, tetapi karena merasa rugi jika melewatkan “kesempatan”. Hal ini tentunya didorong dengan beberapa aplikasi belanja yang menampilkan stok menipis dengan hitungan mundur yang dapat memperkuat urgensi untuk membeli. Akibatnya, pembelian impulsif meningkat dan siklus produksi-distribusi semakin menjadi-jadi.
Selain menambah jumlah barang yang diproduksi, gaya hidup beli karena promo cenderung memperburuk limbah. Barang yang dibeli secara impulsif cenderung jarang dipakai dan cepat disingkirkan. Di tingkat rumah tangga, gaya hidup ini mendorong penumpukan barang yang akhirnya menambah beban sampah.
Beli Karena Status Alias Tampil untuk Orang Lain
Gaya hidup membeli demi status biasanya muncul ketika kepemilikan barang dianggap sebagai penanda identitas atau prestise. Media sosial tentunya memperkuat hal ini, video dan foto yang diunggah memberi sinyal sosial bahwa barang baru yang sedang trending membuat seseorang “lebih up-to-date” atau “lebih berkelas”. Dengan demikian, keputusan membeli tidak lagi semata soal kebutuhan, melainkan soal bagaimana ingin dilihat orang lain.
Gaya hidup beli karena status sudah pasti mempercepat siklus konsumsi. Seseorang cenderung ingin mengganti barangnya secara terus menerus agar tetap sejalan dengan tren atau ekspektasi sosial. Kondisi seperti ini tentu menambah volume produksi dan frekuensi pembuangan barang yang sebenarnya masih layak pakai. Dampak yang dirasakan tentunya sama dengan pola konsumsi lain, energi dan bahan dipakai lebih banyak, emisi naik, dan sampah meningkat. Namun hal ini justru lebih sulit untuk diberantas, karena terkait psikologi dan tekanan dari lingkungan sosial.
Jadi Mulai dari Mana Kita Bisa Berubah?
Mengubah pola konsumsi dan gaya hidup memang tidak mudah, apalagi jika sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Namun, langkah kecil yang dilakukan secara konsisten sudah pasti dapat memberikan dampak yang besar. Dimulai dengan membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Awali dengan pertanyaan sederhana setiap kali ingin membeli: Apakah barang ini menggantikan sesuatu yang rusak atau hilang? Apakah barang ini akan dipakai setidaknya seminggu sekali? Jika jawaban untuk semua pertanyaan itu sering “tidak”, maka besar kemungkinannya bahwa itu hanyalah keinginan, bukan kebutuhan.
Selanjutnya coba praktikkan jeda 24 jam sebelum checkout. Jika setelah sehari barang tersebut masih merasa perlu, berarti itu kebutuhan. Namun kalau merasa sudah tidak dibutuhkan, maka tunda atau batalkan. Dengan cara ini, kita bisa menekan keputusan impulsif yang sering muncul karena promo, iklan, atau tren media sosial. Praktik menunda ini juga melatih kebiasaan untuk disiplin dalam belanja. Alih-alih langsung klik “beli sekarang”, justru kita memberi ruang bagi diri sendiri untuk berpikir jernih. Hingga pada akhirnya kita sadar kalau barang tersebut sebenarnya tidak terlalu penting.
Hal sederhana lainnya dapat dilakukan dengan membuat daftar belanja setiap bulan. Kebiasaan ini juga penting untuk dilakukan adar pembelian lebih terencana, bukan impulsif karena diskon atau tren sesaat. Praktiknya yaitu dengan meluangkan waktu 10–15 menit di awal bulan untuk menuliskan kebutuhan rutin (makanan, perlengkapan kebersihan, dll.) dan rencana pembelian non-rutin (pakaian, elektronik kecil, dll.).
Langkah kecil bisa jadi awal perubahan besar, karena perubahan iklim bukan lagi soal isu global. Dan semua berawal dari pilihan kecil sehari-hari. Mulai dari menahan diri, memilah kebutuhan dari keinginan, hingga bijak memilih barang yang benar-benar terpakai. Mungkin terlihat sepele, tapi justru dari situlah kita ikut menjaga bumi agar tetap layak untuk generasi mendatang.
Baca Juga
Artikel Terkait
Rona
-
The Power of 'Nggak, Makasih': Heroiknya Menolak Sedotan dan Tas Kresek
-
3 Alasan Kenapa Kamu Harus Ikut Andil dalam Gerakan Jaga Hutan
-
Sederhana tapi Berdampak: Euforia Kemerdekaan dengan Peduli Lingkungan
-
Merdeka di Tengah Krisis Iklim, Bagaimana Gen Z Menyikapinya?
-
Seni Perang Lawan Sampah Makanan: Selamatkan Sisa Nasi, Lawan Inflasi
Terkini
-
Tiga Fakta Unik dari Perjuangan Timnas Indonesia U-17 di Piala Kemerdekaan
-
Tiket Terjual Habis, ENHYPEN Tutup Tur Amerika Utara di Stadion BMO
-
Review Film The Girl with the Needle: Sepi yang Menjerat Begitu Kejamnya
-
5 Mimpi Besar Karakter Anime One Piece Tidak Terwujud yang Menjadi Abadi
-
Ulasan Drama China The Prisoner of Beauty: Antara Cinta dan Dendam Keluarga