Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Adipatra kenaro
Ki Hadjar Dewantara (Balai Pustaka)

Jika Ki Hadjar Dewantara bisa keluar dari alam kuburnya, mungkin beliau akan langsung menggeleng-gelengkan kepala sambil bertanya, "Lho, ini pendidikan yang dulu saya perjuangkan, Kok mirip bisnis waralaba?"

Pendidikan yang dulu beliau gagas sebagai alat pembebasan justru kini jadi ladang komersial, biaya sekolah mirip tiket konser Coldplay mahal, tapi tetap ludes.

Dulu, jargon "Ing ngarsa sung tulada" atau “di depan memberi teladan” adalah prinsip. Sekarang, yang di depan justru memberi cicilan pendidikan berbunga rendah. Pendidikan di Indonesia sudah seperti penerbangan kelas bisnis.

Yang punya uang bisa memilih kenyamanan, yang tidak cukup berjuang agar tidak tertinggal di terminal. Biaya SPP naik terus, sementara beasiswa makin langka ibarat unicorn, sering didengar tapi jarang terlihat.

Jika dulu orang tua bekerja keras agar anak bisa sekolah, kini anak-anak yang harus berjuang keras mencari tambahan biaya agar bisa lulus.

Di mana-mana, biaya pendidikan semakin tinggi, menyerupai investasi properti: butuh modal besar, tapi tidak ada jaminan balik modal dalam bentuk pekerjaan layak. Yang kaya tetap bisa sekolah, yang miskin cukup membaca kisah inspiratif orang sukses di Twitter.

Ironisnya, setiap tahun ada janji "pendidikan gratis", tapi gratisnya hanya sebatas brosur kampanye. Sekolah boleh masuk tanpa biaya, tapi seragam, buku, modul, dan iuran ini-itu tetap harus dibayar.

Ki Hadjar Dewantara mungkin geleng-geleng kepala sambil bertanya, "Ini sekolah atau wahana wisata? Kok masuknya gratis, tapi keluarnya harus bayar mahal?"

Lebih menyedihkan lagi, pendidikan kini berubah menjadi sekadar transaksi. Sekolah dan universitas berlomba-lomba menarik minat mahasiswa layaknya marketplace, dengan paket "kuliah kilat, lulus cepat".

Kampus swasta menjual janji prestise, sementara kampus negeri menaikkan UKT demi "meningkatkan kualitas" meskipun yang meningkat justru lahan parkir dan urusan administrasi. Pendidikan yang seharusnya membebaskan, kini justru menjerat rakyat dalam lingkaran utang dan ketidakpastian.

Banyak Dilema, Antara Pengabdian dan Penderitaan

Ilustrasi siswa sekolah dasar di 3T Indonesia (Pexels/muallim nur)

Mengajar itu pengabdian, kata pemerintah, sambil menaikkan tunjangan pejabat. Dosen di Indonesia harus sabar menunggu tukin (tunjangan kinerja) yang kadang datangnya lebih misterius daripada jodoh.

Guru honorer? Jangan ditanya. Mereka akan tetap menjadi pahlawan tanpa tanda jasa dan tanpa tanda bayaran yang layak. Gajinya saja bahkan sering kali lebih kecil daripada uang bulanan mahasiswa yang mereka didik.

Lucunya, ketika guru dan dosen protes, jawabannya selalu sama, "Harus ikhlas." Seharusnya, kalau ikhlas dijadikan standar, kenapa tidak semua profesi diperlakukan begitu.

Bayangkan kalau pejabat hanya diberi honor "seikhlasnya." Bisa-bisa tiap rapat mereka lebih banyak menangis daripada bekerja.

Ki Hadjar Dewantara dulu memperjuangkan pendidikan sebagai alat pembebasan, bukan sekadar ladang pengabdian tanpa imbalan. Ia menolak pendidikan elitis yang hanya berpihak pada mereka yang mampu membayar.

Kini, perjuangan itu terasa makin jauh. Guru dan dosen yang seharusnya menjadi pilar utama pendidikan justru terpinggirkan oleh kebijakan yang lebih mementingkan anggaran perjalanan dinas ketimbang kesejahteraan pendidik.

Jika Ki Hadjar masih ada, barangkali ia akan bertanya, "Sejak kapan pendidikan yang saya perjuangkan berubah menjadi sekadar slogan?"

Kalau Pendidikan Mahal, Demo Jadi Alternatif Pendidikan Gratis

Ilustrasi demo (freepik)

Setiap kali mahasiswa berdemo menuntut biaya pendidikan yang manusiawi, pemerintah selalu bilang, "Mahasiswa harus lebih banyak belajar."

Demo itu justru pembelajaran paling nyata. Dari demo, mahasiswa belajar bagaimana menghadapi represifitas negara, bagaimana menyusun strategi komunikasi politis, bahkan bagaimana cara bertahan dari gas air mata. Sebuah pengalaman yang tidak bisa didapat di dalam kelas.

Bahkan Ki Hadjar Dewantara dulu mendidik muridnya untuk kritis. Kini, mereka yang kritis justru dianggap "terlalu banyak tingkah." Sebuah ironi dalam dunia pendidikan kita.

Pemerintah selalu bilang pendidikan adalah investasi masa depan. Tapi kalau memang investasi, mengapa anggaran pendidikan menjadi dipotong. Lebih tragis lagi, proyek ini bukan sekadar gedung atau jalan tol, tapi masa depan jutaan anak bangsa.

Anggaran pendidikan dikurangi dengan alasan efisiensi. Tapi anehnya, anggaran perjalanan dinas tetap jalan, tunjangan pejabat tetap lancar, bahkan biaya seremoni peresmian proyek bisa lebih besar daripada gaji tahunan seorang guru.

Kalau pendidikan benar-benar prioritas, mestinya yang dipangkas adalah anggaran yang tidak berhubungan langsung dengan rakyat, bukan pendidikan yang jadi penopang masa depan bangsa.

Ki Hadjar Dewantara dulu percaya bahwa pendidikan adalah alat pembebasan, bukan komoditas yang bisa dikurangi anggarannya sesuka hati. Jika beliau masih ada, mungkin akan bertanya, "Ini efisiensi atau strategi sistematis untuk membiarkan rakyat tetap bodoh agar mudah diatur?"

Maju di Atas Kertas, Tetapi Tertinggal di Lapangan

Ilustrasi pendidikan di sekolah dasar.(Pixabay.com/Aditiotantra)

Setiap tahun, kita selalu mendengar berita bahwa indeks pendidikan Indonesia meningkat. Tapi kenyataan di lapangan berkata lain.

Mahasiswa kesulitan membayar UKT, guru mengeluhkan beban kerja yang tak sebanding dengan gaji, dan sekolah-sekolah di pelosok masih kesulitan akses internet.

Pendidikan kita maju, tapi hanya di laporan tahunan Kementerian sebuah kemajuan yang lebih mirip sulap data dibanding kenyataan.

Ki Hadjar Dewantara pasti heran melihat semua ini. Dulu, ia membangun Taman Siswa agar pendidikan bisa diakses semua orang, bukan hanya segelintir elite. Kini, yang ada malah "Taman Siswa Premium" di mana yang bisa masuk hanya mereka yang dompetnya tebal.

Pendidikan tak lagi sekadar hak, tapi sudah menjadi barang mewah, mirip mobil listrik yang katanya baik untuk masa depan, tapi hanya segelintir orang yang mampu membelinya.

Lebih tragis lagi, pendidikan bukan hanya mahal, tapi juga tidak selalu relevan dengan kebutuhan zaman. Lulusan universitas banyak yang menganggur karena sistem pendidikan kita masih sibuk mengejar peringkat internasional, bukan kesiapan kerja nyata.

Sementara itu, anggaran terus dipangkas, menciptakan lingkaran setan di mana kualitas pendidikan stagnan dan aksesnya semakin sempit.

Jika kita masih ingin pendidikan yang mencerdaskan bangsa, maka pendidikan harus kembali ke akar perjuangan dari Ki Hadjar Dewantara yakni terjangkau, berkualitas, dan berpihak pada rakyat. Tanpa itu, kita hanya membangun sistem yang makin menjauh dari cita-cita pendiri bangsa.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Adipatra kenaro